Posted in

Ketika Perbedaan Bahasa Tidak Menjadi Pembatas

Sapaan tersebut terasa asing bagi penulis saat pertama kali mendengarnya. Seorang ibu menyapa dengan ramah menggunakan kata “Teteh” dalam percakapan yang panjang. Penulis hanya mampu tersenyum dan mengangguk, belum sepenuhnya memahami makna setiap ucapan. Bukan karena enggan merespons, melainkan perbedaan bahasa mengharuskan pemahaman yang lebih perlahan. Pengalaman ini dialami ketika pertama kali menetap di Desa Cintaratu, Pangandaran, Jawa Barat.

Setelah beberapa hari tinggal di Jatinangor, sapaan-sapaan baru masih terasa tidak biasa. Panggilan seperti “Teteh” untuk perempuan atau “Akang” untuk laki-laki, disertai intonasi Sunda yang khas lembut dan pelan, membuat telinga belum sepenuhnya terbiasa dengan bahasa daerah lain. Saat itu, lidah masih terasa kaku, canggung, gugup, dan khawatir salah menangkap makna. Di tengah kebingungan tersebut, justru warga setempat yang memberikan dukungan.

Kehangatan di Tengah Perbedaan

Seorang ibu yang kemudian menjadi akrab dengan penulis menjadi sosok pertama yang menunjukkan keramahan. Ia menyambut dengan senyuman, cerita, dan berbagai pujian. Ketika tidak mengerti, penulis hanya merespons dengan senyuman, anggukan kecil, atau tatapan bertanya. Namun alih-alih tersinggung, ibu tersebut malah tertawa kecil melihat kesalahpahaman ini. Tak lama kemudian, ia menawarkan makanan, bantuan, dan keramahan tanpa pamrih seolah bahasa tidak lagi menjadi penghalang.

Pengalaman serupa juga datang dari warga lainnya. Hampir setiap hari, setiap kali melewati rumah penduduk, selalu ada senyuman yang diberikan, sapaan yang disampaikan, atau sekadar gestur kecil yang membuat penulis merasa diterima. Momen-momen ini menyadarkan bahwa ada hal yang lebih besar dari perbedaan bahasa, yaitu rasa kemanusiaan yang hangat.

Kepedulian yang Melampaui Bahasa

Bantuan datang secara bertahap dalam berbagai bentuk. Ada yang tiba-tiba menghampiri dan menawarkan tumpangan. Selain itu, ada juga yang menanyakan kondisi atau memastikan keadaan penulis baik-baik saja. Pada beberapa kesempatan, penulis merasa malu dan sungkan dengan perhatian ini. Namun di sisi lain, penulis juga terharu karena ternyata kepedulian tidak muncul dari persamaan latar belakang.

Kepedulian bisa datang melalui ketulusan, perhatian, dan kehangatan. Semua itu semakin nyata seiring berkembangnya kedekatan dari berbagai interaksi. Pengalaman ini memberikan pelajaran bahwa kedekatan dan kekeluargaan tidak akan terhalang oleh perbedaan bahasa. Justru, perbedaan itulah yang akan membangun kedekatan dari interaksi yang saling membuka pemahaman antar latar belakang yang berbeda. Senyum, sapaan, dan teguran merupakan bahasa universal yang mampu memecah jarak antar perbedaan. Di wilayah Pangandaran, penulis mungkin belum sepenuhnya memahami setiap kata, tetapi penulis mengetahui bahwa ketulusan selalu memiliki cara untuk dipahami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *