Bambang Saparyono sudah berusia 69 tahun dan merupakan pensiunan PNS Balai Kota Yogyakarta. Meski rambutnya telah memutih, kondisi fisiknya tetap terlihat segar dan bugar.
Usia yang tidak lagi muda tidak menjadi penghalang bagi Bambang untuk terus mengayuh sepeda onthel miliknya. Setiap kayuhan pedal mengandung misi yang terus diperjuangkan: melestarikan Bahasa Jawa.
Aktivitas Rutin di Titik Nol Yogyakarta
Tiga hari dalam seminggu, yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu, Bambang selalu mangkal di kawasan Titik Nol Yogyakarta. Lokasinya tepat di depan antara Benteng Vredeburg dan Gedung Agung Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Dia bersepeda dari rumahnya di daerah Loano yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Titik Nol Yogyakarta.
Seperti pada Sabtu (20/12), di tengah keramaian wisatawan yang mulai berdatangan ke Yogyakarta menjelang akhir tahun, Bambang tetap konsisten dengan perjuangannya.
Sepeda onthel diparkirkan, sementara di jok belakang terdapat rak berisi deretan novel dan cerita cekak (cerkak) atau cerita pendek dalam Bahasa Jawa. Buku-buku tersebut merupakan karya Bambang yang ditulisnya secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Siapa pun diperbolehkan membacanya secara gratis.
Kehadiran sepeda onthel dan buku-buku ini menarik perhatian pengunjung Malioboro dan kawasan titik nol. Sebagian tertarik membaca, sementara yang lain menjadikannya properti foto. Setidaknya ini merupakan upaya Bambang untuk terus melestarikan bahasa ibunya.
Perjalanan Menulis dan Kepedulian terhadap Bahasa Jawa
Bambang bercerita bahwa dirinya gemar menulis sejak berkuliah di jurusan Farmasi UGM. Pada masa muda, tulisannya sering dimuat di rubrik opini koran.
Namun, menulis dalam Bahasa Jawa baru dimulai sekitar tahun 2021.
“Saya bikin cerita cekak, cerita pendek. Lalu saya posting di Facebook,” kisahnya.
Tulisan ini tidak muncul begitu saja. Pada suatu momen, hati Bambang tersentuh ketika melihat anak-anak tidak dapat menggunakan Bahasa Jawa krama atau halus dengan baik dan benar.
“Ketika saya di masjid itu, anak-anak ngajak ngobrol saya ngoko (Bahasa Jawa tingkatan rendah yang harusnya digunakan pada orang sebaya). Tergerak lah hati saya,” katanya.
Cerita cekak di Facebook digabungkan dengan kejadian di masjid tersebut. Tulisan di Facebook semakin berkembang, terutama berkaitan dengan unggah-ungguh basa.
“Sudah saya arahkan seseorang harus basa (berbahasa krama) dengan siapa, dengan bahasa bagaimana,” bebernya.
Dalam tulisannya, Bambang harus berperan sebagai manusia dengan berbagai usia. Tulisannya memberikan pencerahan tentang cara anak-anak berbahasa kepada yang lebih tua, cara orang dewasa berbahasa Jawa, serta cara orang tua menggunakan Bahasa Jawa.
“Maksudnya ke orang yang lebih tua halus. Kalau ke orang yang setara (usianya) bahasa Jawa biasa. Kalau anak kecil lebih halus (bahasanya) tapi yang diharuskan diri sendiri karena tujuannya untuk memberikan dia contoh,” katanya.
Dalam setiap tulisannya, Bambang selalu menggunakan latar belakang Yogyakarta sehingga dialek yang ditulis tetap merupakan dialek Yogyakarta.
Penerbitan Buku dan Penghargaan
Dari postingan Facebook tersebut, banyak orang yang tertarik. Bambang kemudian menerbitkan tulisannya. Total sudah ada tujuh buku yang diterbitkan, di antaranya berjudul Liburan Menyang Desa, Ati Dudu Watu, Mekaring Tembang Tresna, hingga Ontran-ontran Pucanganom.
Bahkan cerita cekak berjudul Warnaning Urip dianugerahi penghargaan oleh Balai Bahasa DIY untuk kategori Sastra Jawa 2024. Buku berjudul Aja Ambeg-Siya juga memenangkan penghargaan.
Tema tulisan Bambang bermacam-macam, mulai dari keluarga, anak-anak, klasik, kumpulan cerita pendek, hingga remaja.
“Semua saya coba,” bebernya.
Buku-buku ini dicetak secara independen ke berbagai penerbit. Dia mengeluarkan Rp 3 juta untuk 50 eksemplar. Bambang tidak mencari keuntungan, murni ingin melestarikan bahasa yang dicintainya.
“Satu diambil alih Balai Bahasa. Karena kemarin menang hak ciptanya diambil alih judul Aja Ambeg-Siya itu cerita untuk anak dwibahasa. Cerita bergambar,” katanya.
Bambang selalu konsisten menulis. Setiap Jumat sore dia memposting satu episode. Dalam satu tahun terkumpul 52 episode, setara dengan dua buku.
Inisiatif Memberi Bacaan Gratis
Aktivitas memberikan bacaan gratis dimulai pada Maret 2024.
Awalnya Bambang ngepos di Alun-alun Kidul. Banyak orang di sana tetapi tidak berhenti dan membaca buku.
Dia kemudian pindah ke depan Malioboro Plaza. Beberapa orang membeli buku Bambang, tetapi tidak ada yang berhenti membaca.
Akhirnya, berdasarkan usul anaknya, dia berpindah ke kawasan Nol Kilometer karena banyak orang yang nongkrong di sana.
“Tidak selalu ada (yang baca). Tapi kadang-kadang bisa sampai lima sampai enam orang. Bacanya cuma sebentar. Tapi ada satu dua orang bacanya ajeg, beberapa hari datang baca satu episode,” bebernya.
Dia menerapkan aturan satu kali baca satu episode dengan tujuan khusus. Aktivitas memberi bacaan gratis ini dilakukan Bambang dari pukul 07.00 sampai 09.00 WIB.
“Biar balik baca lagi. Biar untuk gantian bacanya dengan orang lain,” jelasnya.
Bahkan beberapa orang dari luar Yogyakarta juga tertarik membaca. Ini menjadi kebahagiaan bagi Bambang karena bisa mengenalkan Bahasa Jawa.
Ketika banyak anak sekolah berkunjung ke Benteng Vredeburg, Bambang juga tidak segan menawari mereka membaca bukunya. Beberapa anak mengalami kesulitan membedakan antara “a” dan “o” dalam Bahasa Jawa.
Kelak, buku yang disusun Bambang akan memuat pembelajaran tentang pelafalan Bahasa Jawa yang benar.
“Sedang saya susun baru sampai bab 10. Nggak tak buat panjang biar nggak bosen anak-anak,” jelasnya.
Bambang mengaku akan terus konsisten menulis. Dirinya juga akan terus membagikan bacaan gratis. Melalui cara-cara ini dia ingin terus memberikan kontribusi pada kelestarian Bahasa Jawa.