Kerap ditemui fenomena santri atau mahasiswa yang memperoleh nilai Bahasa Arab sempurna, menguasai Alfiyah Ibnu Malik secara mendalam, namun mengalami kesulitan saat harus berkomunikasi dengan penutur asli. Kondisi yang dikenal sebagai ‘Jago Kandang’ ini bukan disebabkan oleh kurangnya kecerdasan, melainkan terdapat masalah dalam cara otak dan mental memproses bahasa.
Seringkali, ketika pengajar menggunakan bahasa Arab di kelas, suasana mendadak menjadi hening. Para siswa memahami maksud yang disampaikan, namun belum tentu mampu merespons dengan bahasa Arab yang lancar. Hal ini bukan karena ketidaktahuan materi. Banyak di antara mereka memiliki kosakata ribuan kata dan nilai tata bahasa (qawaid) yang sangat baik. Namun, kemampuan tersebut seolah hilang ketika harus bercakap-cakap layaknya penutur asli. Skor tes kecakapan yang tinggi seringkali hanya menjadi angka di atas kertas, bukan jaminan kemampuan praktis di kehidupan nyata. Mengapa hal ini terjadi?
Penyebab Kesulitan Berbicara
Dari perspektif psikolinguistik, “musuh” utama seringkali bukan ketidakmampuan. Terdapat yang disebut sebagai language anxiety atau kecemasan berbahasa. Ibarat komputer, working memory (memori kerja) otak menjadi ‘terhambat’ karena terlalu memikirkan rumus tata bahasa, kekhawatiran melakukan kesalahan, hingga kebingungan menyusun kalimat. Akibatnya, produksi ucapan terhambat, meskipun materi sebenarnya telah tersedia di pikiran. Namun, mengapa pemelajar bahasa Arab takut salah? Apakah karena keyakinan bahwa “Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran” sehingga kesalahan dianggap sebagai hal yang serius? Jika dibandingkan dengan pemelajar bahasa Inggris, kesalahan tata bahasa paling hanya ditertawakan. Berbeda dengan bahasa Arab yang jika terjadi kesalahan i’rab (perubahan harakat akhir), dapat mengubah makna. Ketakutan terhadap aspek “sakral” ini mungkin memperparah kecemasan. Tidak hanya itu, percampuran antara bahasa ibu atau First Language (L1) dengan bahasa kedua yang sedang dipelajari juga membuat otak bingung. Misalnya, struktur kalimat bahasa ibu memiliki perbedaan mendasar dengan bahasa Arab, bahkan bahasa Indonesia pun demikian. Struktur S-P-O-K dalam bahasa Indonesia berbeda dengan pola Jumlah Fi’liyah (Kata Kerja di awal) dalam bahasa Arab. Perbedaan sintaksis ini memaksa otak bekerja lebih keras. Belum lagi minimnya contoh percakapan alami. Analoginya, seseorang yang ingin menjadi koki memang mengetahui resep soto ayam yang lezat, tetapi ia tidak bisa langsung memasak. Diperlukan beberapa bahan dan yang terpenting keterampilan meracik yang terampil.
Perbedaan antara Kompetensi dan Performansi
Itulah yang membuat geger dunia linguistik. Kompetensi telah mapan, tetapi praktiknya nol. Sampai akhirnya, Noam Chomsky mengemukakan pendapatnya bahwa kompetensi tidak sama dengan performansi. Hafal kosakata asing tidak sama dengan bisa langsung bicara. Chomsky membedakan apa yang kita tahu (kompetensi) dengan apa yang kita lakukan (performansi). Dikotomi ini mengubah arah pandang linguistik. Kompetensi dianggap bersemayam di dalam pikiran saja. Sementara performansi tecermin dalam aktivitas berbahasa yang dilakukan oleh si penutur. Sayangnya, pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, khususnya di madrasah dari tingkat rendah hingga tinggi, masih mengandalkan qawaid sebagai satu-satunya pelajaran yang wajib dikuasai oleh murid.
Melihat tantangan dunia saat ini, tentu pelajaran qawaid saja belum cukup. Dunia yang semakin berkembang cepat dan apa yang disebut sebagai globalisasi menuntut setiap orang agar memiliki kecakapan berbahasa asing. Hal itu supaya mereka dapat berkomunikasi dengan orang dari seluruh negara. Namun, kurikulum bahasa Arab nasional kita masih berfokus pada teori semata meski klaimnya ingin mencetak lulusan yang terampil. Sejauh mata memandang, praktiknya masih mengukur performansi pada level rendah, seperti hafalan dan pilihan ganda yang tidak berbobot. Pembelajaran rasa-rasanya lebih menitikberatkan pada “pengetahuan” dibanding “aktivitas”. Singkatnya, masalah kurikulum kita adalah terlalu memuja kompetensi (teori) dan melupakan performansi (praktik). Mengapa? Boleh jadi karena metode klasik yang masih terus digunakan, sedangkan metode pembelajaran terbaru telah lebih mementingkan praktik. Metode qawaid wa tarjamah (tata bahasa terjemah) merupakan warisan lama yang tujuan akhirnya adalah membaca, bukan bicara. Seperti yang sudah disinggung di atas, qawaid tidak lagi cukup dengan benturan realitas pada zaman sekarang.
Dominasi Teks dan Pengabaian Konteks
Jika ditelusuri akar masalahnya, dominasi qawaid (kompetensi) ini tidak lepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Bahasa Arab dipelajari semata-mata sebagai alat bedah teks selama berabad-abad. Tujuannya mulia ialah agar santri bisa membaca dan memahami Kitab Kuning atau literatur turats tanpa harakat. Dalam konteks ini, kesalahan i’rab adalah aib besar karena bisa membelokkan makna teologis. Tidak heran jika mindset “haram hukumnya salah gramatikal” ini terbawa hingga ke kelas-kelas percakapan (muhadatsah). Guru, yang juga produk dari sistem lama, secara tidak sadar menjadi “polisi bahasa”. Setiap kali murid baru membuka mulut mengucap “Fatimah yadzhabu”, guru langsung memotong, “Salah! Harusnya Fatimah tadzhabu!”. Koreksi prematur inilah yang membunuh performansi murid sebelum sempat berkembang. Hal itu bertentangan dengan Chomsky yang mengingatkan bahwa performansi butuh ruang toleransi untuk tumbuh.
Pentingnya Penyesuaian Kurikulum
Coba bayangkan jika hal ini dilanjutkan tanpa adanya perbaikan. Sudahlah bahasa Arab dianggap momok menakutkan, murid lulusan madrasahnya justru gagap bicara. Lantas, apa yang akan ia tampilkan di masyarakat? Kurikulum seolah tidak memberi ruang performansi di kelas-kelas. Ujian praktik pun tidak termasuk dalam ujian resmi. Namun, hal itu wajar terjadi manakala murid jarang atau bahkan tidak pernah dilatih untuk berbicara di kelas. Dengan afirmasi positif dari lingkungan, seperti guru dan teman-teman, tentu murid senang hati melakukannya.
Akhir kata, Bi’ah Lughawiyah (Lingkungan Bahasa) yang ramah kesalahan serta mendukung sangat diperlukan, yang di dalamnya terdapat aktivitas bahasa Arab yang alami, seperti role play dan dialog. Kemudian ujian praktik yang dapat dilakukan salah satunya lewat video speaking. Inilah yang tak kalah penting, materi nahwu sharaf yang dikontekstualisasikan. Ini karena murid tidak kekurangan pengetahuan. Mereka hanya kekurangan kesempatan untuk menggunakannya.