Posted in

Mobil Listrik Laris karena Insentif, Merek Tanpa Komitmen Panjang Terancam Gugur

Masa keemasan penjualan kendaraan listrik jenis battery electric vehicle (BEV) di Indonesia masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan oleh pemberian insentif pemerintah yang membuat produk-produk tersebut dapat masuk ke pasar domestik tanpa hambatan.

Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales BEV pada November mencapai 13.381 unit. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang hanya mencapai 5.532 unit.

Komitmen Jangka Panjang Jadi Penentu

Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), menyatakan bahwa dalam dua hingga tiga tahun mendatang, seleksi pasar mobil listrik tidak hanya bergantung pada kekuatan merek. Persaingan juga akan ditentukan oleh komitmen jangka panjang setiap pelaku industri.

“Selama ini ada yang masuk dengan model perusahaan cangkang, banting harga luar biasa karena menikmati insentif. Ke depan, model seperti itu tidak bisa lagi jalan,” ungkap Yannes yang ditemui di Subang, Jawa Barat awal pekan ini.

Pasar BEV di Indonesia saat ini masih didukung oleh dua stimulus pemerintah. Pertama adalah potongan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025.

Persyaratan untuk mendapatkan program tersebut adalah model-model yang dipasarkan harus berstatus completely knocked down (CKD) atau sudah diproduksi secara lokal dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen.

Insentif untuk Pemain Baru

Stimulus lainnya adalah insentif untuk mobil listrik CBU atau completely built up yang diimpor secara utuh dari luar negeri. Kebijakan ini bertujuan memfasilitasi merek-merek baru yang ingin memasuki pasar Indonesia, dengan syarat adanya komitmen investasi berupa pembangunan pabrik.

Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022 Juncto Nomor 28 Tahun 2023, dan keduanya akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2025.

Yannes menjelaskan bahwa situasi ini akan menunjukkan kondisi nyata persaingan segmen BEV atau kendaraan elektrifikasi di Indonesia ke depannya. Menurutnya, hanya pelaku industri yang memiliki rencana jangka panjang dan investasi yang akan mampu bertahan.

“Hanya yang punya komitmen investasi yang benar yang bisa jalan. Dia bangun pabrik, bangun industri parts komponen di sini dan itu sekarang sudah mulai dilakukan,” paparnya.

Tantangan Pasar 2026

Pasar otomotif nasional diprediksi akan menghadapi tantangan yang cukup besar mulai tahun 2026. Tantangan tersebut meliputi tidak adanya insentif khusus dari pemerintah, pelemahan daya beli masyarakat, persaingan produk dan harga, serta syarat TKDN yang akan terus meningkat seiring waktu.

“Begitu TKDN-nya naik terus dari 40 ke 60, lalu 80 persen, yang setengah-setengah itu akan berat. Pada titik tertentu, mereka bisa lemas dan hilang dari pasar. Ini akan menjadi seleksi besar-besaran, yang hanya cangkang akan hilang dengan sendirinya,” ucap Yannes.

Mengenai persyaratan TKDN untuk manufaktur otomotif, aturannya diatur melalui Perpres 79/2023. Khusus untuk BEV, model yang sudah diproduksi secara lokal harus memenuhi nilai TKDN minimal 40 persen pada periode 2022 hingga 2026.

Kemudian pada tahun 2027, pabrikan diwajibkan untuk meningkatkan nilai TKDN menjadi 60 persen hingga tahun 2029, dan akhirnya mencapai 80 persen pada tahun 2030. Target ini menjadi indikator kematangan ekosistem industri setiap pabrikan di masa depan.

“Namun PR (pekerjaan rumah) pertama kita tetap meningkatkan (pendapatan) kelas menengah. Kalau middle income class naik, daya beli ikut naik kalau ekonomi bisa tembus 5,4 persen dan naik jadi 6 persen. Baru belanja otomotif bisa lebih sehat,” tandas Yannes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *