Posted in

Usai Tes Kemampuan Akademik: Nilai Matematika-Bahasa Inggris Jadi Perhatian

Pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) untuk jenjang SLTA dan sederajat pada tahun 2025 telah berakhir. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan tes berjalan dengan lancar, meskipun terdapat beberapa penyimpangan di lapangan.

“Alhamdulillah pelaksanaan berjalan lancar. Walaupun di sana-sini ada semacam penyimpangan, itu wajar saja. Ibarat orang main sepak bola juga ada yang diberi kartu kuning. Tapi tidak berarti terus pertandingannya dibubarkan,” ujar Mu’ti dalam Taklimat Media TKA di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Senin (22/12).

TKA merupakan asesmen standar nasional yang bersifat sukarela, bertujuan mengukur capaian akademik peserta didik pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Implementasi Bertahap dan Peran TKA

Tahun ini TKA mulai diterapkan pada siswa kelas 12 SMA, dengan rencana tahun depan menyasar siswa kelas 9 SMP dan siswa kelas 6 SD.

Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa TKA tidak menjadi penentu kelulusan siswa, namun memiliki peran dalam sejumlah kebijakan strategis, termasuk untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi melalui jalur nontes.

“TKA ini menjadi penentu dalam beberapa kebijakan, termasuk kebijakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, terutama jalur nontes,” ujar dia.

Sejumlah perguruan tinggi telah menjalin kerja sama dengan kementerian melalui Forum Rektor dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi.

“Kerja sama ini dilakukan agar ke depan TKA ini lebih baik lagi,” katanya.

Kelulusan Tetap Kewenangan Sekolah

Mu’ti menegaskan bahwa kelulusan sepenuhnya menjadi kewenangan masing-masing satuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan peraturan yang berlaku, di mana sekolah menetapkan kelulusan berdasarkan penilaian internal.

“TKA ini tidak menjadi penentu kelulusan. Karena sesuai dengan aturan, kelulusan ditetapkan masing-masing satuan pendidikan berdasarkan tes yang diselenggarakan,” katanya.

Menurutnya, TKA dirancang bukan sekadar sebagai tes, melainkan sebagai bagian dari sistem penilaian yang terhubung dengan kebijakan pendidikan tinggi.

“Rancangan ini akan kita bicarakan lebih lanjut,” ucap Mu’ti.

Nilai Rapor Tetap Penting

Abdul Mu’ti menegaskan hasil TKA bukan satu-satunya penilaian terhadap capaian akademik siswa. Nilai rapor tetap memiliki peran penting untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

“Mereka yang tidak ikut TKA, tidak berarti itu akhir dunia. Karena mereka tetap memiliki nilai rapor, yang juga menjadi dasar bagi perguruan tinggi dalam melakukan penelusuran calon mahasiswa barunya,” kata dia.

“Tentu tidak semua murid mengikuti itu dengan alasan memang dia sudah tidak ada niat untuk kuliah di perguruan tinggi,” sambung Mu’ti.

Ia juga menuturkan perihal kesinambungan antara TKA dengan tes masuk perguruan tinggi.

“Kesinambungan antara TKA dan tes perguruan tinggi ini intinya bahwa TKA tidak sekadar dilaksanakan untuk tes belaka. Memang ada keterkaitannya dengan kebijakan perguruan tinggi,” ucap Mu’ti.

Distribusi Hasil dan Sistem e-Rapor

Mu’ti menjelaskan, hasil TKA akan disampaikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, sekolah, dan masing-masing murid. Namun, nilai individu tidak akan dipublikasikan ke ruang publik.

“Hasil itu disampaikan langsung kepada murid melalui masing-masing satuan pendidikan,” ujarnya.

Menurut Mu’ti, hasil TKA akan terdokumentasi dalam sistem elektronik, sejalan dengan penerapan e-Rapor. Dengan sistem ini, siswa dapat mengakses dan mencetak rapor kapan saja tanpa risiko kehilangan dokumen fisik akibat bencana atau musibah lainnya.

“Dengan e-rapor insyaallah tidak bikin repot karena terdokumentasi di sistem yang kita miliki, sehingga bisa dicetak kapan saja sepanjang dokumennya itu masih dia miliki,” ujarnya.

“Kalau dia paper-based rapor, itu kan berisiko. Misal mohon maaf, kalau ada musibah seperti banjir, itu rapornya bisa hilang,” tambah dia.

Hasil TKA: Bahasa Inggris dan Matematika Jadi Sorotan

Dalam kesempatan yang sama, dipaparkan rata-rata hasil TKA setingkat SLTA tersebut. Hasilnya, Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib dengan nilai rata-rata paling rendah.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Toni Toharudin, menyebut rata-rata nilai Bahasa Inggris wajib secara nasional berada di angka 24,9. Angka tersebut menjadi yang terendah dibandingkan mata pelajaran wajib lainnya.

“Rata-rata dari mata pelajaran wajib Bahasa Inggris, kita lihat rata-ratanya 24,9,” kata Toni.

Menurutnya, Bahasa Indonesia mencatat rata-rata tertinggi di antara mata pelajaran wajib, disusul Matematika. Tercatat, rata-rata Bahasa Indonesia sebesar 55,3. Sementara Matematika menunjukkan angka 36,1.

Ia menegaskan, data tersebut tidak dimaksudkan untuk mengatur peringkat, melainkan bahan refleksi bersama untuk perbaikan pembelajaran ke depan.

“Perbedaan capaian ini saya kira tidak dimaknai sebagai peringkat atau keinginan saya sampaikan sebagai potret capaian kompetensi nasional sebagai dasar refleksi perbaikan pembelajaran,” ujar Toni.

“Data ini akan menjadi bahan evaluasi kebijakan. Kemudian penguatan pendampingan untuk seluruh satuan pendidikan, juga peningkatan kualitas pembelajaran ke depan,” sambung dia.

Evaluasi dan Perbaikan Pembelajaran

Kemudian, nilai mata pelajaran matematika secara nasional terkategori rendah yakni 36,1. Hal ini menjadi perhatian serius dari Kemendikdasmen, utamanya soal peningkatan kualitas guru dan kegiatan pembelajaran.

“Hasil TKA ini menjadi self-reflection bagi kami, terutama untuk segera melakukan berbagai rencana program peningkatan kualitas guru,” ujar Toni Toharudin.

Toni menjelaskan, pemetaan hasil TKA menunjukkan bahwa implementasi kebijakan tidak bisa disamaratakan antarwilayah. Wilayah dengan capaian baik akan memerlukan pendekatan berbeda dibandingkan wilayah dengan hasil yang kurang menggembirakan.

“Hasil mapping ini menunjukkan bahwa treatment kebijakan ini tidak harus sama di antarwilayah,” katanya.

“Nanti ini akan menjadi pembicaraan kami dalam tindak lanjut hasil TKA untuk perbaikan kualitas berbagai hal, karena target kami setelah ada program prioritas kementerian, mudah-mudahan hasil TKA menjadi lebih baik di tahun berikutnya,” imbuh dia.

Analisis Capaian Matematika

Sementara itu, Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Rahmawati menjelaskan rendahnya capaian Matematika bukan semata karena tingkat kesulitan konten, melainkan karena cara soal dirancang menuntut kemampuan bernalar yang belum terbiasa dilatih di satuan pendidikan.

“Kontennya sebenarnya konten sederhana, tetapi cara bertanyanya mungkin yang jarang dilakukan di satuan pendidikan,” ujar Rahmawati.

Ia mencontohkan soal data dan peluang yang secara hitungan tergolong dasar, namun dikaitkan dengan syarat dan ketentuan naratif yang harus dipahami secara menyeluruh.

Para siswa dinilai belum terbiasa mengaitkan data dalam tabel dengan ketentuan berbentuk kalimat.

“Anak-anak kita mungkin tidak terbiasa mengaitkan data yang tertera di tabel dengan syarat dan ketentuan yang berlaku secara naratif,” katanya.

Pelanggaran dalam Pelaksanaan TKA

Pelanggaran yang dilakukan siswa:

  • 4 kasus penggunaan gawai saat pelaksanaan TKA
  • 8 kasus live streaming saat pengerjaan TKA
  • 3 kasus penjualan soal TKA
  • 11 kasus usaha pembocoran soal TKA melalui TikTok
  • 28 kasus usaha pembocoran soal TKA melalui grup WhatsApp
  • 1 kasus usaha pembocoran soal TKA melalui X
  • 5 kasus pemberitaan usaha pembocoran soal di grup WhatsApp melalui X

Pelanggaran yang dilakukan pengawas/proktor:

  • 6 kasus pengawas/teknisi live streaming saat pengerjaan TKA
  • 1 kasus teknisi/proktor mempersilakan peserta TKA menggunakan gawai
  • 1 kasus dashboard pengawas tersebar

Pelanggaran yang Dilakukan Pihak Eksternal (Bimbingan Belajar):

  • 3 kasus pembuatan konten latihan soal yang tersebar setelah pelaksanaan TKA

Capaian Mata Pelajaran Pilihan

Toni Toharudin menyebut mata pelajaran Antropologi tercatat menjadi rata-rata nilai tertinggi, yakni sekitar 70,4.

“Kita lihat capaian rata-rata menunjukkan variasi antarmata pelajaran yang mencerminkan perbedaan karakteristik kompetensi, tingkat kesulitan, dan pilihan murid. Rerata tertinggi tercatat pada Antropologi dengan rata-rata sekitar 70,4,” ujar Toni.

Selain Antropologi, mata pelajaran pilihan lain dengan capaian rata-rata tinggi adalah Geografi dengan rerata 70,3, Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut sekitar 68, serta Bahasa Arab dan Sejarah yang berada di atas 64.

“Capaian ini menunjukkan penguasaan kompetensi yang relatif kuat pada mata pelajaran yang dimaksud,” ujar Toni.

Data TKA, menurut dia, merupakan potret capaian kompetensi nasional yang digunakan sebagai dasar refleksi dan perbaikan pembelajaran.

“Hasil TKA ini menjadi titik awal, bukan titik akhir. Temuan-temuan dalam TKA akan digunakan untuk memperkuat arah pembelajaran ke dalam, kemudian penyempurnaan kurikulum, dan peningkatan kualitas proses belajar mengajar serta guru,” kata Toni.

Menurut Toni, hasil TKA adalah cerminan bersama dalam menunjang kebutuhan riil pembelajaran di kelas, bukan semata-mata pengaturan peringkat.

“Penting kami tegaskan sejak awal bahwa hasil TKA ini bukan untuk me-ranking sekolah, apalagi membandingkan daerah secara sederhana,” ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *