Posted in

Program Makan Bergizi Gratis: Analisis Perspektif Interaksionisme Simbolik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu janji politik yang paling populer dalam Pemilu 2024. Secara konseptual, program ini tampak ideal: negara hadir untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang memadai, sekaligus menurunkan angka stunting dan gizi buruk. Bahkan, MBG diproyeksikan sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.

Namun, kebijakan publik tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia tidak hanya beroperasi melalui anggaran dan distribusi, tetapi juga melalui simbol, makna, dan interaksi sosial. Di sinilah pentingnya membaca MBG bukan semata sebagai program teknokratis, melainkan sebagai praktik sosial yang membentuk cara masyarakat memaknai makanan, negara, dan identitas kebangsaan.

Makna Simbolik dalam Interaksi Sosial

Dalam perspektif interaksionisme simbolik—sebagaimana dirintis George Herbert Mead dan dikembangkan Herbert Blumer—tindakan manusia selalu didasarkan pada makna. Makna itu tidak melekat secara alamiah pada objek, tetapi lahir melalui proses interaksi sosial. Negara, dalam hal ini, tidak hanya memberikan makanan, tetapi juga memproduksi simbol tentang apa yang disebut “makanan bergizi” dan bagaimana warga seharusnya memaknainya.

Dengan demikian, MBG berfungsi sebagai simbol kehadiran negara dalam kehidupan paling dasar warga. Negara masuk ke ruang makan, ke sekolah, bahkan ke selera anak-anak. Secara politis, ini adalah pesan kuat: negara peduli, negara melindungi, dan negara menjamin masa depan.

Tidak mengherankan jika program ini memiliki daya tarik elektoral yang besar. Namun, simbol yang kuat selalu memiliki dua sisi. Ketika negara mendefinisikan secara sepihak apa itu makanan bergizi, ada risiko bahwa definisi tersebut mengabaikan pengalaman, kebiasaan, dan kearifan lokal masyarakat.

Pembentukan Identitas Melalui Makanan

George Herbert Mead menekankan bahwa identitas individu terbentuk melalui proses interaksi simbolik antara “I” dan “Me”, antara diri personal dan ekspektasi sosial. Makanan—dalam konteks ini—bukan hanya zat biologis, melainkan juga medium pembentukan identitas sosial sejak dini.

Apa yang dimakan anak, bagaimana makanan itu disajikan, dan dari mana asalnya akan memengaruhi cara anak memandang dirinya dan lingkungannya.

Ketika MBG hadir dengan menu yang seragam dan kurang merefleksikan makanan khas Nusantara, yang dibentuk bukan hanya pola konsumsi baru, melainkan juga makna baru tentang “makanan yang benar”.

Anak-anak perlahan belajar bahwa makanan bergizi adalah versi negara, bukan versi keluarga atau komunitasnya. Dalam jangka panjang, ini berpotensi menciptakan jarak simbolik antara makanan lokal dan makanan “resmi”.

Ruang Negosiasi yang Menyempit

Herbert Blumer menyebut bahwa makna selalu dinegosiasikan melalui interaksi. Jika interaksi itu didominasi oleh negara melalui kebijakan seragam, ruang negosiasi masyarakat menjadi sempit. Makanan lokal yang selama ini kaya makna sosial dan kultural berisiko terpinggirkan.

Kritik terhadap MBG tidak dapat dilepaskan dari fenomena yang oleh banyak sosiolog disebut sebagai McDonaldisasi: proses standarisasi, efisiensi, dan rasionalisasi yang mengorbankan keragaman. Dalam konteks MBG, logika efisiensi anggaran dan kemudahan distribusi sering kali mendorong menu yang seragam, praktis, dan “aman” secara administratif.

Masalahnya, Indonesia bukan negara homogen. Setiap daerah memiliki sumber pangan lokal yang kaya gizi dan sesuai dengan kondisi ekologisnya. Ikan kuah kuning di Papua, misalnya, bukan hanya makanan tradisional, melainkan juga sumber protein dan asam lemak esensial.

Soto Banjar di Kalimantan mencerminkan keseimbangan gizi yang lahir dari adaptasi panjang terhadap lingkungan setempat. Ketika menu MBG tidak memberi ruang bagi kekayaan ini, negara secara tidak langsung menyampaikan pesan simbolik bahwa makanan lokal kurang relevan atau kurang bergizi. Ini bukan sekadar persoalan selera, melainkan juga persoalan legitimasi budaya.

Kontradiksi antara Narasi dan Realitas

Secara retoris, MBG sering dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat dan ekonomi lokal. Namun, dalam praktiknya, program yang terlalu terpusat justru berpotensi memperkuat rantai pasok besar dan mengabaikan produsen pangan lokal. Di titik ini, muncul kontradiksi antara narasi pemberdayaan dan realitas penyeragaman.

Herbert Blumer mengingatkan bahwa tindakan kolektif—termasuk kebijakan negara—harus dipahami sebagai hasil dari proses interpretasi sosial. Jika masyarakat menafsirkan MBG sebagai program yang mengabaikan budaya lokal, kepercayaan publik akan tergerus, sebaik apa pun niat awalnya.

Komentar sejumlah pejabat publik yang cenderung meremehkan kritik budaya atas MBG juga memperlihatkan adanya jarak simbolik antara negara dan masyarakat. Kritik sering dibaca sebagai hambatan teknis, bukan sebagai ekspresi makna sosial yang hidup di akar rumput.

Mencari Keseimbangan antara Gizi dan Budaya

Masalah utama MBG bukan terletak pada niat, melainkan pada cara memaknai “gizi” dan “keberhasilan”. Jika gizi hanya dipahami sebagai angka statistik, budaya akan selalu dianggap sekunder. Padahal, dalam perspektif interaksionisme simbolik, keberhasilan kebijakan justru ditentukan oleh kesesuaian makna antara negara dan masyarakat.

Tanpa sensitivitas budaya, MBG berisiko menjadi proyek homogenisasi pangan yang mengabaikan sumber gizi lokal yang lebih relevan, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Sebaliknya, jika MBG dirancang dengan melibatkan kearifan lokal, ia justru bisa menjadi ruang perjumpaan antara negara dan masyarakat, antara tujuan nasional dan praktik budaya sehari-hari.

Makan bergizi seharusnya tidak hanya mengenyangkan tubuh, tetapi juga merawat identitas. Jika Indonesia Emas 2045 ingin dibangun di atas generasi yang sehat dan berkarakter, kebijakan pangan harus bergerak melampaui logika seragam. Negara perlu hadir bukan sebagai penyeragam makna, melainkan sebagai fasilitator keberagaman.

Pertanyaan akhirnya bukan hanya “apakah MBG memberi gizi?” melainkan “makna apa yang dibentuk MBG tentang makanan, negara, dan warga?” Dari pertanyaan tersebut akan muncul jawaban-jawaban yang tepat untuk memformulasikan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk anak-anak Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *