Posted in

Menutup Lubang Tikus di Morowali (Bagian Penutup)

Langit Morowali sore itu menunjukkan warna jingga kemerahan yang membingungkan: apakah ini keindahan matahari terbenam atau pantulan dari tungku smelter yang terus beroperasi? Di kejauhan, sebuah pesawat mendarat dengan mulus di landasan pacu pribadi. Tanpa antrean, tanpa hiruk-pikuk calo, dan—yang paling mengkhawatirkan—hampir tanpa pengawasan negara yang benar-benar efektif.

Ini merupakan bagian penutup dari perjalanan investigasi mengenai ‘Bandara Hantu’ di pusat kawasan industri. Bersama Bang Rendi, mantan pejabat pabean yang kini memilih jalan sunyi, kami mengupas tuntas anatomi permasalahan ini hingga ke akar-akarnya.

Masalah Sistemik di Balik Bandara Khusus

“Ini bukan soal anti-asing atau anti-investasi, Bro,” ucap Rendi pelan, matanya menatap nanar ke arah foto lama kami saat bertugas di Palangka Raya. “Ini soal harga diri rumah tangga. Kau boleh terima tamu agung, tapi jangan biarkan tamu itu pegang kunci pintu depan rumahmu.”

Kesalahan mendasar selama ini adalah memandang masalah Bandara Khusus secara terpisah-pisah. Imigrasi hanya melihat paspor, Bea Cukai hanya melihat kargo, Kemenhub hanya melihat izin terbang. Padahal, Rendi menegaskan, ini merupakan satu orkestrasi besar yang terintegrasi.

Bandara ini berfungsi sebagai jantung dari sistem eksklusivitas yang terbentuk.

1. Pintu Masuk: Memungkinkan ribuan Tenaga Kerja Asing (TKA) dengan keterampilan rendah masuk dengan status turis atau kunjungan, menghindari pajak PPh 21, dan Dana Kompensasi (DKPTKA).

2. Jalur Logistik: Memungkinkan barang konsumtif dan logistik internal masuk tanpa penyaringan ketat, mematikan potensi ekonomi pasar lokal seperti warung, pemasok sayur, dan rokok lokal.

3. Tembok Sosial: Menciptakan segregasi. TKA tidak pernah berinteraksi dengan warga lokal karena mereka datang, hidup, dan makan dari suplai yang diterbangkan langsung.

“Negara rugi tiga kali,” Rendi menghitung dengan jarinya. “Pajak hilang, perputaran uang lokal macet, dan benih kebencian sosial tumbuh subur.”

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kita telah melihat percikan konflik: bentrokan fisik antar pekerja. Media menyebutnya kesalahpahaman. Rendi menyebutnya “Ledakan Ketimpangan”.

“Bayangkan kau sarjana teknik dari Makassar atau Jawa, kerja di sana, gajinya UMR plus sedikit tunjangan. Lalu kau lihat ada orang asing, skill-nya cuma ngelas atau nyopir, tapi gajinya 10 juta lebih, diantar jemput bus AC, dan makanannya diimpor,” Rendi menggeleng.

Bandara hantu itu memfasilitasi sistem kastanisasi ini. Ia merupakan gerbang yang memisahkan ‘Kita’ (yang lewat jalan rusak berdebu) dan ‘Mereka’ (yang turun dari langit). Jika regulasi bandara ini tidak diubah, kita hanya menunggu waktu sampai konflik horizontal yang lebih besar meledak. Dan saat itu terjadi, investor akan kabur, meninggalkan kita dengan lubang tambang dan luka sosial.

“Terus, kita harus apa? Usir mereka? Tutup bandaranya?” pancing saya.

Rendi tersenyum bijak. “Itu cara berpikir preman, bukan negarawan. Kita butuh investasi mereka, mereka butuh sesuatu dari kita. Posisinya setara. Solusinya adalah Diplomasi Bermartabat dan Penegakan Hukum Digital.”

Blueprint Solusi Strategis

Berikut adalah Blue Print solusi yang dirangkum Rendi sebelum ia menutup buku catatannya selamanya:

1. Doktrin ‘One Gate, One Data’ (Penyatuan Data Mutlak)

Saat ini, data perusahaan dan data negara seringkali berbeda.

• Solusi: Wajibkan integrasi sistem manifes penerbangan dan kargo real-time ke National Logistics Ecosystem (NLE).

• Mekanisme: Tidak ada lagi laporan manual Excel. Setiap paspor yang di-scan di Morowali, datanya harus muncul detik itu juga di layar Command Center Dirjen Imigrasi Jakarta. Jika ada anomali (misal: Visa Turis tapi frekuensi kedatangan rutin), sistem otomatis memblokir (Red Flag).

2. Sterilisasi Zona Aparat (Independensi Petugas)

• Masalah: Petugas negara di lapangan ‘dibuai’ fasilitas perusahaan.

• Solusi: Negara harus membangun Kantor Layanan Terpadu Satu Pintu di area bandara yang tanah dan bangunannya milik negara, bukan pinjaman perusahaan. Petugas dilarang keras tidur di mess perusahaan atau makan katering perusahaan. Berikan tunjangan khusus kemahalan bagi aparat di sana agar mereka tidak mudah disuap. Harga diri aparat dimulai dari perut yang kenyang oleh uang negara, bukan uang swasta.

3. Kuota Jalur Umum (Breaking the Enclave)

• Solusi: Wajibkan 30-40% rotasi TKA atau logistik non-urgensi untuk melalui bandara umum terdekat atau pelabuhan umum.

• Tujuan: Memaksa terjadinya interaksi ekonomi. Biarkan mereka membeli air mineral di warung lokal, biarkan mereka melihat kondisi jalan raya. Pecahkan gelembung eksklusivitas itu.

4. Audit Silang ‘Mata Dewa’

• Solusi: Gunakan teknologi satelit dan drone pengawas yang dikendalikan oleh otoritas pusat untuk memantau aktivitas bongkar muat kargo di malam hari.

• Penegakan: Jika ditemukan ketidaksesuaian antara lapor dan fakta, terapkan denda administratif sebesar 10x lipat nilai barang. Gunakan bahasa yang dimengerti korporasi: Profit & Loss. Buat kecurangan menjadi opsi yang terlalu mahal.

Pesan Penutup dan Refleksi

Kopi di gelas Rendi sudah habis. Hujan mulai mereda, menyisakan aroma tanah basah yang khas. Dia berdiri, merapikan jaket kulit kesayangannya.

“Negara ini sakti, Bro,” katanya sebagai kalimat perpisahan. “Kita punya hukum, kita punya alat, kita punya orang pintar. Yang kita nggak punya cuma satu: Nyali untuk bilang ‘Tidak’ pada pelanggaran.”

Rendi menepuk bahu saya keras-keras.

“Tulis ini. Kasih tahu para bos di Jakarta. Jangan sampai cucu kita nanti ke Morowali harus pakai paspor karena tanah itu secara de facto bukan lagi milik hukum Indonesia. Bandara itu cuma aspal, tapi di atasnya ada marwah Merah Putih yang lagi dipertaruhkan.”

Dia pun berlalu, kembali menjadi rakyat biasa yang memilih hidup tenang. Tapi suaranya—dan peringatannya—masih berdenging di telinga saya, lebih keras dari deru mesin pesawat jet yang mendarat diam-diam di balik bukit sana.

Morowali adalah masa depan. Pertanyaannya: Masa depan milik siapa?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *