Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan DPRD kembali muncul ke permukaan. Alasan yang dikemukakan terdengar tidak asing: Pilkada langsung dinilai mahal, berpotensi menimbulkan konflik, dan kurang efisien. Dalam narasi ini, demokrasi seolah menjadi beban anggaran, sementara efisiensi dianggap sebagai solusi. Pertanyaan mendasar yang muncul: jika DPRD yang memilih, lalu apa peran rakyat?
Sejak era Reformasi, Pilkada langsung bukan hanya sekadar prosedur elektoral. Ia merupakan koreksi terhadap praktik lama yang elitis dan tertutup. Rakyat diberikan ruang untuk menentukan pemimpinnya sendiri sekaligus alat untuk menagih janji dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, memindahkan Pilkada ke DPRD tidak bisa dipandang sebagai perubahan teknis semata. Ini merupakan perubahan arah demokrasi.
Dari Bilik Suara ke Ruang Rapat
Dalam kerangka kontrak sosial, sebagaimana dirumuskan oleh Jean-Jacques Rousseau, kedaulatan berada di tangan rakyat dan hanya didelegasikan melalui kehendak umum. Pilkada langsung memberikan bentuk konkret pada prinsip tersebut: rakyat memilih, lalu menilai.
Ketika Pilkada dialihkan ke DPRD, relasi ini berubah secara drastis. Mandat rakyat menjadi berlapis dan tidak langsung. Kepala daerah tidak lagi berhadapan dengan pemilih, melainkan dengan fraksi-fraksi partai. Dalam logika teori agensi, semakin panjang rantai mandat, semakin besar peluang moral hazard. Akuntabilitas kepada publik melemah, sementara ketergantungan pada elite politik menguat.
Oligarki yang Tak Lagi Malu
Wacana ini juga menguatkan tesis klasik Robert Michels tentang Iron Law of Oligarchy: kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir orang. Bedanya, kali ini kecenderungan itu tidak lagi disamarkan. Ia justru dilegalkan lewat desain institusional.
Jika DPRD menjadi penentu Pilkada, politik lokal berisiko berubah menjadi arena transaksi tertutup. Publik kehilangan instrumen kontrol paling dasar: hak memilih dan menghukum secara elektoral. Demokrasi menyempit menjadi urusan internal partai, sementara rakyat direduksi menjadi penonton.
Dalih efisiensi anggaran pun patut dicurigai. Biaya politik tidak serta-merta hilang ketika Pilkada langsung dihapus. Ia hanya berpindah bentuk dari kampanye terbuka ke lobi, konsesi, dan kompromi kekuasaan yang jauh lebih sulit diawasi. Korupsi tidak berkurang; ia menjadi lebih senyap.
Kecenderungan ini sejalan dengan kritik Mahfud MD tentang politik hukum yang elitis: hukum digunakan untuk menertibkan partisipasi warga, bukan untuk membatasi kekuasaan.
Belajar dari Dunia
Pengalaman internasional menunjukkan arah sebaliknya. Di Brasil, wali kota dan gubernur dipilih langsung sejak berakhirnya rezim militer. Biaya politik dan korupsi memang ada, tetapi solusinya bukan mencabut hak pilih warga. Reformasi diarahkan pada transparansi pendanaan kampanye dan penguatan lembaga pengawas.
Di India, demokrasi lokal bahkan diperluas hingga tingkat desa melalui sistem panchayat. Partisipasi publik dipandang sebagai investasi legitimasi jangka panjang, bukan beban. Negara-negara yang mempersempit partisipasi justru kerap berhadapan dengan krisis kepercayaan publik.
Ketika Warga Kehilangan Peran
Dampak paling serius dari penghapusan Pilkada langsung bukan pada teknis pemilihan, melainkan pada kesadaran kewargaan. Pilkada telah menjadi ruang belajar politik: warga menilai program, mengenali rekam jejak, dan merasakan bahwa suara mereka berdampak. Jika ruang itu ditutup, warga kembali diposisikan sebagai objek, bukan subjek politik.
Demokrasi memang tidak selalu rapi dan murah. Namun partisipasi publik bukan beban anggaran, melainkan investasi sosial. Negara yang memilih kenyamanan elite dengan memangkas peran warga sedang mempertaruhkan legitimasi politiknya sendiri.
Mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD mungkin tampak efisien di atas kertas. Namun biaya sosial dan politiknya jauh lebih mahal. Jika rakyat hanya diminta menonton sementara keputusan paling menentukan diambil di ruang-ruang tertutup, maka persoalannya bukan lagi soal mekanisme pemilihan, melainkan siapa yang sesungguhnya memegang kedaulatan.
Demokrasi memang melelahkan. Tetapi negara yang takut pada suara warganya sedang berjalan menjauh dari sumber kekuasaannya sendiri.