Posted in

Ketakutan Setelah Menyelesaikan Pendidikan Tinggi

Perasaan takut muncul secara bergelombang. Di satu sisi, terdapat bayangan berat perkuliahan dengan tugas yang menumpuk, tekanan akademik, serta kekhawatiran tidak mampu mengikuti. Di sisi lain, ada momok yang lebih menakutkan yakni rasa takut tidak menjadi apa-apa di masa mendatang. Kedua ketakutan ini saling berkaitan, menghantui banyak generasi muda yang merasa terjebak di persimpangan jalan.

Pendidikan tinggi tidak sekadar tentang pembelajaran. Kuliah telah berubah menjadi penanda status sosial, ukuran keberhasilan, bahkan beban psikologis. Kita tumbuh dengan narasi tunggal:

  • “Kuliah di jurusan favorit atau kamu ketinggalan”
  • “Lulus cepat, dapat kerja bagus, baru dianggap sukses”
  • “Kalau tidak kuliah, masa depanmu suram”

Padahal, perjalanan hidup tidak pernah sesederhana skenario linear tersebut. Banyak individu terjebak memilih jurusan karena ikut-ikutan, bukan berdasarkan minat sejati. Banyak yang merasa salah jurusan namun takut mengakuinya. Banyak yang bertahan demi gelar, bukan demi ilmu pengetahuan.

Sumber-Sumber Ketakutan Pascakuliah

Ketakutan ini berasal dari beberapa faktor:

1. Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat

Media sosial membuat kita terus-menerus menyaksikan “highlight reel” kehidupan orang lain, teman yang sudah magang di perusahaan ternama, saudara yang lulus dengan predikat cum laude, influencer muda yang sudah sukses secara finansial. Kita membandingkan “behind the scenes” hidup kita dengan “highlight reel” kehidupan orang lain.

2. Ekspektasi Keluarga yang Membebani

“Anak Pak RT saja sudah kerja di bank, masa kamu belum?”

“Kamu kan anak pertama, harus jadi contoh”

Ungkapan-ungkapan ini, meski sering diucapkan dengan niat baik, justru menambah beban psikologis.

3. Sistem yang Menilai Berdasarkan Gelar

Masih banyak lowongan pekerjaan yang mensyaratkan gelar sarjana untuk posisi yang sebenarnya tidak membutuhkannya. Masih banyak lingkungan sosial yang mengagungkan gelar akademik di atas kemampuan nyata.

Mengurai Mitos ‘Kesuksesan’ yang Monolitik

Kita perlu mengingatkan diri sendiri:

1. Sukses itu Jamak, Bukan Tunggal

Kesuksesan tidak selalu berarti dokter, insinyur, atau CEO. Seniman yang konsisten dengan karyanya, pengusaha mikro yang menghidupi keluarganya, guru yang menginspirasi murid-muridnya mereka semua merupakan bentuk kesuksesan.

2. Proses itu Personal

Ada yang menemukan minat sejati di usia 20 tahun, ada yang di usia 40 tahun. Ada yang sukses dengan jalur linear, ada yang melalui jalan berliku. Tidak ada waktu yang “terlambat” untuk mulai menjadi diri sendiri.

3. Gagal Bukan Akhir

Banyak orang sukses justru melalui rangkaian kegagalan. J.K. Rowling ditolak 12 penerbit sebelum Harry Potter diterima. Soichiro Honda gagal puluhan kali sebelum mendirikan perusahaan mobilnya.

Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan Saat Ini

1. Ubah Pertanyaannya

Daripada bertanya “Aku nanti jadi apa?” coba tanya:

  • “Apa yang membuatku merasa hidup?”
  • “Apa yang akan kulakukan jika uang bukan masalah?”
  • “Nilai-nilai apa yang penting bagiku?”

2. Pisahkan Suara Orang Lain dari Suara Hatimu

Tanyakan pada diri sendiri: “Ini keinginanku atau ekspektasi orang lain?” Belajar mendengar intuisi sendiri adalah keterampilan penting yang sering diabaikan dalam pendidikan formal.

3. Eksplorasi Sebelum Berkomitmen

Manfaatkan masa kuliah untuk benar-benar mengeksplorasi:

  • Ikuti kelas lintas jurusan
  • Ikuti organisasi atau komunitas
  • Coba magang di berbagai bidang
  • Bicara dengan profesional di bidang yang kamu minati

4. Beri Izin untuk Berubah Pikiran

Tidak apa-apa jika:

  • Kamu merasa salah jurusan
  • Kamu butuh waktu lebih lama dari teman-temanmu
  • Kamu ingin berhenti sejenak
  • Kamu ingin mengubah jalan kariermu

Yang kita butuhkan bukanlah kepastian mutlak tentang masa depan. Yang kita butuhkan adalah:

  • Keberanian untuk memulai meski takut.
  • Ketahanan untuk terus bangun setelah jatuh.
  • Kebijaksanaan untuk belajar dari setiap pengalaman.
  • Kasih sayang pada diri sendiri ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana.

Hidup bukanlah perlombaan lari 100 meter yang harus dimenangkan dengan cepat. Hidup lebih seperti pendakian gunung setiap orang punya jalurnya sendiri, kecepatannya sendiri, dan pemandangan indah yang berbeda sepanjang perjalanan.

Kamu yang masih bertahan, yang masih mencoba, yang masih bertanya kamu sudah menjadi sesuatu. Jadilah pemberani yang terus melangkah meski takut. Dan itu, sungguh-sungguh, sudah cukup sebagai awal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *