Sudah memasuki hari ke-28 sejak Rabu (25/11) malam, rumah Umma Ezra (24) di Desa Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, masih dipenuhi lumpur akibat banjir. Ia bersama suaminya kini mulai membersihkan satu per satu perabotan rumah yang masih dapat digunakan dari tumpukan lumpur tersebut.
Dengan menggunakan cangkul dan sekop, Umma dan suaminya secara perlahan menggali timbunan lumpur yang memenuhi rumah mereka. Tangan mereka pun berubah menjadi cokelat pekat akibat lumpur.
Pakaian, piring, hingga lemari yang masih bisa diselamatkan mulai dicuci di sungai yang tidak jauh dari rumah mereka.
Kronologi Banjir Bandang
Umma menceritakan awal mula bencana banjir yang melanda rumahnya. Malam itu, hujan lebat mengguyur wilayah tempat tinggalnya.
Pukul 23.00 WIB, air mulai masuk ke dalam rumah. Ia dan suaminya mulai mengangkat perabotan rumah ke tempat yang lebih tinggi, seperti di atas lemari dan meja. Saat itu, Umma belum menyangka banjir bandang bakal menerjang rumahnya.
“Kami pikir airnya tidak akan terlalu tinggi,” kata Umma, Selasa (23/12).
Setelah perabotan dinaikkan, air terus meninggi hingga mencapai selutut orang dewasa. Umma, suaminya, dan anak mereka bergegas keluar rumah mencari tempat aman. Mereka langsung menuju musala pondok pesantren yang tidak jauh dari rumahnya.
“Kami bergegas ke lantai dua musala pesantren dengan membawa satu tas berisi dokumen penting, baju masing-masing dua pasang, bantal untuk anak, dan selimut. Saat kami keluar, air di luar rumah sudah setinggi pinggang,” ucapnya.
Malam Penuh Kecemasan
Sesampainya di musala, air naik begitu cepat bak sungai yang mengalir deras. “Kami hanya bisa melihat air, berdoa, dan berserah diri kepada Allah,” katanya.
Sekitar pukul 02.00 WIB, banjir semakin meninggi hingga mencapai lebih dari dua meter. Dari lantai dua musala, Umma melihat rumahnya hampir seluruhnya tenggelam.
“Kami sangat waswas waktu itu. Apakah kami akan selamat, ataukah ini malam terakhir kami di dunia ini,” ujarnya.
“Kami hanya bisa melihat perintilan dapur dibawa hanyut air melewati musala. Saya bingung, kenapa barang-barang tersebut bisa hanyut. Ternyata dinding dapur kami roboh, dan seluruh barang dapur terbawa arus,” lanjutnya.
Umma dan keluarganya pun bertahan di musala tersebut bersama sejumlah warga lainnya. Hingga hari kedua, saat air mulai surut, ia melihat lumpur dan kayu memenuhi area sekitar rumahnya.
“Lumpur di luar rumah dan dapur setinggi 1–1,5 meter. Di dalam kamar setinggi selutut. Semua lemari kayu, kasur, dan barang lainnya rusak dan tidak bisa dipakai lagi,” ucapnya.
Kondisi Pasca Banjir
Umma kini tidak dapat menempati rumahnya karena hancur diterjang banjir. Suaminya yang berprofesi sebagai guru honorer SMP dan guru ngaji juga belum bisa kembali bekerja.
“Pekerjaan suami sedang libur. Peralatan dapur seperti kompor, rice cooker, dan kulkas sudah tidak ada,” ungkapnya.
Meski sejumlah bantuan telah diterima, Umma mengaku belum bisa memenuhi kebutuhan makan seperti sebelumnya.
“Alhamdulillah bantuan beras, telur, dan mi instan sudah ada. Tapi kendalanya tidak ada peralatan masak. Kami ikut gabung di dapur pengungsian pesantren. Semua bantuan yang kami dapatkan kami serahkan ke pesantren,” ujarnya.
“Untuk saat ini, kami masih berusaha mengambil barang-barang rumah yang masih bisa dipakai,” imbuhnya.
Setitik harapan terus dipanjatkan Umma dalam lantunan doa agar kondisi segera pulih dan membaik.
“Semoga di balik musibah ini ada hikmah bagi kita semua, khususnya bagi kami yang terdampak banjir. Tetap kuat dan terus bersabar,” katanya.