Kopi di Tamiang Layang, Barito Timur, memiliki cara tersendiri untuk mengisi malam: pekat, manis, dan ampasnya membutuhkan kesabaran yang setara dengan menghadapi proses birokrasi perizinan.
Di teras panggung yang kayunya telah mengalami berbagai perubahan zaman, saya duduk bersila menghadap Pak Mantir. Hubungan kami telah melampaui batasan formal antara wartawan dan narasumber.
Beliau bukan lagi sekadar sumber informasi berita; beliau adalah sosok ayah yang saya temukan di tengah-tengah liputan keras di perantauan. Pak Mantir adalah tipe orang yang akan bertanya, “Sudah makan, Nak?” sebelum saya sempat bertanya, “Bagaimana kronologinya, Pak?”. Sebuah perhatian kecil yang sering terabaikan dalam tekanan deadline.
Dialog tentang Hukum dan Tradisi
Malam itu, asap rokok kretek Pak Mantir mengepul dengan malas, membentuk siluet abstrak di udara, seolah sedang menyampaikan pendapat berbeda tentang polusi udara di Ibu Kota. Suasana hening, hanya suara jangkrik yang terdengar seperti sedang menyampaikan keberatan.
“Pak,” buka saya, mencoba memecahkan keheningan dengan pendekatan investigasi ringan, layaknya agen rahasia yang salah kostum dengan kemeja flanel. “Sebenarnya, kedudukan hukum perjudian di acara adat ini bagaimana, sih? Kalau dilihat dari perspektif KUHP, ini jelas masuk unsur Pasal 303. Ancaman penjaranya bisa membuat orang berpikir ulang.”
Saya sengaja menggunakan istilah hukum. Bagi jurnalis yang biasa bolak-balik antara Polda dan pengadilan, melihat dadu gurak diputar di tengah upacara sakral terasa seperti melihat kontradiksi dalam istilah: ibadah kok judi? Itu seperti melihat Sinterklas naik ojek online.
Perspektif Kearifan Lokal
Pak Mantir terkekeh. Tawanya berat, khas orang yang telah banyak mengalami kehidupan, bukan asam lambung karena kebanyakan ngopi dan begadang mengejar headline seperti saya. Dia menuangkan sedikit kopinya ke lepek, isyarat kearifan lokal yang menolak kepraktisan gelas.
“Nak,” katanya lembut, panggilan yang selalu berhasil melunakkan ego pers saya yang terlalu idealis. “Kamu ini bicaranya hukum negara terus. Di sini, di tanah ini, hukum adat itu napas. Negara itu baju. Kadang bajunya kekecilan, jadi sesak kalau dipakai.”
Pak Mantir memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya berubah serius, seolah sedang memberikan keterangan pers eksklusif yang hanya boleh saya kutip secara terbuka.
“Dulu, leluhur kita tidak mengenal yang namanya judi untuk menjadi kaya,” ucap Pak Mantir. “Dalam ritual besar seperti Wara (upacara kematian) atau Balian, kita butuh orang banyak. Kita butuh keramaian. Roh-roh leluhur itu senang kalau cucu-cicitnya berkumpul, bergembira. Semakin ramai, semakin sah acaranya.”
“Jadi, ini soal pengelolaan keramaian ya, Pak? Manajemen massa?” tanya saya sambil mencatat dalam ingatan, mencoba melabeli kearifan lokal dengan istilah manajerial Jakarta.
Filosofi di Balik Tradisi
“Ini soal Hante,” koreksinya cepat, menggunakan istilah lokal untuk pesta besar atau keramaian agung. “Bayangkan, keluarga yang berduka atau yang punya hajat harus memotong kerbau, babi, ayam. Biayanya mahal. Siapa yang bantu? Ya orang-orang yang datang itu.”
Pak Mantir menjelaskan filosofi yang sering luput dari pandangan hukum positif yang kaku, yang hanya mengenal debit dan kredit, bukan kasih dan bakti. Dalam tradisi lama, permainan—yang kini kita sebut judi—adalah mekanisme sosial. Uang yang diputar di sana bukan semata-mata kapitalisme meja judi, melainkan bentuk gotong royong terselubung.
“Ada jatah untuk tuan rumah. Cukai, kalau bahasamu,” lanjut Pak Mantir. “Uang itu dipakai untuk membeli beras, gula, kopi, untuk memberi makan orang sekampung yang datang melayat selama berhari-hari. Supaya keluarga tidak bangkrut sendirian hanya karena ingin menghormati jenazah.”
Saya manggut-manggut. Dalam hati saya berpikir, ini konsep keadilan restoratif yang sangat pragmatis. Pelakunya senang (karena main), korbannya (tuan rumah) terbantu. Tidak ada niat jahat untuk memperkaya diri sendiri secara ilegal, pikir saya, mencoba mencari sudut pandang berita jika kasus ini menjadi perhatian media nasional.
Perubahan Nilai dalam Tradisi
“Tapi Pak,” sanggah saya, naluri skeptis wartawan saya menyala, seperti lampu strobo yang tiba-tiba hidup. “Zaman sekarang kan beda. Orang datang membawa modal, pulang ingin membawa motor baru. Itu bukan gotong royong, itu memperkaya diri secara tidak sah.”
Pak Mantir menghela napas panjang. Asap rokoknya kali ini terasa lebih melankolis, seperti awan mendung yang siap menangis. Dia mengakui, ada penurunan nilai yang terjadi.
“Itulah yang Bapak sedihkan,” suaranya merendah. “Sekarang, banyak orang datang bukan karena Hiyang (leluhur), tapi karena uang. Dulu, dadu gurak diputar supaya orang tidak mengantuk menjaga jenazah. Sekarang? Jenazahnya belum dimakamkan, orangnya sudah ribut soal utang piutang di meja judi.”
Saya tersenyum kecut. Ternyata, Pak Mantir pun menyadari adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam praktik adat ini. Adat seringkali dijadikan tameng, sebuah hak imunitas sepihak agar polisi tidak membubarkan lapak, seolah adat adalah jaket tebal yang kebal terhadap pasal hukum.
“Mereka berlindung di balik kain adat untuk memuaskan nafsu duniawi,” sambung Pak Mantir. “Filosofinya sudah luntur. Yang tinggal hanya kulitnya. Kalau dulu tujuannya Mambangun (membangun kebersamaan), sekarang tujuannya Mangaut (mengeruk keuntungan).”
Refleksi Akhir
Malam semakin larut. Kopi di gelas kami tinggal separuh, sama seperti filosofi adat yang mulai terkikis zaman. Diskusi ini menyadarkan saya: hukum negara seringkali gagap membaca konteks, sementara hukum adat mulai gagap menghadapi modernitas dan keserakahan manusia.
“Jadi, kalau besok ada razia, Bapak mau bilang apa sama Polisi? Saya bisa kutip ini secara terbuka?” goda saya. “Jangan lupa, Pak, fiksi hukum menganggap semua orang tahu undang-undang. Bapak tidak bisa bilang ‘saya tidak tahu Pasal 303’.”
Pak Mantir menepuk pundak saya dan berucap, “Bapak akan bilang sama Polisinya: ‘Pak, silakan tangkap kalau ini murni kejahatan. Tapi kalau ini cara kami menghibur keluarga yang sedang menangis, tolong pakai rasa, jangan cuma pakai pasal’.”
Itu adalah pembelaan lisan terbaik yang pernah saya dengar. Tidak ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang bisa mengalahkan kearifan lokal yang diucapkan dengan ketulusan seorang tetua yang hatinya sedih melihat tradisi luhur tercemar.
Saya menyeruput sisa kopi terakhir. Di Barito Timur, di teras rumah ayah angkat saya ini, saya belajar bahwa batas antara ‘kearifan’ dan ‘pelanggaran’ terkadang setipis kulit bawang. Dan sayangnya, tidak ada mata kuliah Jurnalistik ataupun Hukum yang mengajarkan cara menghukum niat baik yang salah jalan.
“Sudah, jangan bahas pasal terus. Kamu itu kayak jaksa yang salah masuk kantor berita,” tutup Pak Mantir sambil tertawa. “Ayo masuk, Bapak sudah siapkan kamar. Besok kita ke ladang.”
Dan malam itu, kartu pers dan KUHP saya lipat rapi, saya simpan di dalam tas. Di sini, di rumah Pak Mantir, hukum yang berlaku adalah hukum kasih sayang dan kopi yang tak boleh dingin.
Catatan kaki:
[1] Dissenting opinion: Pendapat resmi dari hakim yang tidak setuju dengan putusan mayoritas majelis.
[2] Mosi Tidak Percaya: Bentuk penolakan atau keberatan yang sah.
[3] Legal standing: Kedudukan hukum adalah hak seseorang atau badan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
[4] Dadu gurak: Istilah lokal, umum digunakan di wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya, untuk menyebut jenis permainan judi yang menggunakan dadu.
[5] Contradictio in terminis: Frasa bahasa Latin yang secara harfiah berarti kontradiksi dalam istilah atau pertentangan dalam kata-kata.
[6] On the record: Istilah dalam jurnalisme yang berarti informasi atau pernyataan dari narasumber dapat dipublikasikan dengan menyebutkan nama atau identitas sumbernya secara jelas.
[7] Balian: Serangkaian ritual atau tarian sakral yang dilakukan oleh suku Dayak dengan tujuan tertentu untuk meminta berkah dari Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Kaharingan).
[8] Crowd control: Manajemen logistik dan finansial dari keramaian agung atau pesta besar yang dihadiri oleh banyak orang.
[9] Hante: Istilah lokal (umum di Kalimantan) untuk pesta besar atau keramaian agung.
[10] Restorative justice: Penyelesaian masalah di luar hukum formal yang justru memperkuat ikatan komunitas melalui saling menguntungkan.
[11] Abuse of power: Penyalahgunaan legitimasi adat untuk kepentingan pribadi, yang menyimpang dari tujuan luhur tradisi yang sebenarnya.
[12] Immunity rights: (Hak imunitas) merupakan klaim perlindungan sepihak berdasarkan hukum adat untuk menghindari penegakan hukum nasional atau intervensi polisi.
[13] Off the record: Kebalikan dari On the record.
[14] Fiksi hukum: Asas formal yang menganggap setiap warga negara tahu hukum, sehingga ketidaktahuan bukan alasan untuk bebas tuntutan pidana.
[15] Yurisprudensi: Putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan kemudian diikuti oleh hakim lain dalam kasus yang serupa.