Setiap tanggal 27 Ramadan, piring-piring berisi nasi menjadi perekat yang menghangatkan suasana satu kampung melalui tradisi yang hampir terlupakan, yaitu Bi’ibih. Malam ganjil di penghujung bulan suci di perkotaan sering kali berlalu dalam keheningan tembok beton atau kebisingan kendaraan yang memburu waktu.
Sebaliknya, di sudut-sudut kampung kawasan Tapal Kuda khususnya Probolinggo, udara malam justru bergetar oleh teriakan riang dan langkah kaki kecil yang berlarian penuh semangat. Fenomena budaya ini bernama Bi’ibih, sebuah kearifan lokal yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kemewahan hidangan di meja makan sendiri, melainkan pada banyaknya tangan yang terulur untuk berbagi dengan sesama.
Warisan Leluhur sebagai Antitesis Individualisme
Warisan leluhur tersebut hadir sebagai antitesis dari gaya hidup individualis yang perlahan menggerogoti kehangatan sosial masyarakat modern. Bi’ibih bukan sekadar ritual memberi makanan, melainkan sebuah mekanisme sosial yang dirancang jenius oleh para pendahulu untuk merawat persaudaraan.
Penamaan tradisi unik ini bukan tanpa makna mendalam. Istilah Bi’ibih atau Bibibi diyakini berakar dari penggabungan dua suku kata bahasa Jawa, yaitu “bi” yang mewakili angka dua dan “pitu” yang bermakna tujuh. Gabungan kedua unsur bahasa tersebut merujuk pada angka dua puluh tujuh, sebuah penanda waktu yang sangat spesifik dalam kalender Hijriah.
Malam kedua puluh tujuh Ramadan dipercaya oleh sebagian besar ulama serta masyarakat awam sebagai salah satu malam yang memiliki probabilitas tinggi jatuhnya Lailatul Qadar. Dengan demikian, nenek moyang tidak ingin melewatkan momen istimewa tersebut hanya dengan beribadah secara vertikal kepada Sang Pencipta. Para leluhur justru menggenapinya melalui ibadah sosial berupa sedekah.
Makna Malam Likuran dalam Kosmologi Masyarakat
Malam likuran atau malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan memang memiliki tempat tersendiri dalam kosmologi masyarakat Jawa dan Madura. Momentum tersebut dimaknai sebagai ambang batas atau fase transisi yang krusial sebelum mencapai hari kemenangan.
Melalui pelaksanaan Bi’ibih, masyarakat desa seolah ingin menegaskan bahwa menyambut malam seribu bulan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan tangan yang memberi. Teriakan Bibibi yang dilontarkan anak-anak di depan rumah warga bukan sekadar seruan meminta jajan, melainkan sebuah doa dan pengingat bagi pemilik rumah bahwa kesempatan berbagi di bulan suci tinggal tersisa hitungan hari.
Zaman terus bergerak dan wajah tradisi pun turut mengalami penyesuaian bentuk meski esensinya tetap terjaga utuh. Pada masa lampau, wujud sedekah dalam tradisi Bi’ibih sangat lekat dengan hasil bumi dan olahan dapur rumahan. Orang-orang tua dahulu lazim memberikan nasi lengkap dengan lauk sederhana seperti tahu, tempe, atau mi goreng.
Sajian ketan dalam bungkus daun pisang juga kerap menjadi primadona yang dinanti. Aroma nasi hangat yang diantar atau dibagikan tersebut menjadi simbol bahwa tidak boleh ada tetangga yang kelaparan saat menyambut malam mulia.
Transformasi Bentuk Pemberian dalam Tradisi
Kini, kepraktisan menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam melestarikan budaya tersebut. Bingkisan nasi perlahan berganti rupa menjadi aneka makanan ringan kemasan, minuman segar, hingga uang tunai dalam pecahan kecil. Pergeseran bentuk pemberian tersebut justru membuat antusiasme anak-anak semakin meledak. Bocah-bocah kecil tersebut membawa kantong plastik berukuran besar, siap menampung rezeki dari para tetangga yang dermawan.
Meskipun isinya berubah, nilai tukar rasa yang terjadi tetaplah sama. Setiap butir permen atau lembar uang yang berpindah tangan membawa pesan tersirat bahwa kepedulian antarwarga masih berdenyut kencang. Transformasi tersebut membuktikan bahwa tradisi mampu beradaptasi dengan laju modernitas tanpa harus kehilangan nyawa utamanya.
Meruntuhkan Sekat-Sekat Sosial
Salah satu aspek paling magis dari Bi’ibih adalah kemampuannya meruntuhkan sekat-sekat sosial yang biasanya kaku. Di kawasan perumahan elit kota besar, pagar tinggi sering kali menjadi pemisah absolut antarpenghuni. Jangankan berbagi makanan, saling menyapa pun kadang menjadi hal yang langka. Fenomena keterasingan sosial atau urban alienation tersebut seolah tidak berlaku saat malam Bi’ibih tiba. Pintu-pintu rumah warga terbuka lebar, menyambut siapa saja yang datang tanpa memandang status sosial.
Anak-anak dari berbagai latar belakang berbaur menjadi satu, berlarian dari satu gang ke gang lain tanpa rasa canggung. Pemilik rumah pun tidak perlu melakukan koordinasi formal atau membentuk panitia khusus guna menyelenggarakan kegiatan tersebut. Kesadaran kolektif muncul secara organik. Otomatisasi sosial tersebut menunjukkan betapa kuatnya modal sosial yang tertanam dalam masyarakat desa.
Tanpa komando, warga satu rukun tetangga bisa kompak menyediakan bingkisan. Hal tersebut mengajarkan bahwa gotong royong bukan sekadar jargon di buku pelajaran, tetapi praktik hidup yang nyata. Bi’ibih memaksa setiap individu keluar dari cangkang egoisme dan menyadari keberadaan orang lain di sekitarnya. Tradisi tersebut menjadi oase yang menyegarkan di tengah gersangnya interaksi sosial manusia modern.
Anak-anak sebagai Subjek Utama Perayaan
Sudut pandang lain yang menarik untuk diselami adalah bagaimana Bi’ibih memposisikan anak-anak sebagai subjek utama perayaan. Sering kali, budaya tersebut dijuluki sebagai “Lebarannya Anak-anak”. Julukan tersebut sangat beralasan karena kegembiraan yang terpancar di wajah para bocah nyaris setara dengan kegembiraan saat Idulfitri tiba. Namun dibalik keriuhan berburu angpao dan camilan, terdapat unsur pendidikan karakter yang sangat kuat.
Masyarakat menanamkan pemahaman bahwa hadiah-hadiah tersebut adalah bentuk apresiasi atau reward atas jerih payah anak-anak menjalankan ibadah puasa selama hampir satu bulan penuh. Bagi seorang anak kecil, menahan lapar dan dahaga seharian adalah perjuangan berat. Hadirnya tradisi Bi’ibih di hari ke-27 menjadi suntikan semangat di etape terakhir Ramadan. Bocah-bocah tersebut merasa dihargai dan diakui usahanya oleh lingkungan sekitar.
Pengalaman positif tersebut dapat terekam kuat dalam memori masa kecil, membentuk persepsi bahwa beribadah dan bermasyarakat adalah hal yang menyenangkan. Secara psikologis, validasi dari komunitas lingkungan sangat penting dalam pembentukan kepercayaan diri anak. Bi’ibih memberikan panggung apresiasi tersebut dengan cara yang sangat sederhana namun berkesan.
Tantangan dan Harapan Pelestarian Tradisi
Tantangan terbesar bagi tradisi lisan dan budaya takbenda semacam Bi’ibih adalah regenerasi dan relevansi zaman. Gelombang digitalisasi dan perubahan pola hidup masyarakat perkotaan menjadi ancaman nyata yang bisa menggerus eksistensi ritual berbagi tersebut. Generasi muda yang kini lebih akrab dengan gawai mungkin mulai merasa asing dengan interaksi fisik keliling kampung. Padahal, sentuhan kemanusiaan yang terjadi saat tangan memberi dan tangan menerima tidak pernah bisa tergantikan oleh fitur kirim hadiah digital sekalipun.
Harapan agar Bi’ibih tetap lestari bukan sekadar romantisme masa lalu. Pelestarian budaya tersebut adalah upaya menjaga kewarasan sosial. Masyarakat membutuhkan pengingat berkala bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Bi’ibih harus tetap ada sebagai penanda waktu bahwa Ramadan segera berakhir, sekaligus penanda kasih sayang antarwarga. Warisan nenek moyang tersebut perlu terus dinarasikan ulang, diperkenalkan kepada pendatang, dan dirayakan dengan sukacita. Membiarkan tradisi tersebut punah sama artinya dengan membiarkan salah satu tiang penyangga kohesi sosial runtuh.
Setiap elemen masyarakat, mulai dari orang tua, pemuka agama, hingga anak muda, memegang peran kunci dalam meneruskan tongkat estafet kebudayaan tersebut. Bi’ibih mengajarkan filosofi sederhana, yaitu kebahagiaan berlipat ganda jika dibagi. Di tengah dunia yang semakin menuntut pencapaian pribadi, menengok kembali kearifan lokal seperti Bi’ibih adalah langkah bijak untuk menyeimbangkan ambisi duniawi dengan kekayaan batin.
Semoga teriakan Bibibi dapat terus menggema di lorong-lorong kampung setiap tahunnya, mengingatkan manusia bahwa berbagi adalah jalan terbaik untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Mari merawat tradisi tersebut sebagai identitas yang membanggakan, sebuah bukti bahwa kepedulian masih bertuan di tanah ini.