Posted in

Bumi yang Kita Khotbahi, namun Tidak Kita Rawat

Di daerah asal penulis, kondisi sungai saat ini tidak lagi memungkinkan untuk dijadikan cermin. Airnya menjadi keruh, dipenuhi sampah plastik, dan terkadang mengeluarkan aroma tidak sedap yang sumbernya tidak diketahui. Padahal sebelumnya, sungai merupakan tempat anak-anak belajar berenang, para ibu mencuci dengan gembira, dan para ayah memperkirakan musim tanam. Kini, sungai lebih menyerupai tempat penitipan kesalahan kolektif: semua orang membuang sampah, namun tidak ada yang mau bertanggung jawab.

Masyarakat sering mengutuk banjir, tanah longsor, dan cuaca yang semakin tidak dapat diprediksi. Namun, jarang sekali muncul pertanyaan jujur: Apakah bencana tersebut benar-benar datang dengan sendirinya, atau justru manusia yang terlalu aktif mengundangnya? Penebangan dilakukan dengan semangat, penimbunan dengan bangga, kemudian heran ketika alam menagih dengan cara yang tidak bersahabat.

Nasihat Moral yang Tidak Diimplementasikan

Yang menarik, negara ini tidak kekurangan nasihat moral. Mimbar-mimbar penuh dengan khotbah, buku-buku agama dicetak dalam jumlah banyak, dan ayat suci dikutip di berbagai tempat. Sayangnya, bumi jarang menjadi perhatian utama. Alam lebih sering diperlakukan sebagai properti, bukan sebagai amanah yang harus dijaga.

Dalam tradisi Islam, hubungan antara manusia dan alam sebenarnya cukup sederhana namun tegas: manusia bukan pemilik mutlak, melainkan penjaga. Alam bukan barang yang dapat habis digunakan, melainkan titipan yang harus dirawat.

Ilustrasi hutan lebat Papua. Foto: Shutterstock

Namun sayangnya, dalam praktik sehari-hari, manusia lebih sering bertindak seperti pewaris yang serakah daripada penjaga yang bertanggung jawab. Pengambilan sumber daya dilakukan seolah-olah tidak akan pernah diminta pertanggungjawabannya.

Masyarakat gemar menyebut pembangunan sebagai kemajuan, tanpa sempat bertanya siapa yang benar-benar maju dan siapa yang tertinggal. Ketika hutan digunduli, disebut sebagai investasi. Ketika sungai tercemar, disebut sebagai konsekuensi. Bahasa seringkali digunakan untuk memperindah luka agar tampak seperti prestasi. Dan karena sudah lama diperindah, luka tersebut dianggap sebagai hal yang wajar.

Normalisasi Kerusakan Lingkungan

Mungkin inilah masalah terbesar yang dihadapi: kerusakan lingkungan telah dinormalisasi. Hal ini tidak lagi dirasakan sebagai kesalahan moral, melainkan hanya sekadar statistik. Pembicaraan lebih banyak tentang hektare, ton, dan persentase, namun lupa menyebutkan rasa bersalah. Padahal dalam etika Islam, merusak keseimbangan alam merupakan persoalan akhlak, bukan sekadar masalah teknis.

Islam sangat berhati-hati terhadap sikap berlebihan. Bahkan dalam hal yang diperbolehkan sekalipun, terdapat peringatan agar tidak melampaui batas. Namun, keserakahan seringkali pandai menyamar sebagai kebutuhan. Eksploitasi dibungkus dengan narasi kesejahteraan, sementara dampaknya dititipkan kepada generasi yang belum sempat menyuarakan protes.

Foto udara kondisi tutupan hutan mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera yang sebagiannya telah beralih fungsi. Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Yang ironis, masyarakat kecil sering menjadi pihak yang paling awal merasakan dampaknya. Ketika banjir datang, yang tenggelam bukan gedung-gedung tinggi, melainkan rumah-rumah sederhana. Ketika tanah longsor terjadi, yang kehilangan bukanlah para pemodal besar, melainkan petani dan warga desa. Alam seakan memilih untuk menagih kepada mereka yang paling sedikit menikmati hasil dari perusakan.

Pada titik ini, agama seharusnya hadir bukan sebagai pengeras suara, melainkan sebagai pengingat nurani. Bukan dengan vonis halal-haram yang kaku, melainkan dengan kesadaran bahwa setiap tindakan terhadap alam merupakan tindakan moral. Merusak lingkungan bukan sekadar melanggar aturan, melainkan juga mengkhianati amanah yang diberikan.

Perubahan Cara Pandang terhadap Alam

Mungkin diperlukan perubahan cara pandang. Alam bukan objek ceramah, melainkan subjek yang ikut menentukan masa depan manusia. Menjaga lingkungan bukan tren hijau atau proyek musiman, melainkan bagian dari tanggung jawab spiritual. Ibadah tidak berhenti di sajadah; ia berlanjut pada cara manusia memperlakukan tanah, air, dan udara.

Pada akhirnya, masalah lingkungan bukan karena manusia kurang pintar, melainkan karena terlalu sering lupa. Lupa bahwa bumi juga memiliki hak untuk bernapas, lupa bahwa pembangunan tanpa kebijaksanaan hanyalah cara lain untuk mempercepat penyesalan, dan lupa bahwa agama, sejatinya, tidak pernah mengajarkan manusia untuk menaklukkan alam, tetapi untuk hidup berdamai dengannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *