Bagi Generasi Z, pernikahan tampaknya tidak lagi menjadi prioritas utama. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren di mana anak muda lebih memilih untuk menunda pernikahan dan tetap hidup lajang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 128 juta dari 282 juta penduduk Indonesia belum menikah. Dari jumlah tersebut, 68,29% dari 65,82 juta anak muda Indonesia memilih untuk tetap lajang.
Data Survei Mengungkap Tren Menunda Pernikahan
Survei Populix 2023 menunjukkan bahwa 61% Generasi Z menyatakan tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Banyak responden berpendapat bahwa usia ideal untuk menikah adalah 25-30 tahun. Lebih mengejutkan lagi, 21% dari mereka mengaku tidak memiliki rencana untuk menikah sama sekali.
Beberapa faktor menjadi alasan utama Generasi Z memilih menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah. Faktor paling dominan adalah perubahan pola pikir yang menyadari bahwa “Pernikahan bukanlah sebuah pencapaian”. Generasi Z lebih memprioritaskan karier dan pengembangan diri daripada menikah.
Kesadaran akan Tanggung Jawab Pernikahan
Generasi Z memandang pernikahan bukan sekadar hidup bersama pasangan, melainkan komitmen kuat dan tanggung jawab utuh terhadap anak. Di era sekarang, terdapat berbagai kasus yang menunjukkan kesulitan dan ketidaksejahteraan anak akibat ketidaksiapan orang tua dalam menjalankan peran mereka.
Masalah ekonomi menjadi isu krusial, di mana banyak rumah tangga yang sudah memiliki anak namun belum sejahtera secara finansial. Tidak sedikit anak yang terpaksa tidak melanjutkan pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi, padahal menyiapkan dana pendidikan merupakan tanggung jawab penuh orang tua.
Berbagai kasus terkait pernikahan ini menjadi pertimbangan Generasi Z untuk menunda pernikahan. Mereka berprinsip bahwa sebelum memutuskan menikah, harus memiliki kesiapan finansial yang memadai agar tidak menjadi penyebab kesulitan bagi anak akibat ketidaksiapan mereka.
Mengubah Pola Pikir dan Memutus Rantai Trauma
Di sisi lain, Generasi Z menunda pernikahan karena ingin mengubah pola pikir dan stigma tradisional yang diwariskan orang tua mereka. Banyak orang tua mewariskan trauma kepada anak, seperti KDRT fisik atau mental, pertengkaran yang disaksikan langsung oleh anak, atau pengabaian emosional sehingga anak tidak mendapatkan validasi dari orang tua.
Mungkin tanpa disadari, orang tua mewariskan banyak trauma kepada anak. Hal ini menjadi alasan kuat bagi anak untuk menunda pernikahan dengan pertimbangan “Jika menikah hanya untuk sengsara, maka untuk apa aku harus menikah” – perspektif yang terbentuk dari pengalaman yang dirasakan dan dilihat langsung.
Faktor-faktor tersebut menjadi alasan sebagian besar generasi muda memilih menunda pernikahan. Bukan sekadar keinginan, tetapi kesadaran bahwa masih banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dibenahi sebelum menjalin hubungan pernikahan, baik secara finansial maupun emosional.
Dampak Positif Tren Menunda Pernikahan
Fenomena Generasi Z yang memilih menunda pernikahan memiliki beberapa dampak positif bagi generasi mendatang:
1. Kematangan Emosional yang Lebih Baik
Ketika Generasi Z memilih menikah dengan kematangan emosional yang baik, akan meminimalisir perceraian, kekerasan, dan pola asuh tidak sehat. Hal ini berdampak positif pada perkembangan emosional anak, karena orang tua menjadi contoh utama.
2. Kesiapan Finansial yang Lebih Stabil
Menikah dengan kondisi finansial stabil lebih menjamin kesejahteraan anak, mencakup kebutuhan dasar, kesehatan, lingkungan tinggal yang baik, dan pendidikan. Anak tidak akan hidup dalam tekanan ekonomi.
3. Pemutus Trauma dan Stigma Antar-Generasi
Kesadaran Generasi Z untuk menyembuhkan trauma masa kecil yang diwarisi orang tua menjadi modal penting ketika menikah. Melalui kesadaran ini, trauma tidak akan terulang atau diwariskan ke generasi berikutnya.
4. Melahirkan Generasi yang Lebih Berkualitas
Anak dari keluarga dengan orang tua yang memiliki kematangan emosional baik dan kondisi finansial terjamin, akan mampu berkembang menjadi pribadi berkualitas dengan pola pikir lebih matang.
Pernikahan bukanlah ajang perlombaan yang bisa dijadikan tanda pencapaian. Pernikahan tidak hanya mengikat dua individu, tetapi juga mengikat tanggung jawab atas kehadiran individu baru. Esensi pernikahan bukan sekadar cinta, melainkan mencakup aspek internal dan eksternal pendukung yang wajib dimiliki setiap individu yang akan menikah.
Meskipun angka pernikahan Generasi Z dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan penurunan, prinsip baru mereka terkait pernikahan memiliki dampak besar bagi keberlangsungan generasi mendatang. Dengan kematangan emosional, pola pikir rasional, dan jaminan finansial, pernikahan tidak akan menjadi hal yang menakutkan.