Syamaun, yang biasa dipanggil Maun, berusia 50 tahun—nama samaran—menulis surat dengan perlahan, sangat perlahan, seakan ingin memastikan Tuhan memahami setiap getar kalimat yang ia sampaikan menjelang subuh, ketika hujan deras mengguyur kampungnya, ketika tidurnya tidak lagi tenang karena firasat buruk mulai mengendap seperti lumpur di dasar Sungai Ngop.
Dalam keyakinannya—yang juga diyakini oleh penduduk sekampungnya—hujan merupakan salah satu waktu terbaik untuk berdoa. Namun malam itu, hujan datang tanpa membawa keindahan.
Setelah suratnya selesai ditulis, lampu tiba-tiba padam. Gelap gulita. Maun meraba-raba dinding mencari penerang. Di sudut dapur, ia menemukan korek api, di bawahnya ada sebuah senter kecil.
Kedua benda sederhana itu menjadi penerang di tengah gelap yang menyelimuti kampungnya. Di luar, suara hujan menghantam seng rumah seperti kerikil-kerikil kecil yang dilempar dengan amarah.
Kampung yang Berubah
Dengan cahaya seadanya, Maun mengambil air wudhu. Adzan subuh seharusnya sudah berkumandang, tetapi malam itu banyak kemungkinan terjadi: apakah suara muazin kalah oleh gemuruh hujan, atau mungkin muazin sedang membereskan surau yang mulai kebanjiran.
Air mulai merembes ke kamar mandi rumahnya. Maun melihat keluar dari balik jendela kayu rumahnya. Kampungnya tidak seperti biasanya.
Biasanya akan ada satu-dua motor melintas menjelang subuh dan selalu ada warga berjalan menuju surau. Namun pagi itu, seluruh pintu rumah tertutup rapat. Jalanan sepi. Kampung yang dihuni ratusan jiwa itu terasa seperti telah mati.
Hujan terus mengguyur tanpa ampun. Maun yakin beberapa rumah di dekat Sungai Ngop sudah tenggelam. Daerah itu memang langganan banjir, hanya saja kali ini firasatnya lebih gelap dari biasanya.
Pembalakan Liar dan Dampaknya
Beberapa tahun terakhir telah terjadi pembalakan besar-besaran di hutan Gunung Goh. Perizinan keluar lewat bawah meja-meja remang pejabat daerah.
Syamaun baru tahu itu dari koran yang dibacanya beberapa hari lalu. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengutuk keras pejabat karena telah diam-diam mengeluarkan izin pembalakan liar.
Air sudah menutup bagian bawah pintu rumahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk salat, khawatir hujan akan menenggelamkan rumahnya. Ia disergap ketakutan. Doa-doa liar berhamburan dari kepalanya.
Di pagi yang masih gelap itu, air hujan datang membawa lumpur, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya, membawa kayu-kayu besar berlabel kementerian kehutanan, tercabut entah dari hutan mana, terpotong rapi oleh senso manusia.
Air Sungai Ngop meluap. Gelombangnya membawa batang-batang kayu yang menghantam rumah-rumah warga seperti amukan raksasa buta. Maun berlari tergopoh-gopoh keluar rumah hanya dengan kain sarung kotak-kotak, kaki telanjang, sembari gemetar. Ia terus berdzikir sepanjang hari, air wudhunya masih tersisa.
Pengungsian dan Kesaksian
Ia menumpang keselamatan di lantai dua surau, bersama beberapa warga termasuk Pak Kades Samsul, akrab disapa Keuchik Son. Dari tempat itu, Maun dan sedikit warga di sana menyaksikan kampungnya luluh lantak. Teriakan minta tolong terdengar, tetapi tidak jelas dari mana. Degup jantungnya seperti dipukul dari dalam.
Rumah-rumah saling bertumpukan. Mobil-mobil hanyut. Lembu-lembu mati mengapung dalam lumpur. Maun merasa seolah kiamat telah datang, meski matahari belum terbit dari barat.
Ia salat subuh terlambat. Di lantai dua surau, ia menunaikan salat subuhnya. Di rakaat kedua, saat membaca qunut, ia menangis tersedu-sedu. Maun hidup sebatang kara setelah istrinya meninggal dunia dua tahun lalu. Dia tidak memiliki anak dan hidup sendirian. Yang ia takutkan kini hanya kehilangan saudara-saudara dan teman-temannya.
Di tengah isak, ia teringat tiga surat yang ia lipat rapi di saku bajunya. Perlahan ia buka satu per satu.
Surat Pertama untuk Tuhan
Tuhan, pagi ini, saat masih gelap, ada ketakutan yang memenuhi seluruh tubuhku.
Pagi ini aku tak melihat jamaah datang ke surau.
Azan pun tak terdengar, dikalahkan oleh amukan hujan. Kampungku seperti tak bernyawa…
Tubuh Maun melemas. Air matanya mengalir tanpa ia cegah. Ia membuka surat kedua dengan tangan gemetar.
Surat Kedua untuk Tuhan
Tuhan, selamatkan orang-orang yang kusayang. Sanak saudara yang selama ini membantuku. Jangan biarkan mereka hanyut oleh banjir yang bukan salah mereka.
Mereka yang serakahlah yang layak dihantam arus itu. Mereka yang menebang hutan, yang mengaku itu demi kemajuan. Mereka yang menertawakan kami saat kami melarang penebangan liar.
Kemajuan untuk siapa, Tuhan? Bukankah hidup kami yang semakin menderita? Bukankah mereka wakil kami? Mengapa mereka tak pernah mendengar kami? Mereka lupa janji-janjinya.
Keuchik Son menepuk pundaknya. “Sabar, Un. Kita hanya hamba. Semua akan kembali kepada-Nya.”
Surat Ketiga untuk Tuhan
Tuhan, hujan akhirnya benar-benar murka. Hutan lindung tak lagi terlindungi.
Kayu-kayu sebesar raksasa menghantam rumah-rumah tak berdosa. Yang tersisa hanya kami, lumpur, kayu, dan tanah tempat kami dilahirkan.
Rumah-rumah hilang, bersama cinta yang tumbuh di setiap sudutnya. Hujan bulan Desember mengerikan. Kami mulai takut pada hujan.
Bukan berarti kami membencinya. Kami hanya merindukan matahari, hingga kami pulih dari ketakutan ini. Untuk saat ini, kami benar-benar memohon, Tuhan: Kami kalah. Kami menyerah.
Setelah membaca surat terakhir, Maun menunduk lama. Ia menangis sesenggukan.
Hujan mereda, menyisakan lumpur dan gelondongan kayu. Kampung berubah menjadi hamparan puing.
Pasca Bencana
Saat turun dari surau, Maun melihat orang-orang berjalan gontai dengan tubuh dilumuri lumpur. Kampung itu bak negeri zombi.
“Maun! Syamaun!” seseorang berteriak dari jauh.
“Kampung kita hilang. Orang-orang hilang. Banyak yang mati!”
Maun terduduk. “Ampuni kami, ya Tuhan…”
Di pengungsian, seorang ibu menggendong anaknya yang kehausan.
“Belum ada bantuan yang sampai,” ucapnya lirih.
Beberapa warga menyaring air lumpur untuk diminum. Pemerintah bergerak lamban. Ratusan nyawa tampak kecil bagi seorang pembunuh. Namun, satu nyawa begitu berarti bagi mereka yang saling mencintai.
Maun duduk, lemah, lapar, tidak minum seharian. Namun pikirannya bukan pada dirinya, melainkan pada ibu-ibu yang kehilangan anak, dan anak-anak yang kehilangan orang tuanya.
Banjir tidak hanya melanda kampungnya. Berita menyebar bahwa seluruh provinsi dikepung bencana, yang terparah ada di tiga provinsi: di Negeri Serambi Mekkah, di Tanah Batak, dan di Ranah Minang.
Sebentar kemudian, Keuchik Son masuk tenda di pengungsian dan memeluk Maun.
“Kampung kita hilang, Un. Rumah kita hilang. Sanak saudara kita hilang. Beberapa sudah ditemukan… dalam keadaan tak bernyawa.”
Maun menggigit bibir menahan tangis, tetapi air matanya jatuh juga.
Tanggapan Pemerintah dan Refleksi
Beberapa hari kemudian, bantuan tidak juga datang. Gubernur setempat berkata, “Banyak warga saya yang meninggal bukan karena banjir, tapi karena kelaparan. Ini bencana terparah yang melanda bumi Serambi Mekkah setelah tsunami 2004.”
Di luar tenda pengungsian, warga menengadah ke langit. “Ya Tuhan, tolong sampaikan kepada pemimpin kami, jika mereka tak membawa kami bantuan, kirimkan kain kafan. Biar kami mati dengan terhormat.”
Setelah semua yang terjadi, Maun sadar: benda-benda di muka bumi ini tidak pernah punya niat jahat. Yang jahat adalah manusia-manusia serakah.
Hujan tidak menciptakan banjir. Manusia lah yang menciptakan banjir. Lumpur dan kayu akan menjadi saksi di hadapan Tuhan.