Posted in

Bayang Feodalisme dalam Lingkungan Pesantren: Tradisi Berhadapan dengan Transformasi

Dalam persepsi masyarakat luas, pesantren sering dikaitkan dengan kesederhanaan, keikhlasan, serta adab santri terhadap kiai. Hubungan antara kiai dan santri umumnya digambarkan sebagai relasi yang penuh dengan kecintaan terhadap ilmu: santri bersowan, mencium tangan, dan patuh terhadap nasihat gurunya. Di ruang publik, pesantren dipuji sebagai benteng moral dan penjaga tradisi keilmuan Islam di tengah perubahan sosial yang berlangsung cepat.

Namun, di balik narasi ideal tersebut, terdapat dinamika kekuasaan yang tidak selalu dibahas secara terbuka. Ketika penghormatan berubah menjadi ketakutan, ketika kepatuhan menutup ruang untuk berpikir kritis, dan ketika figur kiai menjadi pusat segala keputusan, muncul pertanyaan: Apakah di sana tersembunyi bayang-bayang feodalisme yang perlu dikaji ulang? Pertanyaan ini penting diajukan; bukan untuk menjatuhkan pesantren, melainkan untuk merawatnya agar tetap relevan dan adil bagi semua yang berada di dalamnya.

Memahami Konsep Feodalisme dalam Konteks Modern

Istilah feodalisme biasanya digunakan untuk menggambarkan struktur sosial yang bertumpu pada kekuasaan segelintir elite, patronase, serta kepatuhan yang hampir tanpa ruang untuk keberatan. Dalam konteks modern, feodalisme dapat muncul dalam bentuk relasi yang terlalu hierarkis di mana suara dari pihak bawah sulit naik ke atas dan kritik mudah dilabeli sebagai pembangkangan.

Dalam beberapa praktik, pola seperti ini dapat muncul di lingkungan pesantren. Figur kiai bukan hanya berperan sebagai guru agama, melainkan juga sebagai pengendali penuh hampir semua aspek: mulai dari kurikulum hingga urusan pribadi santri dan pengurus.

Ada situasi ketika keputusan kiai dianggap final dalam segala hal, meski menyentuh ranah yang seharusnya dapat dimusyawarahkan bersama. Di titik ini, penghormatan yang semula bernilai ibadah berpotensi bergeser menjadi pola relasi yang feodal.

Kepatuhan versus Feodalisme dalam Tradisi Pesantren

Tentu tidak adil jika setiap bentuk kepatuhan santri langsung diberi label feodalisme. Dalam tradisi pesantren, penghormatan kepada kiai berakar pada konsep adab dan sanad keilmuan. Santri diajarkan bahwa ilmu tidak hanya berpindah melalui teks, tetapi juga melalui keteladanan guru yang menjaga akhlak, lisan, dan amanah.

Otoritas kiai juga tidak muncul begitu saja, melainkan dibangun dari perjalanan panjang belajar, ijazah dari guru-guru sebelumnya, dan pengabdian kepada masyarakat. Kiai menjadi rujukan bukan sekadar karena posisinya di struktur lembaga, melainkan juga karena kedalaman ilmunya. Dalam banyak kasus, kiai tampil sebagai figur yang membela kaum lemah, memediasi konflik warga, dan menggerakkan solidaritas sosial. Sisi inilah yang membuat pesantren tetap dipercaya publik hingga hari ini.

Otoritas Keilmuan versus Otoritarianisme Sosial

Masalah mulai muncul ketika otoritas keilmuan berubah menjadi otoritarianisme sosial. Ada gejala di mana kritik ilmiah dari santri atau alumni dianggap kurang ajar, sekalipun disampaikan dengan bahasa sopan dan berbasis dalil. Di beberapa tempat, penunjukan posisi penting di lingkungan pesantren lebih banyak ditentukan oleh kedekatan emosional daripada kapasitas dan integritas.

Santri atau alumni yang mencoba menawarkan pembaruan sering kali merasa terpinggirkan, bahkan dicap tidak setia. Dalam suasana seperti ini, budaya dialog melemah, sementara budaya “asal ikut saja” menguat. Pola demikian tidak hanya merugikan santri, tetapi juga pesantren itu sendiri karena menutup kesempatan lahirnya ide-ide segar yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.

Tantangan Pesantren di Era Kontemporer

Konteks hari ini berbeda dengan masa lalu. Santri hidup berdampingan dengan gawai, media sosial, dan wacana tentang hak asasi manusia, perlindungan anak, serta akuntabilitas lembaga. Kasus-kasus kekerasan, perundungan, atau penyalahgunaan otoritas di lembaga pendidikan semakin sering diangkat ke ruang publik. Hal ini juga—disadari atau tidak—ikut menyoroti pesantren sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nasional.

Tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas pun makin kuat. Pesantren didorong untuk membenahi tata kelola: dari pengelolaan keuangan, mekanisme pengaduan, hingga sistem rekrutmen pengajar dan pengurus.

Di sisi lain, santri generasi baru semakin berani menyuarakan pengalaman dan kegelisahannya, baik lewat forum internal maupun kanal digital. Jika tidak direspons dengan bijak, suara-suara ini malah bisa menjauhkan santri dari pesantren, padahal mereka adalah aset masa depan lembaga.

Transformasi Menuju Pesantren yang Lebih Terbuka

Dalam situasi ini, yang dibutuhkan bukan penggulingan wibawa kiai, melainkan penataan ulang cara memaknai penghormatan dan ketaatan. Santri tetap diajarkan adab, tetapi juga diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, bahkan berbeda pandangan dalam koridor ilmu. Menghormati guru tidak boleh diartikan sebagai pembenaran terhadap semua hal secara buta.

Generasi muda pesantren yang belajar fikih, hukum, dan ilmu sosial dapat menjadi jembatan antara tradisi dan tuntutan zaman. Mereka dapat membantu merumuskan mekanisme musyawarah, kode etik internal, dan tata kelola yang lebih terbuka, tanpa mencabut akar-akar keikhlasan dan kesederhanaan pesantren. Dengan begitu, relasi kiai–santri bergerak dari sekadar hubungan satu arah menjadi ruang dialog yang saling menguatkan.

Muhasabah untuk Masa Depan Pesantren

Membicarakan “bayang feodalisme” di pesantren tidak berarti menuduh semua pesantren feodal, tetapi mengajak melakukan muhasabah bersama. Lembaga yang selama ini menjadi sumber cahaya ilmu dan akhlak justru makin kuat jika berani melihat sisi-sisi gelap yang mungkin tersembunyi di balik wibawa dan tradisi.

Pesantren yang berani bertransformasi—menyatukan adab, ilmu, dan keterbukaan—akan semakin berdaya di tengah kegaduhan sosial dan politik. Di tangan pesantren yang adil dan transparan, santri tidak hanya menjadi penghafal teks, tetapi juga manusia merdeka yang mampu bersuara, berpikir kritis, dan tetap beradab kepada gurunya. Itulah pesantren yang bukan sekadar bangga dengan masa lalu, melainkan juga siap menyambut masa depan dengan kepala tegak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *