Banyak orang berasumsi bahwa hambatan utama anak petugas parkir menempuh pendidikan S2 hanya terletak pada masalah biaya. Namun, kenyataannya, tantangan terbesar justru berasal dari kurangnya pemahaman mengenai prosedur birokrasi.
Pada tahun sebelumnya, saya hampir meraih beasiswa LPDP dengan keyakinan penuh. Saya mengandalkan sertifikat TOEFL dari suatu lembaga, yakin dapat lolos seleksi. Namun, penolakan datang lebih cepat dari perkiraan: sertifikat yang saya miliki tidak memenuhi persyaratan. Impian saya runtuh hanya karena persoalan teknis administrasi.
Pelajaran Penting bagi Pencari Beasiswa
Bagi para pejuang beasiswa, semangat saja tidak cukup. Ketelitian dalam mempelajari panduan lembaga yang diakui menjadi kunci utama.
Kegagalan tersebut membawa saya kembali ke titik awal. Sebagai anak yang pernah putus sekolah selama setahun setelah SD dan bekerja sebagai pencuci motor untuk bisa kembali bersekolah, menyerah bukan pilihan. Namun, biaya untuk mengikuti kursus TOEFL resmi sangat tinggi. Di sinilah strategi “marbot” dimulai.
Saya memutuskan mendaftar program S2 melalui jalur mandiri dengan keberanian tinggi. Untuk mengatasi biaya hidup, saya kembali ke tempat yang familiar: Masjid.
Peran Ganda: Marbot dan Imam
Tugas saya sederhana namun bermakna: menjadi marbot sekaligus imam. Sebagai imbalannya, saya mendapatkan tempat tinggal tanpa biaya dan ketenangan batin. Di sela-sela membersihkan lantai masjid, saya membuka buku-buku perkuliahan S2. Di antara tugas sebagai imam, saya membangun jaringan dengan jemaah yang banyak memberikan dukungan moral.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa ketika pintu formal (beasiswa) tertutup, pintu komunitas (masjid dan dukungan dosen) sering kali terbuka lebar. Bagi mereka yang memiliki latar belakang ekonomi serupa, jangan hanya terpaku pada satu jalur.
Jika Anda mengalami kegagalan administratif seperti saya, jangan berhenti. Carilah ekosistem yang dapat mengurangi beban biaya hidup, baik itu masjid, asrama relawan, atau pekerjaan paruh waktu yang menyediakan tempat tinggal.
Latar belakang sebagai anak petugas parkir bukanlah penjara yang membatasi gerak. Kegagalan administrasi hanyalah hambatan kecil. Selama kita berani “numpang hidup” pada ekosistem yang tepat, gelar magister bukan lagi sekadar impian di atas aspal tempat parkir.