Dalam banyak hubungan, perempuan seringkali tidak berada dalam posisi yang benar-benar aman. Ketika mereka mencintai dengan sepenuh hati, mereka dituduh berlebihan. Namun ketika memilih untuk diam dan menjaga jarak, mereka justru dicap tidak peduli. Di antara dua label tersebut, perempuan terus dipaksa menyesuaikan diri bukan untuk menciptakan hubungan yang sehat, melainkan demi kenyamanan pihak lain.
Istilah “berlebihan” mungkin terdengar sederhana dan seolah netral. Namun dalam penerapannya, kata ini sering digunakan sebagai alat untuk menghakimi cara perempuan merasakan, mengekspresikan, dan memperjuangkan cintanya. Ini bukan sekadar penilaian biasa, melainkan bentuk penertiban emosional, cara halus untuk menyatakan bahwa perasaan perempuan terlalu banyak, terlalu dalam, dan terlalu merepotkan.
Bentuk Tuduhan dalam Keseharian
Dalam kehidupan sehari-hari, tudingan ini muncul dalam berbagai bentuk. Perempuan yang menunjukkan kepedulian dianggap posesif. Mereka yang bertanya tentang masa depan dinilai terlalu menuntut. Perempuan yang menginginkan kejelasan disebut tidak sabar. Bahkan kesedihan dan kecemasan sering direduksi sebagai drama berlebihan. Seolah-olah cinta hanya boleh ada selama tidak mengganggu ritme dan kebebasan pihak lain.
Cara perempuan mencintai biasanya berasal dari keterlibatan emosional yang utuh. Banyak perempuan mencintai dengan perhatian, konsistensi, dan keinginan untuk membangun kedekatan yang aman. Mereka tidak hanya mencintai sebagai perasaan semata, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab. Dalam hubungan, perempuan sering mengambil peran sebagai penjaga emosi, perawat luka, dan penopang stabilitas yang melelahkan, namun jarang diakui sebagai kontribusi nyata.
Ironi Kerja Emosional
Ironisnya, kerja emosional inilah yang sering menjadi sumber masalah. Ketika cinta perempuan mulai membutuhkan timbal balik kehadiran yang konsisten, komunikasi yang jujur, atau komitmen yang jelas, ia dianggap terlalu berat. Pada titik ini, cinta tidak lagi dirayakan, melainkan dihindari. “Berlebihan” pun menjadi alasan untuk menjauh tanpa harus memikul tanggung jawab.
Budaya patriarkal turut memperkuat ketimpangan ini. Perempuan dibesarkan untuk menjadi peka, empatik, dan peduli terhadap perasaan orang lain. Namun di saat yang sama, mereka diharapkan tetap rasional, tenang, dan tidak emosional. Kontradiksi ini menempatkan perempuan dalam jebakan sosial, diminta untuk merasakan lebih banyak, tetapi dihukum ketika perasaannya terlihat.
Akibatnya, ekspresi emosi perempuan seringkali tidak dianggap sah. Tangisan dipandang sebagai kelemahan. Kemarahan dicurigai sebagai ketidakstabilan. Kecemasan dianggap berlebihan. Label-label ini tidak hanya meremehkan pengalaman emosional perempuan, tetapi juga membangun narasi bahwa perasaan perempuan selalu perlu dikoreksi, diredam, atau disederhanakan.
Ketimpangan dalam Hubungan
Dalam hubungan yang timpang, istilah “berlebihan” jarang muncul ketika cinta perempuan memberikan keuntungan. Istilah ini muncul ketika cinta itu mulai meminta ruang, kejelasan, dan keseriusan. Dengan kata lain, “berlebihan” bukan tentang kadar cinta, melainkan tentang siapa yang merasa terganggu. Ketika perempuan berhenti menjadi penyesuai, label itu pun digunakan sebagai alat kontrol.
Dampaknya tidak kecil. Banyak perempuan tumbuh dengan kebiasaan meragukan emosinya sendiri. Mereka belajar meminta maaf atas perasaan yang seharusnya sah. Mereka menahan tangis, mengecilkan kebutuhan, dan membungkam luka semata-mata agar tidak dicap terlalu sensitif. Dalam jangka panjang, hubungan semacam ini tidak hanya melukai, tetapi juga mengikis harga diri.
Cinta kemudian dipahami secara keliru, bukan sebagai ruang aman untuk tumbuh bersama, melainkan sebagai arena kompromi sepihak. Perempuan diminta mencintai dengan sepenuh hati, tetapi tidak boleh menuntut apa pun sebagai balasan. Ketika cinta menjadi sepihak seperti ini, yang disebut berlebihan sebenarnya bukan perasaan, melainkan ketimpangan.
Menuju Pemahaman yang Lebih Sehat
Padahal, intensitas emosi bukanlah musuh dari kedewasaan. Hubungan yang dewasa bukan hubungan yang sunyi dari perasaan, melainkan hubungan yang mampu menampung emosi tanpa menghakimi. Cinta yang sehat tidak meminta seseorang untuk terus menyesuaikan diri, melainkan memberi ruang agar kedua pihak dapat hadir secara utuh.
Sudah saatnya cara pandang ini digeser. Kita perlu berhenti memaknai cinta dari seberapa pandai seseorang menahan diri, dan mulai menilainya dari seberapa adil hubungan tersebut memperlakukan emosi. Perempuan tidak mencintai secara berlebihan, merekalah yang selama ini diminta mencintai dalam batas yang ditentukan orang lain.
Menyebut cara perempuan mencintai sebagai berlebihan tanpa memahami konteksnya hanya akan melanggengkan ketimpangan emosional. Yang perlu dikoreksi bukanlah kedalaman cinta perempuan, melainkan standar hubungan yang terus memihak pada kenyamanan sepihak. Sebab cinta, pada hakikatnya, tidak pernah berlebihan yang sering berlebihan adalah tuntutan agar perempuan terus mengecilkan dirinya demi dianggap wajar.