Banyak orang penasaran mengapa remaja yang mengalami kekerasan cenderung memilih untuk bungkam. Pertanyaan ini kerap disampaikan dengan nada keheranan, seakan-akan mengungkapkan pengalaman tersebut merupakan pilihan yang sederhana. Padahal, bagi sejumlah remaja, diam justru menjadi strategi bertahan hidup yang paling aman.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, tingkat kekerasan terhadap anak dan remaja di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan kenaikan kasus sepanjang periode 2023 hingga 2025, mencakup kekerasan fisik, perundungan, hingga kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri juga mencatat bahwa pada 2024–2025, sekitar 70 persen korban kekerasan seksual berasal dari kelompok usia anak dan remaja.
Fenomena Kekerasan yang Tidak Tercatat
Namun, angka-angka statistik tersebut hanya menggambarkan sebagian kecil dari realita. Banyak kasus tidak pernah terdokumentasi karena diselesaikan secara internal dalam keluarga, ditutupi demi menjaga reputasi, atau dianggap selesai tanpa proses pemulihan yang memadai.
Tulisan ini berfokus pada kelompok remaja—usia yang sering terlihat tampak baik-baik saja, namun menyimpan pengalaman traumatis tanpa memiliki ruang aman untuk berbagi cerita.
Ada persepsi umum bahwa jika kekerasan yang dialami benar-benar serius, korban pasti akan mengungkapkannya. Kenyataannya, bagi remaja, diam sering kali merupakan strategi bertahan hidup. Bukan karena mereka tidak merasakan penderitaan, melainkan karena lingkungan sekitar belum siap untuk mendengarkan.
Proses Emosional Remaja
Pada usia ini, remaja masih dalam proses memahami emosi dan menafsirkan berbagai pengalaman hidup. Ketika lingkungan memberikan sinyal bahwa cerita mereka akan diragukan atau dianggap berlebihan, pilihan untuk diam terasa lebih masuk akal.
Beberapa faktor yang umum menjadi alasan antara lain:
Pertama, ketakutan untuk disalahkan. Respons seperti ‘terlalu sensitif’ atau ‘jangan lebay’ membuat remaja ragu untuk membuka diri.
Kedua, kekhawatiran mempermalukan keluarga. Rasa takut dianggap membawa aib, terutama jika pelaku merupakan sosok yang dihormati, menyebabkan banyak kasus sengaja ditutupi.
Ketiga, pengalaman diabaikan sebelumnya. Keluhan mengenai perundungan atau kekerasan verbal sering kali dianggap sebagai candaan atau hal sepele.
Keempat, tidak memiliki kosakata yang tepat. Banyak remaja merasakan ada sesuatu yang salah, tetapi tidak tahu cara mengungkapkannya. Akibatnya, pengalaman mereka sering dianggap mengada-ada.
Ironi Ruang yang Seharusnya Aman
Ironisnya, kekerasan sering terjadi di tempat-tempat yang seharusnya memberikan rasa aman—rumah, sekolah, atau komunitas. Ketika lingkungan tidak menunjukkan kepekaan, remaja belajar bahwa melapor dianggap berlebihan, sementara perasaan mereka dianggap tidak penting.
Tidak semua orang dapat berperan sebagai psikolog atau pekerja sosial. Namun, setiap individu dapat memulai dengan hal paling mendasar: mendengarkan tanpa memberikan penilaian.
Di saat belum ada orang dewasa yang siap membantu, menulis dapat menjadi ruang aman yang sederhana. Menulis memberikan jarak dari penilaian orang lain, kebebasan memilih kata-kata, dan ruang untuk memahami pengalaman pribadi. Bagi remaja, menulis bukan sekadar tugas akademis, melainkan cara untuk tetap bersuara ketika berbicara terasa terlalu berisiko.
Tulisan ini menjadi ajakan untuk meningkatkan kepekaan dan kehadiran kita. Karena suara yang tidak terdengar, bukan berarti tidak ada. Mereka berhak tumbuh dengan rasa aman.