Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung memerintahkan pemerintahannya untuk mempertimbangkan perluasan cakupan asuransi kesehatan agar mencakup perawatan rambut rontok. Menurutnya, masalah kebotakan merupakan persoalan kelangsungan hidup, bukan sekadar masalah kosmetik bagi generasi muda.
Berdasarkan laporan The Guardian pada Sabtu (20/12), usulan tersebut diumumkan dalam pengarahan kebijakan pada Selasa (16/12). Apabila diterapkan, asuransi kesehatan akan memperluas cakupan di luar perawatan medis terbatas yang saat ini tersedia untuk jenis rambut rontok tertentu. Namun, rencana Lee ini menuai reaksi keras dari kalangan profesional kesehatan dan tokoh konservatif.
Sistem Asuransi Kesehatan Korea Selatan
Korea Selatan mengoperasikan skema asuransi universal yang didanai melalui premi berdasarkan pendapatan. Saat ini, skema asuransi hanya mencakup rambut rontok yang disebabkan oleh alasan medis seperti alopecia areata—kondisi autoimun yang menyerang folikel rambut dan menyebabkan kebotakan. Sebagian besar perawatan untuk kebotakan pria umum tetap berada di luar cakupan asuransi.
Lee menyatakan bahwa perasaan keterasingan di kalangan pria akibat masalah ini semakin serius.
Presiden pertama kali mengusulkan kebijakan ini ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum 2022. Namun, kebijakan tersebut dihapus dari kampanye pemilu yang memenangkannya tahun ini.
Budaya Penampilan dan Tekanan Sosial
Usulan ini menggarisbawahi budaya Korea Selatan yang sangat menekankan penampilan fisik. Dalam survei 2024 terhadap anak muda, 98% responden percaya bahwa orang yang menarik secara fisik menerima manfaat sosial.
Tekanan budaya ini sangat menuntut dan akut bagi perempuan, yang menghadapi ekspektasi ketat terkait riasan, perawatan kulit, dan bentuk tubuh. Sementara bagi laki-laki, isu ini jarang dibicarakan secara terbuka. Namun, beberapa pria dengan garis rambut yang menipis memilih untuk memanjangkan poni guna menyamarkan kerontokan rambut, atau mencari perawatan dengan biaya mahal.
Pasar perawatan rambut rontok di Korea Selatan diperkirakan bernilai sekitar 188 miliar won pada 2024. Kelompok industri mengklaim bahwa dari populasi lebih dari 51 juta, sekitar 10 juta orang mengalami rambut rontok meskipun angka ini belum pernah diverifikasi secara resmi.
Shampo untuk mengatasi rambut rontok sangat populer, meskipun dalam beberapa tahun terakhir sejumlah produk mendapat kritik atas klaim efektivitasnya.
Tekanan Keuangan dan Reaksi Publik
Waktu pengajuan usulan Lee ini sangat sensitif karena sistem asuransi kesehatan Korea Selatan menghadapi tekanan keuangan yang meningkat. Dalam proyeksi internal baru-baru ini, asuransi bisa menghadapi defisit sebesar 4,1 triliun won pada 2026.
Ahli medis di Korea Selatan skeptis terhadap gagasan Lee tersebut. Asosiasi Kesehatan Korea bahkan menilai bahwa alih-alih menginvestasikan dana asuransi kesehatan untuk perawatan rambut rontok, memprioritaskan perawatan kanker dan penyakit serius lainnya lebih sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi kesehatan.
Media konservatif seperti Chosun Ilbo dalam editorialnya menyebut bahwa masalah ini bukan sesuatu yang seharusnya diinstruksikan tiba-tiba oleh presiden tanpa mengumpulkan pendapat dari masyarakat yang membayar premi asuransi.
Menteri Kesehatan Jeong Eun Kyeong tampak hati-hati dalam menanggapi usulan Lee. Menurutnya, usulan Lee itu merujuk pada kepercayaan diri anak muda selama mencari pekerjaan dan dampaknya pada kesehatan mental.
Sementara mantan anggota parlemen yang konservatif, Yoon Hee-sook, menulis di Facebook bahwa dia bersimpati dengan anak muda yang stres karena rambut rontok.
“Meski demikian, memprioritaskan perawatan yang berhubungan langsung dengan kehidupan dan fungsi tubuh mewakili konsensus sosial saat ini,” katanya.
Anggota parlemen dari partai penguasa, Park Joo-min, mengunggah di X “Benar-benar Korea!” sebagai bentuk dukungan. Dia secara terbuka mendiskusikan prosedur transplantasi rambutnya dan dikenal karena advokasinya terkait masalah kerontokan rambut.
Secara terpisah pada Jumat (19/12), Lee menginstruksikan komisi perdagangan untuk menyelidiki harga pembalut menstruasi. Dia mengklaim harga pembalut 39% lebih mahal dibandingkan negara-negara lain karena kemungkinan praktik monopoli.