Mantan Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady, didakwa menerima suap senilai Rp 2,5 miliar. Penerimaan suap tersebut terkait dengan pengelolaan kawasan hutan di wilayah Lampung.
Menurut jaksa, suap diterima Dicky dalam bentuk mata uang asing, yakni dolar Singapura. Pemberian suap dilakukan dalam dua tahapan berbeda.
Rincian Penerimaan Suap
“Terdakwa menerima uang sebesar 10 ribu dolar Singapura dari Djunaidi Nur selaku Direktur PT PML, dan menerima uang sebesar dolar Singapura dari Djunaidi Nur bersama Aditya Simaputra selaku staf perizinan di PT PML,” ungkap jaksa KPK, Budiman Abdul Karib, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/12).
Total uang yang diduga diterima Dicky mencapai SGD 199 ribu. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 2,5 miliar.
Perkara ini bermula ketika Inhutani V menjalin kerja sama dengan PT PML terkait pengelolaan hutan sekitar tahun 2009.
Konflik dan Penyelesaian
Pada 2014, terjadi sengketa antara Inhutani V dan PT PML. Namun kedua perusahaan akhirnya sepakat berdamai dan membuat kesepakatan kerja sama baru.
Sekitar Juli 2019, BPK RI melakukan audit terhadap Inhutani V. Hasil audit menyatakan Inhutani V tidak memperoleh keuntungan dari kerja sama dengan PT PML.
Dicky kemudian mengajukan gugatan perdata terhadap PT PML. Putusan pengadilan menyatakan PT PML melakukan wanprestasi.
Dalam putusan tersebut, PT PML dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 3.421.205.245 ditambah denda 6 persen setiap tahun terhitung sejak 2021.
Dengan putusan itu, PT PML juga tidak dapat mengerjakan kawasan hutan yang perizinannya dimiliki Inhutani V karena sebagian lahan dikelola pihak lain.
Proses Lobi dan Pertemuan
Djunaidi dan Aditya kemudian melakukan lobi-lobi kepada pihak Inhutani V, termasuk Dicky. Hal ini dilakukan agar kerja sama mereka dapat terus berlanjut.
Inhutani V kemudian mengakomodasi permintaan PT PML dan melanjutkan kerja sama untuk pengelolaan hutan di wilayah register 42, 44, dan 46. Namun Dicky menyatakan kesepakatan kerja sama itu tidak dilakukannya secara cuma-cuma.
Pada 21 Agustus 2024, terjadi pertemuan antara Dicky dan Djunaidi di salah satu restoran di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Djunaidi menyerahkan SGD 10 ribu kepada Dicky secara tunai.
Setahun berselang, pada Agustus 2025, Dicky kembali bertemu dengan Djunaidi. Pertemuan itu membahas kerja sama penanaman tebu.
Lagi-lagi, Dicky mengatakan kerja sama itu tidak gratis. Dicky diduga meminta mobil Jeep Rubicon.

Djunaidi kemudian menyanggupi permintaan tersebut dan meminta Aditya menindaklanjuti permintaan Dicky. Diberikanlah pemberian kedua senilai SGD 189 ribu yang kemudian oleh Dicky dibelikan mobil Jeep Rubicon warna merah.
Tuntutan Hukum
Atas perbuatannya, Dicky didakwa dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dalam sidang terpisah yang sudah terlebih dahulu berjalan, jaksa menuntut agar Djunaidi dihukum 3 tahun 4 bulan. Jaksa menilai, dia terbukti memberikan suap terhadap Dicky.
“[Menuntut majelis hakim] menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 4 bulan,” kata jaksa saat membacakan amar tuntutan.
Selain pidana badan, jaksa menuntut agar Djunaidi dihukum membayar denda Rp 100 juta. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama 3 bulan.
Sementara, Aditya Simaputra dituntut dengan pidana selama 2 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Jaksa menyatakan Djunaidi dan Aditya melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 KUHP.