Di tengah derasnya arus berita global tentang perang Ukraina, Gaza, dan rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok, terdapat satu tragedi kemanusiaan yang berlangsung hampir tanpa sorotan, yaitu konflik di Sudan. Sejak April 2023, negara ini terjerumus ke dalam konflik bersenjata brutal antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF). Dua aktor bersenjata yang sebelumnya berada dalam satu barisan kekuasaan kini saling menghancurkan dengan menjadikan warga sipil sebagai korban utama.
Konsekuensinya bukan sekadar instabilitas politik, melainkan kehancuran sistemik kehidupan manusia. Jutaan orang mengungsi, jutaan lainnya kelaparan, rumah sakit runtuh, anak-anak kehilangan sekolah, dan perempuan menghadapi kekerasan seksual sebagai senjata perang. Ironisnya, ini merupakan krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini, namun tidak sebanding dengan perhatian dan respons global yang diberikan.
Artikel ini memandang krisis kemanusiaan di Sudan bukan sekadar tragedi lokal, melainkan cermin kegagalan tata kelola global kontemporer yang oleh banyak analis disebut sebagai New World Disorder. Pembahasan tersebut lebih lanjut dalam tulisan berikutnya.
Pengungsian Massal yang Tak Tertandingi
Menurut data gabungan UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), lebih dari 12 juta orang telah terusir dari rumah mereka sejak konflik pecah. Ini mencakup pengungsi internal dan mereka yang melintasi perbatasan menuju Chad, Mesir, Sudan Selatan, dan Ethiopia. Angka ini menempatkan Sudan sebagai krisis pengungsian terbesar di dunia saat ini, melampaui Suriah dan Ukraina dalam periode yang sama.
UN High Commissioner for Refugees (UNHCR) mencatat bahwa sebagian besar pengungsi Sudan adalah perempuan dan anak-anak. Mereka bukan hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan perlindungan sosial, akses pendidikan, dan layanan kesehatan dasar.
Krisis pengungsian ini bersifat berlapis dan berkepanjangan. Banyak pengungsi berasal dari Darfur, wilayah yang telah mengalami kekerasan massal sejak awal 2000-an yang kini kembali menjadi lokasi pembersihan etnis. Selain itu, yang membuat situasi ini semakin mengkhawatirkan terletak pada sifatnya yang berulang. Banyak warga Sudan mengalami pengungsian bukan untuk pertama kali, melainkan kedua atau ketiga kalinya dalam hidup mereka. Pengungsian bukan lagi keadaan darurat sementara, melainkan kondisi permanen yang terjadi dalam satu generasi.
Kelaparan yang Direkayasa
Laporan World Food Programme (WFP) dan sistem Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menunjukkan bahwa lebih dari 21 juta orang, hampir setengah populasi Sudan, mengalami kerawanan pangan akut. Ratusan ribu di antaranya berada pada level IPC Phase 5 (Catastrophe/Famine), kategori tertinggi dalam klasifikasi kelaparan global.
Kelaparan ini bukan akibat bencana alam semata, namun sebagai produk langsung dari konflik bersenjata dengan cara lahan pertanian ditinggalkan atau dihancurkan, jalur distribusi pangan diputus oleh pertempuran dan blokade, serta bantuan kemanusiaan dihalangi atau dijarah oleh aktor bersenjata.
Dalam banyak wilayah, khususnya Darfur dan Kordofan, kelaparan digunakan sebagai instrumen kekuasaan. Dengan mengontrol akses pangan, pihak bersenjata menundukkan populasi sipil tanpa perlu pertempuran terbuka. Seorang pejabat WFP bahkan menyebut situasi ini sebagai engineered starvation, kelaparan yang direkayasa.
Dampaknya sangat dirasakan oleh anak-anak. UNICEF melaporkan lonjakan tajam malnutrisi akut berat, kondisi yang dapat menyebabkan kematian atau kerusakan kognitif permanen. Di banyak kamp pengungsian, satu generasi tumbuh dengan tubuh lemah dan masa depan yang terancam.
Runtuhnya Sistem Kesehatan
Dalam hukum humaniter internasional, rumah sakit sebagai objek yang harus dilindungi. Di Sudan, justru sebaliknya, ratusan fasilitas kesehatan dilaporkan diserang, dijarah, atau diduduki oleh kelompok bersenjata. Akibatnya, sebagian besar sistem kesehatan Sudan lumpuh total.
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan ratusan serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak 2023. Banyak rumah sakit dihancurkan, dijarah, atau diduduki oleh kelompok bersenjata. Akibatnya, lebih dari 70% fasilitas kesehatan di wilayah konflik tidak berfungsi.
Konsekuensinya fatal: operasi darurat tak dapat dilakukan, layanan persalinan berhenti, penyakit kronis tak tertangani, wabah kolera, campak, dan malaria menyebar tanpa kendali.
Serangan terhadap tenaga medis juga meningkat. Dokter dan perawat dipaksa melarikan diri, diculik, atau bahkan dibunuh. Dalam laporan investigatifnya, WHO mencatat ribuan kematian yang seharusnya dapat dicegah jika layanan kesehatan tetap berjalan.
Runtuhnya sistem kesehatan bukan hanya soal hari ini, melainkan hal itu menciptakan krisis kesehatan jangka panjang yang dapat membebani Sudan selama puluhan tahun, bahkan jika konflik berhenti esok hari.
Kekerasan Seksual Sistematis
Salah satu aspek paling kelam dari konflik Sudan terjadi kekerasan seksual sistematis. Laporan Amnesty International dan Human Rights Watch mendokumentasikan pola pemerkosaan massal, perbudakan seksual, dan kekerasan berbasis gender terutama oleh RSF dan milisi sekutunya. Kekerasan ini tidak bersifat insidental, melainkan digunakan sebagai taktik perang untuk menghancurkan komunitas, menimbulkan teror, dan memaksa pengungsian.
Banyak korban adalah perempuan dan anak perempuan yang tidak memiliki akses layanan medis pascakekerasan, mengalami stigma sosial, menghadapi kehamilan akibat perkosaan.
Dalam perspektif hukum internasional, praktik ini memenuhi unsur kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun bagi korban, label hukum tidak serta-merta menghadirkan keadilan. Yang mereka hadapi trauma seumur hidup di tengah ketiadaan perlindungan.
Generasi yang Kehilangan Pendidikan
Perang selalu kejam bagi anak-anak. Jutaan anak kehilangan akses pendidikan karena sekolah ditutup, dihancurkan, atau diubah menjadi barak dan tempat pengungsian. Guru mengungsi, buku dan kurikulum lenyap.
UNESCO dan UNICEF memperkirakan 17–19 juta anak kehilangan akses pendidikan akibat penutupan sekolah dan pengungsian massal.
Lebih dari itu, tanpa pendidikan anak-anak menghadapi risiko perekrutan paksa oleh kelompok bersenjata, pekerja anak akibat runtuhnya ekonomi keluarga, dan juga kekerasan fisik dan seksual.
Dari sudut pandang pembangunan manusia, ini merupakan bencana lintas generasi. Suatu negara tanpa pendidikan adalah negara tanpa masa depan.
Kelelahan Moral Global
Krisis sebesar ini begitu jarang disorot, sebenarnya apa yang terjadi? Jawabannya terletak pada dunia sedang mengalami kelelahan moral. Konflik terlalu banyak, perhatian terbagi, dan kepentingan geopolitik mengalahkan kepedulian kemanusiaan. Dewan Keamanan PBB berulang kali gagal mengambil langkah tegas karena veto dan kepentingan geopolitik. Pendanaan kemanusiaan anjlok akibat donor fatigue. Media global teralihkan ke konflik lain yang dianggap lebih strategis.
Padahal, OCHA memperkirakan kebutuhan bantuan Sudan mencapai lebih dari USD 4 miliar per tahun, namun hanya sebagian kecil yang terpenuhi. Kesenjangan antara kebutuhan dan respons ini merupakan bukti nyata dari New World Disorder, dunia yang semakin tidak mampu melindungi yang paling rentan.
Krisis kemanusiaan Sudan bukan tragedi yang jauh dan asing. Ia adalah cermin dari dunia yang kita bangun hari ini, dunia di mana penderitaan massal bisa terjadi tanpa konsekuensi politik yang berarti.
Menyadari krisis ini merupakan langkah pertama, menyuarakannya sebagai langkah kedua, menuntut akuntabilitas dan meningkatkan solidaritas kemanusiaan adalah langkah berikutnya.
Jika dunia terus berpaling, Sudan akan menjadi jejak rekam bahwa jutaan nyawa bisa hilang dalam sunyi. Dan itu, pada akhirnya mengancam kemanusiaan kita sendiri. Sebab pada akhirnya, krisis Sudan bukan hanya tentang Sudan, melainkan tentang siapa kita sebagai komunitas global.