Posted in

Bukan Kembang Api, Tapi Air Mata: Desember Kelabu di Tanah Serambi Mekkah

Bagi sebagian besar penduduk dunia, Desember mungkin identik dengan liburan, lampu warna-warni, dan hitung mundur menuju pergantian tahun. Namun, bagi masyarakat di Aceh, bulan kedua belas memiliki makna yang berbeda.

Desember di Tanah Rencong bukanlah bulan perayaan. Ini adalah bulan “memori”. Setiap tahunnya, menjelang tanggal 26 Desember, langit Aceh seolah ikut muram, mengajak warga untuk menunduk mendoakan ratusan ribu jiwa yang dipanggil pulang oleh gelombang dahsyat Tsunami 2004 silam. Luka itu memang sudah mengering, tetapi bekasnya tak akan pernah hilang dari ingatan.

Desember yang Semakin Berat

Dan tahun ini, Desember terasa semakin berat.

Belum sempat masyarakat khusyuk memanjatkan doa mengenang 21 tahun Tsunami, air bah kembali datang. Bahkan, awan mendung itu kini menaungi langit Pulau Andalas secara luas. Kabar duka tidak hanya datang dari desa-desa di Aceh, tetapi juga mengalir deras dari saudara serumpun di Sumatera Utara hingga Sumatera Barat yang turut dikepung bencana longsor dan banjir.

Rentetan musibah yang mengepung wilayah Sumatra ini seolah ingin menegaskan satu hal: bahwa Desember kali ini ditakdirkan sebagai bulan untuk bertafakur, bukan berhura-hura.

Tradisi dan Imbauan di Aceh

Di Aceh, sudah menjadi kearifan lokal bahwa perayaan malam tahun baru masehi—dengan terompet dan kembang api—dirasa kurang sejalan dengan nafas keislaman dan adab di tanah ini. Pemerintah dan ulama pun tak lelah mengingatkan agar momen pergantian tahun disikapi dengan bijak; dilalui dengan suasana tenang, menjauhi hingar bingar yang melalaikan, dan lebih baik digunakan untuk merefleksikan diri.

Namun, kondisi hari ini melampaui sekadar kepatuhan pada imbauan tersebut.

Tanpa perlu diingatkan pun, rasanya tidak ada warga Aceh yang tega menyalakan kembang api tahun ini. Bagaimana mungkin ada hati yang ingin bersorak sorai, ketika di bagian Aceh yang lain, saudara kita sedang menggigil kedinginan di pengungsian?

Rasanya terlalu egois jika kita memaksakan adanya gemuruh pesta. Sebab di saat yang sama, batin justru dihantui oleh bayangan lain yang jauh lebih memilukan: derasnya air bah yang meluluhlantakkan rumah dan harapan saudara-saudara kita di sana.

Ajaran Islam dan Solidaritas

Islam mengajarkan kita untuk peka. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa perumpamaan orang mukmin itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya. Konsep tolong-menolong jauh lebih dibutuhkan saat ini daripada sekadar perayaan seremonial.

Sebagai seorang Penyuluh Agama, hati bergetar setiap kali membaca kabar atau melihat kiriman video dari wilayah terdampak. Meski raga tidak berada di tengah pusaran bencana, namun ikatan persaudaraan (ukhuah) membuat rasa sakit itu menjalar hingga ke sini.

Namun, di balik duka itu, saya kembali teringat pada karakter asli “Ureung Aceh” yang mentalnya telah ditempa oleh sejarah panjang ujian. Orang Aceh adalah pembelajar yang tangguh. Kita pernah bangkit dari luluh lantaknya Tsunami, dan insyaallah, saudara-saudara kita di lokasi banjir pun akan mampu melewati ujian ini dengan sabar.

Pengingat dan Refleksi

Bencana ini menjadi pengingat keras bagi kita yang berada di wilayah aman. Bahwa nikmat keamanan dan kenyamanan yang kita rasakan saat ini adalah titipan yang bisa diambil kapan saja. Maka, cara terbaik mensyukurinya adalah dengan empati.

Tulisan ini adalah ungkapan hati dari kami di ujung barat.

Kami tidak meminta kembang api. Kami tidak merindukan panggung hiburan. Desember kami adalah bulan doa. Doa untuk mereka yang hilang ditelan ombak dua dekade lalu, dan doa untuk mereka yang kini bertahan di tengah kepungan banjir.

Jika Anda di luar sana ingin “merayakan” sesuatu bersama kami, rayakanlah solidaritas. Kirimkan doa terbaik, atau sisihkan sedikit rezeki untuk membantu memulihkan dapur-dapur umum di lokasi bencana.

Biarlah Desember di Aceh sunyi dari suara terompet, asalkan langitnya riuh oleh doa-doa yang mengetuk pintu rahmat Allah Swt. Semoga badai ini segera berlalu, dan matahari kembali bersinar hangat di Serambi Mekkah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *