Dalam beberapa tahun belakangan, dunia kerja menyaksikan munculnya tren baru bernama job hugging. Fenomena ini merujuk pada kondisi di mana karyawan memilih untuk tetap bertahan di posisi mereka saat ini, bukan karena kepuasan kerja, melainkan karena kekhawatiran menghadapi ketidakpastian di pasar tenaga kerja. Berbagai faktor seperti melambatnya peluang rekrutmen, ancaman otomatisasi oleh kecerdasan buatan, serta tekanan finansial mendorong pekerja untuk “memeluk” pekerjaan yang ada demi mendapatkan rasa aman.
Fenomena ini memiliki latar belakang yang cukup kompleks. Data dari Bureau of Labor Statistics (BLS) mencatat bahwa tingkat pengunduran diri di Amerika Serikat turun hingga mencapai 2,1% pada awal tahun 2025, angka terendah sejak 2018. Sementara itu, proses perekrutan juga mengalami penurunan, sehingga kesempatan untuk berpindah pekerjaan semakin terbatas.
Faktor Pendorong Job Hugging
Survei yang dilakukan oleh PwC pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa 37% karyawan di seluruh dunia merasa khawatir pekerjaan mereka akan digantikan oleh teknologi dalam lima tahun ke depan. Selain itu, meningkatnya biaya hidup membuat banyak pekerja takut kehilangan stabilitas pendapatan mereka.
Gelombang pemutusan hubungan kerja secara global serta ketidakpastian politik turut menambah rasa tidak aman di kalangan pekerja. Ditambah lagi, trauma sosial akibat PHK massal dan gejolak politik memperkuat perasaan tidak aman secara kolektif di lingkungan kerja.
Dampak Psikologis dan Teori Loss Aversion
Dari perspektif psikologi, job hugging sangat selaras dengan teori loss aversion. Manusia cenderung lebih takut kehilangan sesuatu yang sudah dimiliki dibandingkan dengan mendapatkan hal baru yang mungkin lebih baik. Status quo sering kali terasa lebih aman, meskipun sebenarnya tidak memberikan kepuasan. Inilah yang menyebabkan banyak pekerja memilih untuk bertahan meskipun tidak mengalami perkembangan, bahkan ketika mereka menyadari bahwa pekerjaan tersebut tidak memberikan kepuasan jangka panjang.
Meskipun pada pandangan pertama terlihat aman, fenomena ini membawa dampak serius baik bagi individu maupun perusahaan. Bagi pekerja, job hugging dapat berarti stagnasi dalam karier. Mereka kehilangan peluang untuk belajar, berkembang, dan memperoleh pengalaman baru. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat mereka kalah bersaing ketika pasar kerja kembali terbuka.
Dampak pada Kesehatan Mental dan Produktivitas
Lebih jauh lagi, bertahan dalam pekerjaan yang tidak memuaskan dapat memicu kelelahan mental. Laporan Gallup tahun 2024 menyebutkan hanya 23% karyawan global yang merasa terlibat dengan pekerjaannya, sementara 62% mengalami disengagement atau kelelahan tersembunyi. Angka ini sejalan dengan meningkatnya gejala silent fatigue di banyak organisasi.
Bagi perusahaan, job hugging juga bukan merupakan kabar baik. Talenta yang sebenarnya memiliki potensi untuk naik level terhambat karena posisi tetap “dipeluk” oleh karyawan yang tidak ingin berpindah. Mobilitas internal menjadi tersendat, inovasi melemah, dan organisasi terjebak dalam stagnasi. Korn Ferry bahkan memberikan peringatan bahwa retensi tinggi tidak selalu berarti sehat. Tanpa engagement, retensi dapat berubah menjadi jebakan yang justru melemahkan daya saing jangka panjang.
Keterkaitan dengan Tren Lain di Dunia Kerja
Fenomena ini juga memiliki hubungan erat dengan tren lainnya. Quiet quitting membuat orang tetap berada di posisinya tetapi tanpa komitmen lebih. Presenteeism membuat karyawan hadir secara fisik tetapi tidak sepenuhnya produktif. Silent fatigue membuat mereka tampak baik-baik saja di luar, tetapi kosong di dalam. Semua ini saling berkaitan dan memberikan gambaran bahwa dunia kerja modern sedang menghadapi kelelahan kolektif yang lebih halus dan sulit dideteksi.
Solusi dan Strategi Menghadapi Job Hugging
Lalu, apa yang dapat dilakukan? Bagi perusahaan, kuncinya adalah membangun psychological safety dan membuka jalur mobilitas internal. Memberikan kesempatan untuk reskilling, rotasi pekerjaan, atau proyek lintas tim dapat membantu karyawan berkembang tanpa harus keluar. Transparansi juga penting; kejujuran tentang kondisi bisnis dan peluang karier akan mengurangi ketakutan yang sering kali diisi oleh rumor.
Bagi individu, penting untuk tidak hanya “memeluk” pekerjaan, tetapi juga aktif merencanakan masa depan. Audit karier secara berkala, menyiapkan dana darurat, mengembangkan keterampilan baru, dan menjaga kesehatan mental. Dengan demikian, keputusan untuk bertahan bukan hanya didasari oleh rasa takut, tetapi karena memang merupakan strategi yang paling tepat untuk saat ini.
Pada akhirnya, job hugging adalah sinyal, bukan nasib. Ia menunjukkan rasa tidak aman yang sedang meluas, sekaligus peluang untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita bekerja, memimpin, dan membangun karier.
Perusahaan yang dapat membaca sinyal ini dengan tepat akan lebih siap bersaing ketika pasar pulih. Sementara bagi para profesional, memahami fenomena ini berarti memiliki kesempatan untuk mengubah “ketakutan bertahan” menjadi “strategi bertahan hidup yang cerdas.” Dan di atas semua strategi, ada satu kebenaran yang memberikan ketenangan: bahwa hidup kita tidak hanya ditentukan oleh kondisi pasar kerja, tetapi ada Tuhan yang memegang kendali.
Rencana-Nya selalu yang terbaik, bahkan ketika jalan tampak buntu. Itu sebabnya, menjaga iman dan percaya pada penyertaan-Nya bisa memberi kita ketenangan di tengah ketidakpastian karena karier hanyalah bagian dari perjalanan, tapi makna sejati ada dalam rancangan-Nya yang indah dan tentunya memberikan impact ke sekitar kita.