Setiap periode pemilihan umum di Tanah Air, pola yang sama terus terulang: baliho memenuhi jalanan, platform media sosial dipenuhi klip video yang mengusung emosi, dan figur politik tampil seakan-akan paling dekat dengan masyarakat. Namun di balik semua itu, terdapat satu praktik yang jarang dibahas secara terbuka—pemasaran politik.
Pemasaran politik bukan hanya strategi kampanye semata. Ia merupakan cara bagaimana politik “dikemas”, “dipasarkan”, dan pada akhirnya dikonsumsi oleh publik.
Politik sebagai Pasar dan Merek
Dalam implementasinya, politik di Indonesia semakin mirip pasar di mana calon menjadi merek, pemilih berperan sebagai konsumen, dan janji politik diperlakukan seperti iklan yang masa berlakunya sering kali berakhir setelah proses pemungutan suara selesai.
Di Indonesia, politik lebih banyak digerakkan oleh figur ketimbang gagasan. Banyak pemilih mengenal nama calon, tetapi tidak memahami secara menyeluruh program atau rekam jejak kebijakannya. Ini bukan semata kesalahan pemilih, melainkan hasil dari pemasaran politik yang menekankan citra personal—sederhana, religius, tegas, atau “merakyat”—sebagai nilai jual utama.
Akibatnya, politik menjadi urusan emosi dan identitas. Pilihan politik sering kali bukan soal “apa yang akan dilakukan”, melainkan “siapa dia” dan “apakah dia seperti kita”.
Normalisasi Pelanggaran Etika
Dalam konteks ini, pelanggaran etika dan skandal politik sering kali tidak lagi mengejutkan. Kasus korupsi, pernyataan kontroversial, atau inkonsistensi sikap politik kerap dianggap sebagai bagian dari “risiko jabatan”. Di sinilah pemasaran politik memainkan peran penting: bukan untuk mencegah pelanggaran, melainkan untuk mengelolanya.
Alih-alih bertanggung jawab secara substantif, aktor politik kerap menggunakan strategi komunikasi untuk menormalisasi kesalahan. Isu dialihkan, kritik dibingkai sebagai serangan politik, atau publik diarahkan pada narasi identitas dan loyalitas kelompok. Dalam kondisi ini, yang diuji bukan integritas aktor politik, melainkan seberapa kuat merek politiknya bertahan di tengah krisis.
Media sosial mempercepat dan memperparah kondisi ini. Algoritma cenderung mengangkat konten yang memicu kemarahan, ketakutan, atau kebanggaan kelompok. Pemasaran politik pun menyesuaikan diri: pesan disederhanakan, emosi diperkeras, dan konflik diperpanjang demi atensi.
Ironisnya, skandal tidak selalu merugikan. Dalam politik yang terpolarisasi, kontroversi justru bisa memperkuat dukungan dari basis loyal. Yang penting bukan benar atau salah, melainkan apakah “kita” merasa diserang oleh “mereka”.
Bahaya Ketika Pemasaran Menggantikan Pertanggungjawaban
Pemasaran politik tidak sepenuhnya buruk. Ia membantu politik menjadi lebih komunikatif dan dekat dengan publik. Namun ketika pemasaran menggantikan pertanggungjawaban, demokrasi berada dalam bahaya. Politik berubah menjadi pertunjukan citra, bukan arena deliberasi publik.
Jika kita terus menerima politik sebagai produk yang boleh cacat asal tetap laku, pemilu hanya akan menjadi ajang penjualan ulang janji lama dengan kemasan baru. Di titik ini, yang perlu dikoreksi bukan hanya politisi, melainkan juga cara kita mengonsumsi politik itu sendiri.
Pemasaran politik adalah kenyataan dalam demokrasi modern, termasuk di Indonesia. Namun, ia seharusnya menjadi alat untuk memperkuat akuntabilitas, bukan menutupinya. Selama kita lebih sibuk membeli citra daripada menuntut tanggung jawab, politik akan terus dijual—tanpa pernah benar-benar dipertanggungjawabkan.