Di antara deretan busur dan anak panah yang tersusun rapi di lapangan Supersoccer Arena, Kudus, dalam MilkLife Archery Challenge (MLARC) KEJURNAS Antar Club 2025, tersimpan kisah tentang proses yang panjang. Cerita ini tidak hanya tentang target dan medali, tetapi juga mengenai seorang remaja yang menemukan ketenangan melalui lesatan anak panah.
Tokoh utama dalam kisah tersebut adalah Anggoro Wahyu Nuswantoro, atlet compound U-18 dari klub DAD Archery Jakarta. Panahan hadir dalam kehidupannya bukan sekadar sebagai jalan menuju cita-cita menjadi atlet profesional, melainkan sebagai ruang untuk belajar memahami diri sendiri.
Dukungan Keluarga dalam Perjalanan
Di sisi lapangan, selalu ada sosok yang setia mendampingi. Widia, sang ibu, menjadi saksi bagaimana panahan secara bertahap mengubah rutinitas harian Anggoro. Dari remaja yang sulit diam, ia berubah menjadi atlet yang mampu berdiri dengan tenang di garis tembak, mengikuti setiap sesi latihan dengan kesabaran penuh.
Perjalanan Anggoro dalam dunia panahan berawal dari ketidaksengajaan, yaitu saat keluarga kecil ini sedang berlibur ke kampung halamannya di Yogyakarta.
“Kami waktu itu wisata ke Candi Prambanan. Ternyata, di situ ada wahana panahan, memanah. Di situ saya coba, dan Anggoro minat di situ,” kata Widia kepada kumparan, Senin (15/12).
Ketertarikan kecil itu tidak dibiarkannya berlalu begitu saja. Widia mulai mencari informasi lebih lanjut tentang panahan, meskipun pada masa itu olahraga ini belum banyak dikenal masyarakat, terutama di Jakarta.
“Saya sempat cari informasi. Dan ternyata sampai Jakarta itu, wah masih jarang. Waktu itu tahun 2017-an tu masih jarang panahan. Kebetulan saya tinggal di Jakarta Timur. Kemudian saya dapat info di Taman Mini Indonesia Indah itu ada klub panahan. Ya sudah, saya daftarkan ke situ,” cerita Widia.

Dampak Positif di Luar Olahraga
Seiring berjalannya waktu, Widia menyadari bahwa panahan memberikan dampak yang lebih besar daripada sekadar aktivitas olahraga biasa. Anggoro tidak hanya belajar membidik target, tetapi juga menemukan ruang untuk menenangkan diri.
“Memang pada dasarnya Anggoro itu, tanda kutip ya, dia ada kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus dalam arti dia sulit fokus. Kemudian dia itu dulunya speed delay. Dan harus terapi, bicara, okupasi, sensory, integrasi, dan sebagainya,” ungkap Widia.
Saat mulai menekuni panahan, Anggoro sebenarnya telah menyelesaikan masa terapinya. Namun, bagi Widia, olahraga ini justru menjadi kelanjutan dari proses tersebut.
Sebagai remaja dengan tipe kinestetik, Anggoro memiliki energi besar dan cenderung sulit diam. Namun, panahan menuntut hal yang berbeda: ketenangan, kesabaran, dan pengendalian diri.
“Tapi ketika di panahan, dia bisa diam. Patuh dalam mengikuti sesi-sesi latihan sampai selesai,” ujar Widia.
Pendekatan Bertahap dalam Pembinaan
Pada tahun pertama, Widia memilih untuk tidak memberikan tekanan. Anggoro dibiarkan menikmati panahan dengan caranya sendiri.
“Jadi di situ terserah, dia mau main, mau apa, itu saya bebaskan,” kata Widia.
Baru setelah satu tahun berlalu, pendekatan itu perlahan berubah. Ketika panahan sudah menjadi pilihannya sendiri, Widia mulai menanamkan tanggung jawab.
“Satu tahun pertama, saya bebasin. Tapi setelah itu, saya mulai ketat. Jadi ketika ini pilihan dia, ya lu harus jalanin. Seperti itu. Dengan berbagai resikonya,” sambungnya.
Dari proses itulah, panahan tidak lagi sekadar cabang olahraga, melainkan bagian penting dalam perjalanan hidup Anggoro hingga akhirnya ia berhasil meraih medali perunggu dalam Divisi Compound U-18 Beregu di MLARC KEJURNAS Antar Club 2025.