Anggota Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh wilayah mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) di rumah mantan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Minggu 21 Desember. Tema pertemuan tersebut adalah Mengembalikan NU kepada Jamaah demi Kemaslahatan Bangsa dan Kelestarian Alam.
Ketua Panitia (SC) Mubes NU 2025, Achmad Munjid, menyatakan bahwa forum ini menekankan pentingnya transparansi organisasi terhadap aspirasi dasar dari anggota. Selain itu, forum menolak segala intervensi eksternal dalam urusan internal NU.
Tujuan dan Tema Musyawarah Besar
Achmad Munjid menegaskan dalam konferensi pers di kediaman Gus Dur, Jakarta Selatan, pada Minggu 21 Desember, “Seperti disampaikan di awal, ini adalah musyawarah warga nahdliyin ketika PBNU mengalami polarisasi akibat kontestasi antara Rais Aam dan Ketua Umum. Keberpihakan kami adalah kepada jamaah, kemaslahatan NU bagi warganya dan bangsa. Apa yang kami sampaikan hari ini bahkan bukan soal siapa yang salah atau siapa yang benar, bukan penghakiman, dan bukan kubu-kubuan.”

Menurut Mubes, dinamika terkini di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berpotensi menyimpangkan fokus NU dari tugas utama, seperti pemberdayaan umat, pendidikan, layanan sosial, serta upaya memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, negara, dan lingkungan.

Karena itu, para peserta Mubes mengajukan beberapa seruan moral:
1. Kami memberi dukungan kepada para ulama, baik dalam Mustasyar PBNU maupun di pesantren, terutama hasil Musyawarah Kubro Alim Ulama dan Sesepuh NU di Lirboyo, terkait penyelesaian konflik, pemulihan integritas organisasi, serta pengembalian NU kepada jamaah demi kemaslahatan bangsa dan kelestarian alam. Selain itu, kami meminta pihak-pihak yang berkonflik untuk bersatu dan bersikap tawadhu demi masa depan NU.
2. Mengacu pada prinsip dar’ul mafâsidi muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlihi, untuk mencegah polarisasi yang berlarut, menghindari perselisihan di ranah hukum, serta menjamin kepemimpinan NU yang stabil dan disepakati bersama, kami menyerukan percepatan pelaksanaan Muktamar ke-35 NU. Agar memiliki legitimasi hukum yang kuat, Muktamar ke-35 harus dilaksanakan dan disahkan oleh Rais Aam serta Ketua Umum mandat Muktamar ke-34 Lampung, dan dijalankan oleh Panitia Muktamar yang direkomendasikan Mustasyar PBNU. Jika percepatan tidak tercapai, Muktamar Luar Biasa (MLB) dapat diadakan sesuai AD/ART. Semua isu yang diperdebatkan akan dibahas dan diselesaikan dalam Muktamar mendatang, sehingga akuntabilitas dan transparansi terwujud.
3. Untuk kepentingan jam’iyyah NU ke depan dan membuka jalan bagi kepemimpinan baru yang dapat menjembatani perbedaan serta memulihkan kesatuan jam’iyyah, kami mengimbau para muktamirin agar tidak mendukung pihak yang terlibat konflik, serta mendukung terbentuknya pemimpin yang berintegritas, berakhlakul karimah, mengabdikan seluruh waktunya untuk NU, dan bebas dari konflik kepentingan dengan institusi lain, baik di bidang ekonomi, bisnis, politik, sosial, maupun keagamaan.
4. Penetapan jabatan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU sebaiknya kembali pada mekanisme kebijaksanaan para ulama secara partisipatif dan berjenjang mulai dari tingkat terbawah, bebas dari politik uang dan intervensi eksternal, serta menekankan pendekatan spiritual, musyawarah untuk mufakat, dan adab Ahlussunnah wal Jama’ah an‑Nahdliyyah.
5. Sepanjang sejarah, NU telah membuktikan kemampuannya menyelesaikan persoalan secara mandiri. Karena itu, kami mengajak semua pihak untuk tidak melakukan intervensi dari luar NU, baik dari institusi negara maupun non‑negara.
6. Program NU ke depan harus menegaskan kembali independensi jam’iyyah, berlandaskan pada kekuatan jamaah, berprinsip mabâdi’ khaira ummah, tidak merusak lingkungan (fiqh al‑bi’ah), serta berfokus pada kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan martabat manusia. NU harus menjadi ruang khidmah yang terbuka dan memberdayakan seluruh sumber daya manusia unggul di kalangan NU dalam pelaksanaan program.
7. Untuk melindungi martabat dan independensi Nahdlatul Ulama serta menghindari kerusakan, konsesi tambang yang pernah diberikan kepada NU harus dikembalikan kepada negara. Sikap ini selaras dengan keputusan Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 2015 yang menegaskan larangan praktik pertambangan yang merusak lingkungan dan mengancam kesejahteraan masyarakat.
8. Sebagai layanan NU bagi bangsa, NU harus segera menanggapi situasi kebangsaan dan kerakyatan dengan keberpihakan tegas kepada mustadl’afin. Oleh karena itu, PBNU harus mendesak pemerintah menetapkan status bencana ekologi nasional di Sumatra. PBNU juga perlu menuntut pembebasan tahanan politik peristiwa Agustus 2025 serta isu‑isu kerakyatan lainnya sebagai wujud hak bersuara, penegakan kedaulatan rakyat, demokrasi, dan penghormatan hak asasi manusia.
9. Kami mengundang seluruh warga NU, PWNU, PCNU, MWCNU, hingga Ranting NU untuk tidak terjebak dalam ketegangan elit, terus memelihara ukhuwah nahdliyyah, menjaga kesantunan, serta melaksanakan khidmah masing‑masing. Kedamaian di tingkat akar rumput menjadi benteng keutuhan NU serta dasar peradaban rahmatan lil ‘alamin, keadilan sosial, dan jihad lingkungan (fiqh al‑bi’ah).
Acara tersebut dihadiri oleh 213 peserta dari berbagai wilayah serta sejumlah tokoh, antara lain Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), dr. Umar Wahid, Alissa Wahid, Inayah Wahid, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Abdul A’la.
Forum ini diinisiasi oleh Lukman Hakim Saifuddin, Marzuki Wahid, Achmad Munjid, Helmi Ali, Inayah Wahid, Masrucha, Cici Farhah, Maya Dina, Nur Rofiah, dan Hakim Jayli.
Gus Yahya dan Polemik PBNU

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan pendapatnya terkait polemik internal Nahdlatul Ulama (NU) setelah rapat pleno kubu Rais Aam KH Miftachul Akhyar mengangkat KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU.
Gus Yahya menekankan bahwa semua persoalan sebaiknya diselesaikan secara kolektif melalui Muktamar.
Gus Yahya menyatakan di Gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, pada Kamis 11 Desember, “Posisi kami yang kedua adalah bahwa tidak ada jalan keluar selain bersama-sama. Mari bermuktamar bersama. Supaya setelah Muktamar, semua selesai. Tidak ada lagi masalah.”
Ia menambahkan, “Yang belum bisa kita selesaikan sebelum Muktamar, kita selesaikan di Muktamar saja.”
Ia menjelaskan bahwa sebelum pleno penetapan Ketua Umum oleh Rais Aam, ia telah berupaya melakukan pendekatan terlebih dahulu.
Gus Yahya menuturkan, “Sebelum itu, saya sendiri bahkan sudah menemui Wakil Rais Aam, KH Afifuddin Muhajir. Sebelumnya saya juga telah memohon waktu kepada Rais Aam, namun belum mendapat jawaban.”
Penetapan Penjabat Ketua Umum PBNU

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan rapat pleno penetapan Penjabat Ketua Umum PBNU di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pada Selasa 9 Desember. Rapat dipimpin oleh Rais Syuriyah PBNU Mohammad Nuh.
Mohammad Nuh menyatakan bahwa hasil rapat menetapkan KH Zulfa Mustofa, Wakil Ketua Umum PBNU, sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU.
“Yaitu penetapan pejabat Ketua Umum PBNU masa bakti sisa, yaitu yang mulia Bapak KH Zulfa Mustofa,” kata Mohammad Nuh.
Nuh menjelaskan bahwa KH Zulfa Mustofa akan memimpin PBNU dan menjalankan tugasnya hingga Muktamar NU pada tahun 2026.
“Oleh karena itu, beliau akan memimpin PBNU sebagai penjabat Ketua Umum dan melaksanakan tugas-tugasnya sampai Muktamar yang insyaallah dilaksanakan pada 2026,” ujarnya.
Sebelumnya, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar membuka rapat pleno penentuan Penjabat Ketua Umum PBNU di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, pada Selasa 9 Desember.
Dalam pembukaannya, Kiai Miftachul menyatakan bahwa rapat pleno tersebut merupakan bagian dari proses yang harus dilalui Syuriyah untuk memperkuat supremasinya dalam struktur PBNU.
“Alhamdulillah, malam ini sebagaimana kita maklumi adalah rapat pleno sebagai bagian dari proses yang harus kita lalui untuk kembali menegaskan bahwa Syuriyah merupakan owner Nahdlatul Ulama. Periode ini menjadi tekad bersama untuk menguatkan supremasi Syuriyah,” kata Kiai Miftachul.