Pengamat berpendapat bahwa keterbukaan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian dalam penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menunjukkan kepedulian serta tanggung jawab negara kepada rakyat.
Dalam kondisi bencana yang penuh tekanan, pendekatan yang menekankan empati dianggap penting untuk menenangkan masyarakat dan mempertahankan kepercayaan publik.
Penanganan Bencana dan Keterbukaan Pemerintah
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Analis Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, sebagai tanggapan atas Konferensi Pers Penanggulangan Bencana Sumatera yang diadakan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Jumat (19/12).
Surokim menilai bahwa pengakuan terbuka Mendagri Tito mengenai keterbatasan dalam penanganan bencana serta permintaan maaf kepada masyarakat mencerminkan kepemimpinan yang responsif terhadap kondisi psikologis publik.
“Dalam situasi kebencanaan, sikap terbuka dan jujur dari pemerintah justru penting untuk menghadirkan rasa kehadiran negara di tengah masyarakat,” ujar Surokim saat dihubungi, Sabtu (20/12).
Mengenai kontroversi bantuan dari Malaysia, Surokim menilai klarifikasi yang diberikan oleh Mendagri Tito juga memperlihatkan empati serta penghormatan terhadap solidaritas antarnegara.
Dia menambahkan bahwa komunikasi publik yang terkoordinasi dan penuh empati menjadi faktor kunci dalam situasi darurat, karena masyarakat membutuhkan tidak hanya data teknis, tetapi juga ketenangan dan arahan yang jelas dari pemerintah.

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing, yang menganggap pengelolaan komunikasi publik dalam penanganan bencana harus terus ditingkatkan agar lebih terintegrasi dan responsif terhadap kondisi emosional masyarakat.
Menurut Emrus, situasi bencana menuntut komunikasi yang kuat, satu suara, serta berlandaskan empati. Jika tidak dikelola dengan baik, informasi yang disampaikan dapat menimbulkan kebingungan di kalangan publik.
“Pemerintah memiliki Badan Komunikasi serta Kementerian Komunikasi dan Digital yang dapat dioptimalkan untuk mendukung komunikasi kebencanaan,” ujar Emrus.
Ia menambahkan bahwa penyampaian informasi mengenai bantuan internasional sebaiknya dilakukan oleh kementerian yang memiliki wewenang di bidang hubungan luar negeri untuk menghindari kesalahpahaman di ruang publik. “Pembagian peran dan tugas komunikasi perlu ditegaskan agar setiap kementerian bekerja sesuai fungsi dan kewenangannya,” tambahnya.
Emrus juga berpendapat bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan penunjukan juru bicara khusus penanganan bencana untuk memastikan alur informasi lebih efektif, terkoordinasi, dan mendukung upaya penanggulangan bencana secara menyeluruh. “Juru bicara nantinya akan menjelaskan perkembangan penanganan bencana kepada publik,” ujar Emrus.
Dalam klarifikasinya, Mendagri Tito menegaskan tidak ada niat untuk meremehkan bantuan dari Malaysia dan tetap menghargai perhatian serta dukungan yang diberikan kepada korban bencana. Ia juga menyatakan bahwa sejak awal pemerintah Indonesia telah mengerahkan berbagai sumber daya nasional untuk menangani bencana di beberapa wilayah Sumatera. Namun, perhatian publik seringkali lebih terfokus pada isu bantuan internasional dibandingkan upaya penanganan domestik.