Di wilayah Morowali, dampak industri tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik pekerja lokal, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang nyata. Ketimpangan tersebut bukan sekadar teori akademis, melainkan realitas sehari-hari yang diperkuat melalui keberadaan landasan pacu ‘Bandara Khusus’ di kawasan industri.
Dalam percakapan lanjutan dengan mantan petugas bandara yang lebih memilih hidup sederhana, pembahasan beralih ke isu yang lebih mendalam. Dialog kali ini terjadi dengan suasana yang lebih muram, sambil menyimak video viral lama tentang kerusuhan antar pekerja di sebuah fasilitas pengolahan logam.
Bandara sebagai Simbol Segregasi
“Kau pikir kerusuhan itu tiba-tiba meledak karena salah paham bahasa?” tanya Rendi retoris. “Salah besar. Itu akumulasi. Dan pemicu utamanya, percaya atau nggak, dimulai dari bandara itu.”
Menurut perspektif Rendi, Bandara Khusus industri merupakan representasi paling jelas dari pemisahan sosial.
“Bayangkan, Bro,” Rendi memulai. “Pekerja kita, si Asep atau si Udin, datang dari Jawa atau Sulawesi naik kapal laut berjam-jam, lanjut bus lewat jalan rusak berdebu, tidur berdesakan di kos-kosan warga. Mereka harus antre lamaran, tes fisik, tes urin, sampai tes kesabaran.”
“Sementara itu,” suaranya meninggi, “Para Tenaga Kerja Asing (TKA) ini mendarat di bandara khusus. Disambut bak raja. Langsung masuk bus ber-AC, diantar ke mess eksklusif yang pagarnya tinggi. Mereka nggak nginjak tanah becek yang diinjak pekerja kita. Dari awal datang saja, kasta itu sudah dibentuk. Bandara itu adalah gerbang privilege.”
Masalah Transfer Pengetahuan dan Ekonomi Tertutup
Fasilitas bandara ini menghambat proses integrasi sosial. Tenaga kerja asing langsung masuk ke lingkungan perusahaan tanpa interaksi dengan masyarakat sekitar, menciptakan perasaan eksklusivitas dan mentalitas ‘Kami vs Mereka’.
Salah satu alasan pemerintah mengizinkan masuknya tenaga kerja asing adalah Transfer of Knowledge (ToK), dengan asumsi kedatangan insinyur ahli yang akan membagikan keahlian kepada pekerja lokal.
“Bulshit,” umpat Rendi pelan.
“Karena pengawasan Imigrasi di bandara khusus itu longgar (atau dilonggarkan), kita nggak pernah benar-benar tahu kualifikasi mereka. Di manifest tertulis ‘Mechanical Engineer’, tapi pas di lapangan pegangnya sekop juga. Kerjanya ngangkat barang juga. Pekerjaan kasar yang harusnya jatah warga lokal, diambil sama mereka.”
Inilah yang menjadi sumber ketegangan laten. Pekerja lokal melihat tenaga kerja asing melakukan pekerjaan serupa, dengan keterampilan yang terkadang lebih rendah (bahkan tanpa kemampuan berbahasa Inggris atau Indonesia), namun menerima upah 3 hingga 4 kali lebih tinggi.
“Cemburu itu manusiawi, Bro. Tapi kalau cemburu itu dipelihara lewat sistem yang diskriminatif, itu namanya mengundang bencana. Bandara hantu itu memfasilitasi masuknya unskilled labor asing yang menyamar jadi ahli, yang akhirnya merebut periuk nasi buruh kasar kita.”
Aspek lain yang sering terlewatkan dalam analisis ekonomi makro adalah hilangnya potensi ekonomi mikro di sekitar area pertambangan akibat sistem ‘Ekonomi Tertutup’.
Rendi menjelaskan, “Logikanya, ada ribuan orang asing datang, warung makan di sekitar harusnya laku keras. Tukang ojek panen. Tapi nyatanya?”
Hening sejenak.
“Bandara khusus itu bukan cuma buat angkut orang, tapi juga logistik pangan mereka. Sayur mereka, bumbu mereka, bahkan rokok dan minuman mereka, seringkali diterbangkan langsung atau via kargo khusus. Mereka hidup dalam bubble. Makan di kantin sendiri, tidur di mess sendiri. Duit gaji mereka nggak berputar di pasar Morowali, tapi langsung ditransfer balik ke negara asal.”
Peringatan dan Solusi
Masyarakat lokal hanya mendapatkan dampak negatif seperti debu dan limbah, sementara manfaat ekonomi utama beredar di dalam kompleks tertutup dengan pasokan logistik melalui jalur udara yang tidak terjangkau.
Menjelang akhir percakapan, Rendi memberikan peringatan serius.
“Konflik fisik antar pekerja itu cuma gejala. Penyakit utamanya adalah negara yang membiarkan dirinya tidak berdaya. Kalau besok ada gesekan kecil—senggolan di kantin, atau teriakan kasar—itu bisa jadi pemicu kerusuhan besar karena dendam yang menumpuk soal gaji dan perlakuan istimewa tadi.”
Jika Bandara Khusus ini terus beroperasi tanpa pengawasan ketat:
- Potensi Konflik Horizontal: Gesekan antara pekerja lokal dan asing akan tetap menjadi ancaman laten.
- Kriminalitas Lintas Batas: Tanpa pemeriksaan ketat, tidak ada jaminan tidak adanya penyusupan orang dengan catatan kriminal (teroris atau buronan internasional) yang menyamar sebagai pekerja tambang.
- Pelemahan Profesi: Insinyur lokal lulusan universitas terkemuka di Indonesia sering harus tunduk pada pengawas asing dengan kualifikasi meragukan, hanya karena berasal dari ‘Negara Investor’.
“Solusinya?” tanya saya.
“Bubarkan eksklusivitas itu,” tegas Rendi. “Paksa TKA lewat terminal umum sesekali. Biar diperiksa dokumen aslinya. Biar Imigrasi kita bisa tatap muka dan tanya skill mereka. Dan yang terpenting, samakan standar. Jangan ada ‘Karpet Merah’ di bandara khusus kalau di bawahnya ada ‘Karpet Bara Api’ buat pekerja lokal.”
Bandara Morowali mungkin merupakan infrastruktur penting bagi kegiatan bisnis, namun tanpa pengelolaan transparan dan berkeadilan, fasilitas tersebut hanya menjadi monumen ketimpangan yang menunggu waktu untuk meledak.
Ketika hal itu terjadi, jangan bertanya siapa yang bersalah. Tanyakan kepada mereka yang memberikan izin pendaratan tanpa verifikasi: “Siapa kau, dan apa maumu di tanah kami?”