Di berbagai ruang kehidupan—rumah, sekolah, tempat kerja, hingga ruang publik—perempuan sering muncul sebagai sosok yang bekerja keras, bertahan, dan berkorban, namun suara mereka kerap tenggelam. Bukan karena tidak mampu bersuara, melainkan karena budaya telah lama mengajarkan bahwa perempuan sebaiknya diam, patuh, dan menerima.
Budaya—yang seharusnya menjadi identitas dan kekayaan bangsa—dalam praktiknya sering berubah menjadi bayang-bayang yang membatasi perempuan. Atas nama adat, norma, dan “kepantasan”, perempuan dihadapkan pada batas-batas yang tidak selalu adil. Inilah persoalan mendasar yang masih relevan dibicarakan: bagaimana budaya—secara sadar maupun tidak—terus membentuk ketimpangan terhadap perempuan.
Budaya sebagai Sistem Nilai yang Membentuk Peran
Budaya bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan juga sistem nilai yang membentuk cara berpikir, bersikap, dan bertindak suatu masyarakat. Dalam banyak kebudayaan—termasuk di Indonesia—perempuan sering ditempatkan dalam peran domestik: mengurus rumah, anak, dan keluarga. Peran ini kerap dianggap kodrati, seolah-olah sudah ditetapkan sejak lahir.
Masalah muncul ketika peran tersebut dipaksakan sebagai satu-satunya jalan hidup perempuan. Perempuan yang memilih fokus pada karier sering dianggap “melawan kodrat”. Sebaliknya, laki-laki jarang mendapatkan stigma ketika tidak terlibat penuh dalam pekerjaan domestik. Konstruksi budaya ini menciptakan ketimpangan peran yang diwariskan lintas generasi, tanpa pernah benar-benar dipertanyakan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa beban kerja domestik perempuan di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Bahkan, ketika perempuan bekerja di sektor formal, mereka tetap memikul tanggung jawab domestik yang dominan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa budaya belum sepenuhnya memberi ruang setara bagi perempuan untuk menentukan peran hidupnya sendiri.
Standar Ganda dan Hambatan Budaya
Budaya juga kerap menerapkan standar ganda terhadap perempuan. Dalam hal moral, perempuan sering dinilai lebih keras. Cara berpakaian, cara berbicara, hingga pilihan hidup pribadi menjadi objek penghakiman sosial. Ketika terjadi kekerasan seksual, misalnya, pertanyaan yang sering muncul bukan “mengapa pelaku melakukan kekerasan?”, melainkan “mengapa korban berpakaian demikian?” atau “mengapa korban berada di tempat itu?”
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahun, dengan sebagian besar pelaku berasal dari lingkungan terdekat. Namun, budaya menyalahkan korban masih kuat, membuat banyak perempuan memilih diam karena takut stigma. Ini menunjukkan bahwa budaya, alih-alih melindungi, justru sering menjadi tameng bagi ketidakadilan.
Di sejumlah daerah, budaya masih memengaruhi akses perempuan terhadap pendidikan. Anggapan bahwa pendidikan tinggi lebih penting bagi laki-laki dibanding perempuan belum sepenuhnya hilang. Perempuan dianggap cukup “pandai mengurus rumah”, sementara laki-laki dipersiapkan sebagai pencari nafkah utama.
Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan perempuan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup keluarga dan masyarakat. Perempuan berpendidikan cenderung lebih sadar kesehatan, lebih aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, dan lebih mampu mendidik generasi berikutnya. Ketika budaya membatasi akses pendidikan perempuan, yang dirugikan bukan hanya perempuan itu sendiri, melainkan juga masyarakat secara luas.
Budaya Patriarki sebagai Akar Masalah
Akar dari banyak persoalan ini adalah budaya patriarki—sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Dalam budaya patriarki, kepemimpinan identik dengan maskulinitas, sementara kelembutan dan empati dilekatkan pada perempuan dan dianggap kurang bernilai dalam pengambilan keputusan publik.
Hal ini tecermin dalam rendahnya keterwakilan perempuan di posisi strategis, baik di pemerintahan, dunia usaha, maupun lembaga pendidikan. Meski jumlah perempuan terdidik terus meningkat, hambatan budaya masih menjadi tembok tak kasatmata yang sulit ditembus. Perempuan harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang sama.
Kita bisa melihat dampak budaya ini dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan yang belum menikah di usia tertentu sering mendapat tekanan sosial. Pertanyaan seperti “kapan menikah?” atau “mengapa belum punya anak?” menjadi beban psikologis yang jarang dialami laki-laki. Budaya seolah menetapkan garis waktu hidup perempuan tanpa mempertimbangkan pilihan dan kesiapan individu.

Di dunia kerja, perempuan yang tegas kerap dicap emosional atau ambisius secara negatif, sementara sifat serupa pada laki-laki justru dianggap sebagai kepemimpinan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ketimpangan budaya bukan konsep abstrak, melainkan realitas yang dihadapi perempuan setiap hari.
Perubahan Budaya dan Peran Masyarakat
Penting untuk ditegaskan bahwa budaya bukan sesuatu yang statis. Ia dibentuk oleh manusia dan karena itu bisa diubah oleh manusia. Banyak nilai budaya yang sebenarnya menjunjung keadilan dan penghormatan terhadap perempuan, tetapi sering kali dikalahkan oleh tafsir sempit dan kebiasaan lama.
Perubahan budaya membutuhkan keberanian untuk bertanya: Apakah sebuah tradisi masih relevan, atau justru merugikan? Apakah norma yang dipertahankan benar-benar mencerminkan nilai kemanusiaan, atau hanya melanggengkan ketimpangan?
Media, pendidikan, dan keluarga memiliki peran penting dalam proses ini. Media dapat menghadirkan narasi yang lebih adil terhadap perempuan. Pendidikan dapat menanamkan nilai kesetaraan sejak dini. Keluarga—sebagai unit terkecil masyarakat—dapat menjadi ruang pertama bagi anak laki-laki dan perempuan untuk belajar tentang keadilan dan saling menghormati.

Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa budaya tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan ketidakadilan terhadap perempuan. Menghormati budaya tidak berarti menutup mata terhadap dampaknya. Justru, mencintai budaya seharusnya mendorong kita untuk mengoreksinya agar selaras dengan nilai keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.
Perempuan tidak sedang meminta keistimewaan, tetapi hak yang setara: hak untuk didengar, dihormati, dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Ketika budaya menghalangi hak tersebut, budaya itulah yang perlu ditinjau ulang.
Perempuan dalam bayang-bayang budaya adalah potret nyata masyarakat yang belum sepenuhnya adil. Budaya yang mengekang perempuan tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat kemajuan sosial secara keseluruhan. Sudah saatnya kita berhenti menerima ketimpangan sebagai hal yang “wajar”.
Ke depan, perubahan bisa dimulai dari langkah sederhana: mengubah cara kita berbicara, mendidik anak tanpa bias gender, dan berani bersuara ketika melihat ketidakadilan. Budaya seharusnya menjadi cahaya yang membimbing, bukan bayang-bayang yang menutupi. Dengan kesadaran kolektif dan keberanian untuk berubah, perempuan dapat berdiri sejajar—bukan lagi di balik bayang-bayang budaya, melainkan di ruang terang yang adil bagi semua.