Fenomena ini tidak terbatas pada satu jenjang pendidikan atau wilayah tertentu. Baik di sekolah menengah maupun perguruan tinggi, rasa kantuk di ruang belajar seakan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Padahal, di luar lingkungan kelas, para pelajar tampak aktif bahkan berdiskusi di media sosial, mengikuti isu terkini, hingga mampu menyerap informasi dengan cepat dari berbagai platform digital. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya mungkin tidak hanya terletak pada minat belajar peserta didik, tetapi pada metode pembelajaran yang diterapkan di ruang kelas.
Dalam praktik sehari-hari, proses belajar mengajar di kelas masih sering berlangsung secara satu arah. Guru menyampaikan materi, siswa mendengarkan, mencatat, kemudian diuji. Pola ini efisien dari sisi penyampaian konten, tetapi sering kali minim interaksi dan dialog.
Dalam kurikulum saat ini, penerapan sistem pembelajaran juga terkadang masih terkesan monoton karena hanya menampilkan presentasi antarkelompok sehingga peserta didik sering kehilangan fokus. Akibatnya, siswa hadir secara fisik, tetapi tidak sepenuhnya terlibat secara mental. Dalam kondisi seperti ini, rasa lelah dan kantuk menjadi respons yang hampir tak terhindarkan.
Dalam perspektif Paulo Freire, pola pembelajaran semacam ini disebut “banking education”, yaitu pendidikan yang memposisikan siswa sebagai penerima pengetahuan pasif, seolah-olah kepala mereka adalah “rekening kosong” yang harus diisi.
Banking education ini merujuk pada pengetahuan yang dipindahkan guru ke siswa tanpa dialog. Siswa dituntut menghafal bukan memahami dan menerima bukan mempertanyakan. Proses belajar menjadi rutinitas yang mekanis, bukan pengalaman yang bermakna.
Fenomena ini menunjukkan siswa yang mengantuk di kelas bukan semata karena malas atau tidak disiplin, melainkan karena mereka tidak diajak terlibat secara aktif dalam proses belajar. Ketika peserta didik tidak diberi ruang untuk mengaitkan materi dengan realitas hidupnya, belajar kehilangan daya tariknya.
Salah satu contoh dari peristiwa ini biasanya terjadi saat jam mata pelajaran terakhir. Guru menyampaikan materi teori selama hampir satu jam penuh dengan metode ceramah. Beberapa siswa berusaha bertahan, sebagian mulai kehilangan fokus, dan tidak sedikit yang akhirnya tertidur. Padahal, di luar kelas, siswa yang sama mampu berjam-jam fokus menonton video edukasi atau berdiskusi daring.
Freire mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya memanusiakan peserta didik sebagai subjek yang berpikir. Ketika ruang kelas tidak memberi ruang dialog, siswa cenderung menarik diri secara pasif. Tidur di kelas dalam konteks ini dapat dibaca sebagai bentuk ketidakterlibatan, bukan pembangkangan.
Hal ini tentu bukan berarti guru menjadi pihak yang harus disalahkan. Banyak pendidik bekerja dalam sistem kurikulum yang padat, target materi yang ketat, serta keterbatasan waktu dan fasilitas. Namun, fenomena siswa mengantuk tetap menjadi sinyal penting bahwa pola pembelajaran perlu dievaluasi.
Mengatasi masalah ini bukan soal memperketat aturan atau menambah hukuman bagi siswa yang tertidur di kelas. Solusi yang lebih berkelanjutan adalah membangun pembelajaran yang lebih dialogis dan relevan dengan kehidupan peserta didik.
Mengaitkan materi dengan isu sehari-hari, memberi ruang diskusi, mendorong siswa bertanya dan berpendapat, serta memandang mereka sebagai subjek aktif dalam proses belajar dapat membantu menghidupkan kembali suasana kelas. Dengan cara ini, belajar tidak lagi menjadi aktivitas yang melelahkan, melainkan proses yang membangkitkan rasa ingin tahu.
Freire menyebut pendidikan semacam ini sebagai pendidikan yang membangunkan kesadaran, bukan sekadar memindahkan pengetahuan tetapi mengajak peserta didik memahami dunia dan posisinya di dalamnya.
Fenomena siswa yang mudah mengantuk di kelas seharusnya tidak dilihat semata sebagai masalah kedisiplinan individu. Ia bisa menjadi cermin dari praktik pendidikan yang masih terlalu menekankan penyampaian materi dibanding keterlibatan peserta didik.
Jika ruang kelas mampu menjadi tempat dialog dan refleksi, belajar tidak lagi membuat siswa tertidur. Sebaliknya, pendidikan dapat kembali menjadi proses yang hidup, relevan, dan bermakna bagi mereka yang menjalaninya.