Kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mencapai ambang batas parlemen dalam Pemilu 2024 menjadi sinyal peringatan bagi seluruh partai berasaskan Islam. Situasi ini tidak semata-mata disebabkan kesalahan strategi kampanye, melainkan mencerminkan krisis lebih mendalam: terputusnya hubungan antara identitas keislaman yang diusung partai dengan kebutuhan aktual pemilih Muslim kontemporer. Politik simbolik—retorika moral, jargon keumatan, dan klaim historis—tidak lagi memadai di tengah masyarakat yang semakin rasional, terinformasi, dan peka terhadap rekam jejak integritas.
Fenomena ini sekaligus mengonfirmasi bahwa pemilih Muslim Indonesia bukan kelompok homogen. Mereka terdiri dari kelas menengah perkotaan yang peduli tata kelola, pekerja yang cemas dengan ketidakpastian lapangan kerja, petani yang terdampak krisis iklim, hingga generasi muda yang menuntut partisipasi dan transparansi. Ketika partai politik Islam gagal memahami keragaman ini, kekalahan dalam pemilihan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Sejak masa sebelum kemerdekaan, umat Islam Indonesia selalu terlibat dalam perjuangan politik. Sarekat Islam menggerakkan kesadaran ekonomi rakyat, Masyumi menghadirkan Islam sebagai kekuatan politik modern, sementara tokoh-tokoh Muslim memainkan peran penting dalam perumusan dasar negara. Yang menonjol pada periode ini bukan simbolisme, melainkan gagasan besar: keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan kedaulatan negara.
Namun pasca-reformasi, demokrasi elektoral membuka ruang kompetisi luas sekaligus menjebak dalam pragmatisme. Koalisi transaksional, politik patronase, dan logika “asal masuk kekuasaan” secara bertahap mengikis fondasi ideologis partai politik Islam. Akibatnya, diferensiasi antarpartai memudar. PPP—sebagai partai tertua—menjadi contoh paling jelas bagaimana sejarah panjang tidak otomatis menjamin relevansi politik.
Dalam perspektif Indonesianis modern Vedi R. Hadiz, demokrasi Indonesia beroperasi dalam kerangka oligarki elektoral, di mana partai sering terserap kepentingan elite ekonomi-politik dan kehilangan daya transformasi. Teori ini membantu menjelaskan mengapa partai politik Islam kerap berakhir sebagai pelengkap koalisi, bukan pengusung agenda perubahan. Ketika basis ideologis dan sosial melemah, partai mudah ditinggalkan konstituen.
Menuju 2029, partai politik Islam memerlukan reposisi strategis: dari politik identitas menuju politik gagasan dan kemaslahatan. Pertama, fokus pada isu aktual yang dirasakan masyarakat: keadilan sosial, ekonomi umat berbasis produktivitas (UMKM, koperasi, ekonomi syariah inklusif), krisis lingkungan, serta tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Agenda ini berakar kuat pada etika Islam sekaligus selaras dengan tuntutan demokrasi modern.
Kedua, kaderisasi ideologis perlu dipulihkan. Bukan sekadar menyiapkan calon legislatif populer, tetapi membangun kader berintegritas, memahami kebijakan publik, dan berani bersikap kritis terhadap kekuasaan—bahkan ketika berada dalam pemerintahan. Konsistensi sikap inilah yang membangun kepercayaan jangka panjang.
Ketiga, narasi Islam rahmatan lil ‘alamin perlu diimplementasikan secara operasional. Islam harus hadir sebagai kekuatan yang melindungi kelompok rentan, menjunjung hak asasi manusia, dan kompatibel dengan demokrasi konstitusional. Bukan sekadar slogan, melainkan kebijakan konkret yang dapat diverifikasi publik.
Satu aspek yang sering diabaikan partai politik Islam adalah manajemen pendanaan. Ketergantungan pada donatur besar dan elite politik meningkatkan risiko kooptasi oligarkis. Karena itu, partai politik Islam perlu beralih ke model pendanaan transparan, partisipatif, dan berkelanjutan. Iuran anggota realistis, penggalangan dana berbasis program, serta pelaporan keuangan terbuka bukan hanya soal etika, tetapi strategi politik untuk membangun rasa kepemilikan publik.
Selain itu, kreativitas penggalangan suara menjadi keharusan. Partai politik Islam perlu memanfaatkan teknologi digital untuk penargetan isu mikro, kampanye berbasis data, dan relawan akar rumput. Pendekatan komunitas—melalui koperasi, klinik advokasi hukum, pusat belajar, dan gerakan sosial—lebih efektif membangun loyalitas dibandingkan baliho mahal. Politik pelayanan (service politics) memberikan bukti nyata keberpihakan, sekaligus mengurangi biaya pemilihan yang selama ini mendorong praktik transaksional.
Pengalaman partai politik Islam di luar negeri memberikan pelajaran penting. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki pada fase awal mampu menggabungkan identitas Islam dengan agenda ekonomi kerakyatan dan tata kelola yang relatif bersih, sehingga memperoleh legitimasi luas lintas kelas. Ennahda di Tunisia, meski menghadapi dinamika sulit, mencoba bertransformasi dari partai Islam menjadi partai demokratis berlandaskan nilai, demi menjaga stabilitas dan inklusivitas. Di Malaysia, PAS bertahan karena kuat di akar sosial dan konsisten membangun basis kader serta institusi pendidikan, meski tetap diuji oleh pragmatisme koalisi.
Pelajaran utamanya jelas: partai politik Islam yang bertahan bukan yang paling keras simboliknya, melainkan yang paling adaptif dalam gagasan, manajemen organisasi, dan keberpihakan kebijakan.
Reposisi ini memiliki implikasi strategis. Bagi Islam, ia menjaga marwah ajaran dari reduksi menjadi alat mobilisasi elektoral jangka pendek. Bagi demokrasi, kehadiran partai politik Islam yang substantif memperkaya kompetisi gagasan, memperkuat kontrol terhadap kekuasaan, dan menahan laju oligarki.
Tanpa perubahan mendasar, kegagalan PPP 2024 berpotensi menjadi pola berulang. Namun dengan transformasi ideologis, organisatoris, dan finansial yang serius, 2029 justru dapat menjadi momentum kebangkitan partai politik Islam—bukan melalui simbol, melainkan melalui gagasan, integritas, dan keberpihakan nyata kepada publik.