Posted in

Birokrasi Seremonialistik: Fenomena dan Dampaknya dalam Pelayanan Publik

Birokrasi yang cenderung mengutamakan acara seremonial dan ritual dapat disebut sebagai birokrasi berbunga-bunga (the flower of bureaucracy), yakni model birokrasi yang bersifat ritualistik dan gemar menyelenggarakan berbagai kegiatan serta upacara tanpa didukung anggaran yang memadai.

Akibatnya, para birokrat sering kali harus patungan untuk membiayai acara tersebut. Situasi ini cukup ironis karena penghasilan yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga justru dialokasikan untuk menghibur rekan kerja dan atasan yang secara finansial sebenarnya lebih mampu.

Loyalitas dalam Birokrasi

Ukuran kesetiaan seorang birokrat seharusnya terletak pada profesionalitas dan kejujuran dalam bekerja, sehingga reputasi atasan tetap terjaga dengan baik dan terhindar dari praktik korupsi. Seseorang yang tidak sepakat dengan kegiatan seremonialistik tidak seharusnya diberi label tidak loyal atau tidak patuh. Justru atasan perlu lebih bijak memahami kondisi bawahan yang kemampuan finansialnya tidak sama.

Birokrasi model seperti ini sangat menyulitkan bagi tipe birokrat yang hidupnya terbatas, hanya mengandalkan satu sumber pendapatan yaitu gaji. Di satu sisi mereka terbebani, di sisi lain takut untuk menyuarakan pendapat, khawatir akan berdampak pada masa depan kariernya atau menjadi sasaran empuk bagi musuh bersama. Tidak jelas sampai kapan model birokrasi berbunga-bunga ini akan terus dipertahankan, padahal sudah ketinggalan zaman dan termakan usia.

Akar Historis Seremonial

Dalam catatan sejarah, salah satu alasan manusia menyukai acara seremonialistik-ritualistik adalah warisan genetik dari manusia purba, para leluhurnya. Menurut Widya Lestari (Kompas, 2022) corak kehidupan manusia purba adalah berburu dan berkumpul (food gathering).

Kita sebagai homo sapiens memiliki sejarah panjang dalam kehidupan di mana nenek moyang kita sangat gemar berkumpul dan mengadakan ritual bersama. Periode ini disebut zaman pemburu-pengumpul. Evolusi leluhur kita yang suka berkumpul dalam aktivitas berburu untuk mempertahankan hidup ternyata diwariskan hingga generasi saat ini. Karena itu, ada istilah “makan gak makan yang penting kumpul”.

Ilustrasi korupsi. Foto: LightField Studios/Shutterstock

Faktor Penyebab Korupsi

Menurut Donald R Cressey, seseorang melakukan korupsi disebabkan karena tiga hal, yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Pertama, seorang birokrat melakukan korupsi karena adanya tekanan dari atasan. Perintah untuk “mensukseskan” acara yang bersifat seremonialistik-ritualistik dapat menjadi motif bagi birokrat untuk melakukan korupsi.

Kedua, seorang birokrat melakukan korupsi karena adanya kesempatan. Sistem yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan minim pengawasan akan memuluskan aksinya untuk meraup uang riswah, guna membiayai seremoni tertentu. Ketiga, birokrat selalu memiliki pembenaran atas tindakan korupnya. Misalnya, atas dasar kepentingan organisasi, perintah atasan, uang lelah, akhirnya birokrat melakukan korupsi.

Seremoni di lingkaran birokrasi yang tidak dikelola secara transparan dan akuntabel dapat menyebabkan terjadinya korupsi. Meskipun tidak secara langsung, birokrat dapat terjebak penyalahgunaan wewenang karena memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri melalui pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harga yang wajar. Karena itu, desain organisasi masa depan adalah sebanyak mungkin meraih prestasi, bukan malah memperbanyak seremoni.

Ilustrasi juara. Foto: Getty Images

Konflik Kepentingan dan Solusi Teknologi

Selain itu, birokrasi seremonialistik juga dapat menumbuh suburkan konflik kepentingan di kalangan birokrat. Menurut laporan Transparency International tahun 2020 menyebutkan, 60% kasus korupsi berakar dari konflik kepentingan, khususnya kasus kolusi.

Para birokrat yang tipenya berbunga-bunga ini menyadari betul bahwa mengadakan acara seremonial butuh modal besar, sedangkan anggaran tidak mencukupi. Namun, karena ada kepentingan yang mendesak, berbagai cara dilakukan agar hajatnya terpenuhi. Dirinya rela mencari “modal” sana-sini, asalkan rencana seremoni terealisasi.

Acara yang sifatnya seremonialistik boleh saja digelar apabila menggunakan instrumen teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi virtual dapat memfasilitasi setiap acara yang mengharuskan tatap muka tanpa mendistorsi pesan utama. Dengan teknologi virtual, kita tidak membutuhkan anggaran besar untuk akomodasi, beli tiket, sewa penginapan, sewa transportasi, sehingga uang pribadi tetap utuh.

Ilustrasi meeting virtual saat pandemi corona. Foto: Loic Venance/AFP

Tatap muka virtual juga dapat menjangkau seluruh birokrat dari daerah terpencil hingga di pusat kota tanpa harus datang dan berkumpul di satu arena. Mereka bertemu dalam satu platform, melihat jelas gimik dan wajah, sebagaimana tatap muka konvensional.

Materi pesan juga tersampaikan dengan jelas dan akurat. Karena itu, semua aktivitas seremonialistik-ritualistik sudah bisa digelar dengan teknologi, sehingga cara-cara konvensional-manual patut ditinggalkan.

Dalam upaya mitigasi risiko korupsi, kegiatan seremoni harus dikurangi, kalau perlu disudahi. Kegiatan produktif tetap dapat digelar dengan bantuan teknologi informasi agar sejalan dengan cita-cita reformasi birokrasi yaitu birokrasi yang bersih dari korupsi karena yang dibutuhkan masyarakat adalah birokrasi yang melayani, bukan birokrasi yang penuh seremoni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *