Posted in

Greenlash 2025: Saat Rakyat Muak Dipaksa Miskin Demi Lingkungan

Tahun 2025 seharusnya menjadi periode ketika dunia bergerak cepat menuju target Net Zero Emissions. Namun, melihat lanskap politik global saat ini—dari Brussels hingga Jakarta, dari Washington hingga New Delhi—yang terlihat bukan percepatan, melainkan perlambatan mendadak. Fenomena ini dikenal para analis politik sebagai “greenlash” atau “green backlash”: reaksi balik politik keras terhadap kebijakan lingkungan.

Lima tahun lalu, pembicaraan tentang penutupan PLTU batu bara dan pajak karbon merupakan cara termudah politisi mendapatkan dukungan dari kaum muda dan kelas menengah perkotaan. Saat ini—di penghujung tahun 2025—narasi tersebut berubah menjadi risiko elektoral yang signifikan.

Pilihan Antara Krisis Iklim dan Krisis Finansial

Di berbagai negara, pemilu-pemilu besar yang baru berlalu membuktikan satu hal yang brutal namun nyata: ketika dihadapkan pada pilihan antara “kiamat iklim” di masa depan atau “kiamat finansial” di akhir bulan, pemilih cenderung memilih menyelamatkan keuangan mereka terlebih dahulu.

Artikel ini akan mengkaji fenomena greenlash melalui perspektif perbandingan politik, menyoroti bagaimana dua dunia berbeda—Eropa yang mapan dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia) yang sedang berkembang—merespons dilema sama dengan cara bertolak belakang, namun menuju satu titik temu: stagnasi agenda hijau.

Mari mulai dari benua yang selama ini menetapkan dirinya sebagai “polisi iklim dunia”: Eropa.

Retaknya Fondasi Kebijakan Hijau Eropa

Selama satu dekade terakhir, Uni Eropa (UE) dengan bangga memamerkan European Green Deal sebagai standar emas kebijakan publik. Namun, realitas politik tahun 2025 menunjukkan keretakan serius pada fondasi tersebut. Gelombang protes petani—yang melumpuhkan ibu kota-ibu kota Eropa, mulai dari Paris, Berlin, hingga Warsawa—bukan lagi sekadar berita sampingan.

Itu merupakan manifestasi kemarahan akar rumput terhadap regulasi lingkungan yang dianggap membatasi produktivitas dan meningkatkan biaya hidup.

Kemenangan atau setidaknya lonjakan suara partai-partai sayap kanan di berbagai pemilu parlemen Eropa tahun 2024-2025 menjadi indikator paling jelas. Partai-partai ini—yang dulunya dianggap climate denier (penyangkal iklim)—kini mengubah strategi.

Mereka tidak lagi menyangkal perubahan iklim, tetapi mempolitisasi biaya penanganannya. Narasi mereka sederhana dan efektif: “Mengapa rakyat kecil harus membayar mahal untuk transisi energi, sementara para elite terbang dengan jet pribadi ke konferensi iklim?”

Pergeseran Pendulum Kebijakan

Di tahun 2025, terlihat pergeseran pendulum. Subsidi untuk mobil listrik di beberapa negara Eropa mulai dikurangi karena beban anggaran. Rencana pelarangan mesin pembakaran internal (ICE) mulai dilonggarkan atau ditunda tenggat waktunya. Di Inggris dan Jerman, isu ketahanan energi (akibat ketidakstabilan geopolitik yang berlarut-larut) memaksa pemerintah kembali mempertimbangkan bahan bakar fosil sebagai “cadangan strategis”.

Ini merupakan pelajaran penting bagi para teknokrat hijau: kebijakan lingkungan tanpa jaring pengaman sosial yang kuat di tengah inflasi hanya akan menjadi resep kegagalan politik. Di Eropa, “hijau” kini dipersepsikan sebagai warna kaum elite, bukan warna rakyat banyak.

Wajah Berbeda Greenlash di Asia Tenggara

Beralih ke belahan bumi selatan—khususnya di Asia Tenggara dan Indonesia—fenomena greenlash memiliki karakter berbeda. Jika di Eropa penolakan berbasis pada biaya hidup, di sini penolakan berbasis pada hak untuk berkembang.

Tahun 2025 merupakan periode ketika narasi “hilirisasi” dan “industrialisasi” mencapai puncaknya di Indonesia dan negara tetangga seperti Vietnam. Pemerintah baru yang terbentuk pasca-siklus pemilu 2024 memiliki mandat kuat untuk menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di atas 5-6%. Dalam kalkulasi politik ini, lingkungan sering kali harus “mengalah” demi pembangunan.

Paradoks Pembangunan Hijau

Terlihat paradoks menarik. Di satu sisi, Indonesia aktif mempromosikan diri sebagai pusat rantai pasok kendaraan listrik (EV) global. Nikel, tembaga, dan kobalt menjadi komoditas utama. Namun di sisi lain, proses ekstraksi mineral kritis tersebut justru menimbulkan jejak karbon dan kerusakan ekologis yang masif. Hutan dibuka untuk tambang dan captive power plants (pembangkit listrik mandiri) berbasis batu bara justru berkembang di kawasan industri untuk mendukung smelter-smelter “energi hijau” tersebut.

Secara politik, tidak ada insentif bagi pemimpin di Asia Tenggara untuk memperlambat laju ini. Mengapa? Karena konstituen mereka, rakyat yang membutuhkan pekerjaan, tidak menuntut udara bersih sebagai prioritas utama dibandingkan kebutuhan dasar.

Narasi yang dibangun oleh para pemimpin Global South di tahun 2025 sangat tegas: “Barat sudah menghabiskan jatah karbon mereka untuk menjadi kaya selama dua abad. Sekarang giliran kami. Jangan ajari kami soal lingkungan jika kalian tidak mau membiayai transisinya.”

Ketidakadilan Ekonomi Global

Sikap ini terlihat jelas dari lambatnya pelaksanaan skema pendanaan transisi energi, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga tahun 2025, dana murah yang dijanjikan negara maju belum cair dalam jumlah signifikan, membuat negara berkembang merasa memiliki legitimasi moral untuk menunda pensiun dini PLTU batu bara mereka. Ini bukan penolakan terhadap sains iklim, melainkan penolakan terhadap ketidakadilan ekonomi global.

Perbandingan antara Eropa dan Asia Tenggara ini membawa pada inti persoalan politik tahun 2025: hilangnya konsensus global tentang bagaimana transisi energi harus dilakukan.

Era Nasionalisme Iklim

Di tahun-tahun sebelumnya, terdapat kepercayaan pada diplomasi iklim multilateral (seperti COP). Namun di tahun 2025, diplomasi tersebut terasa semakin kosong. Kini, kita hidup di era climate nationalism (nasionalisme iklim).

1. Proteksionisme hijau: AS dan Eropa menerapkan tarif karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) yang bertujuan melindungi industri hijau mereka, tapi dilihat oleh negara berkembang sebagai taktik dagang untuk memblokir ekspor dari negara miskin.

2. Perebutan sumber daya: Negara-negara bersaing mengamankan pasokan mineral kritis. Politik luar negeri tidak lagi didorong oleh “siapa yang paling hijau”, tetapi “siapa yang menguasai litium dan nikel”.

Polarisasi Isu Lingkungan

Akibatnya, isu lingkungan menjadi sangat terpolarisasi. Di tingkat domestik, ia memecah belah pemilih (desa vs kota dan tua vs muda). Di tingkat internasional, ia memperlebar jurang Utara-Selatan.

Apakah ini berarti agenda transisi energi telah mati di tahun 2025? Tentu tidak. Namun, sifatnya telah berubah total. Era “Romantisme Iklim”—di mana terdapat kepercayaan bahwa menyelamatkan bumi bisa dilakukan hanya dengan niat baik dan kampanye media sosial—telah berakhir.

Pendekatan Baru yang Dibutuhkan

Politik tahun 2025 menuntut pendekatan baru yang lebih transaksional dan realistis.

Pertama, bagi para pembuat kebijakan, pesan dari fenomena Greenlash ini jelas: kebijakan iklim harus terasa adil secara ekonomi bagi rakyat biasa. Jika pajak karbon membuat harga BBM naik, harus ada subsidi langsung (BLT) yang diberikan segera. Tanpa kompensasi ekonomi langsung, kebijakan hijau akan selalu kalah oleh populisme.

Kedua, bagi aktivis dan masyarakat sipil, strategi “mempermalukan” (shaming) pemerintah atau korporasi sudah tidak lagi efektif. Publik sudah kebal (fatigue). Narasi harus diubah dari “mencegah kiamat” menjadi “keuntungan ekonomi”. Transisi energi harus dipromosikan sebagai peluang bisnis, peluang kerja, dan kedaulatan energi, bukan semata-mata sebagai kewajiban moral.

Ketiga, dalam konteks Indonesia, pemerintah perlu jujur. Mengejar pertumbuhan ekonomi 8% sambil menjanjikan penurunan emisi drastis merupakan matematika yang sulit jika tidak mustahil, tanpa bantuan teknologi dan dana masif. Tahun 2025 menuntut transparansi mengenai trade-off (imbal balik) yang harus diambil: apa yang harus dikorbankan demi status negara maju?

Tahun Kalibrasi Ulang

Saat melihat kembali tahun 2025, kita akan mengingatnya sebagai tahun “kalibrasi ulang”. Greenlash bukanlah tanda bahwa manusia ingin menghancurkan buminya sendiri, melainkan mekanisme koreksi dari sistem demokrasi dan ekonomi yang merasa terbebani di luar batas kemampuannya.

Perbandingan politik antara kegelisahan Eropa dan ambisi Asia Tenggara mengajarkan satu hal: “Perut dan Paru-Paru” sama pentingnya bagi tubuh manusia. Selama ini, narasi politik global terlalu fokus pada paru-paru (emisi) dan melupakan perut (ekonomi rakyat).

Tahun 2025 memaksa untuk menyeimbangkan keduanya kembali. Jalan menuju masa depan hijau ternyata tidak semulus jalan tol; ia mendaki, berbatu, dan yang paling penting, ia mahal. Dan di tahun ini, tagihannya telah datang, menuntut untuk dibayar, baik secara tunai maupun secara elektoral.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *