Posted in

Catahu 2025 AJI Bandar Lampung Soroti Kesejahteraan dan Kriminalisasi Jurnalis

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mencatat kondisi kesejahteraan jurnalis di Lampung masih berada dalam situasi rentan di tengah maraknya kekerasan dan kriminalisasi terhadap pekerja media.

Sepanjang 2025, sebanyak 16 pekerja media mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga total jurnalis yang kehilangan pekerjaan dalam empat tahun terakhir mencapai 72 orang.

Catatan tersebut disampaikan AJI Bandar Lampung dalam Diskusi Publik Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2025 bertema “Ironi Kesejahteraan Jurnalis di Tengah Kekerasan dan Kriminalisasi” yang digelar di Djaya House Cafe & Resto, Bandar Lampung, Selasa (24/12).

Kegiatan dan Penghargaan

Kegiatan ini juga dirangkai dengan penyerahan Anugerah Saidatul Fitriah dan Kamaroeddin.

Koordinator Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandar Lampung Derri Nugraha memaparkan, persoalan utama yang masih dihadapi jurnalis di Lampung adalah lemahnya pemenuhan hak-hak normatif pekerja media.

“Sepanjang 2025 kami mencatat sekitar 16 pekerja media, termasuk jurnalis, mengalami PHK. Angka ini menambah daftar panjang pekerja media yang kehilangan pekerjaan selama empat tahun terakhir, dengan total mencapai 72 orang,” kata Derri.

Ia menjelaskan, dalam sejumlah kasus yang didampingi AJI, perusahaan media melakukan PHK secara sepihak dan tidak memenuhi kewajiban terhadap pekerja.

“Masih ditemukan perusahaan media yang melakukan PHK sepihak dan enggan memberikan pesangon sesuai ketentuan, bahkan tidak memenuhi hak normatif lainnya,” ujar dia.

Peran Negara dan Status Ketenagakerjaan

AJI Bandar Lampung juga menyoroti peran negara dalam menjamin hak-hak pekerja media.

Menurut Derri, masih dipertahankannya Undang-Undang Cipta Kerja berdampak pada ketidakpastian status ketenagakerjaan jurnalis.

“Banyak pekerja media mengalami ketidakjelasan status ketenagakerjaan. Ada yang tidak mendapat perpanjangan kontrak, bahkan ada yang sampai saat ini bekerja tanpa kontrak yang jelas,” ucap Deri.

Selain persoalan ketenagakerjaan, AJI Bandar Lampung juga memaparkan hasil riset terkait kerentanan jurnalis perempuan di Lampung yang dilakukan pada Oktober–November 2025.

Riset tersebut melibatkan 47 jurnalis perempuan dari sekitar 10 kabupaten/kota, antara lain Bandar Lampung, Tanggamus, Way Kanan, Lampung Barat, dan Lampung Utara.

Kondisi Jurnalis Perempuan

“Dari 47 responden, hanya 57,4 persen yang berstatus karyawan tetap. Sementara 25,5 persen masih berstatus kontrak dan 17 persen bekerja sebagai freelance atau kontributor,” kata Derri.

Riset tersebut juga mencatat persoalan jam kerja dan pengupahan. Sebanyak 14 responden mengaku bekerja lebih dari 50 jam per minggu.

“Dengan durasi kerja lebih dari 10 jam per hari, banyak jurnalis perempuan yang menerima gaji di bawah UMP Lampung 2025 sebesar Rp2.893.070,” ujar dia.

Berdasarkan hasil survei, 34 persen responden memperoleh gaji Rp1–2 juta, 6,4 persen menerima gaji di bawah Rp1 juta, dan 34 persen lainnya memperoleh gaji Rp2–3 juta. Sementara itu, hanya 17 persen responden yang menerima gaji Rp3–4 juta per bulan.

“Gaji yang tidak layak itu pun masih harus mengalami pemotongan dan penundaan pembayaran,” kata Derri.

Selain gaji, riset AJI juga mengungkap minimnya jaminan sosial bagi jurnalis perempuan. Sekitar 34 persen media belum menyediakan asuransi kesehatan, dan 42 persen belum mendaftarkan jurnalis perempuan ke Jamsostek.

Diskriminasi dan Pelecehan

Tak hanya menghadapi persoalan kesejahteraan, jurnalis perempuan juga dihadapkan pada diskriminasi dan pelecehan saat menjalankan tugas jurnalistik.

“Hasil riset menunjukkan sebagian besar jurnalis perempuan masih merasakan diskriminasi dalam peliputan. Sebanyak 11 dari 47 responden mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik, maupun melalui media online,” ungkap Derri.

Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma mengatakan, Catahu 2025 menjadi bahan refleksi untuk melihat kondisi dan tantangan jurnalisme di Lampung.

“Catatan akhir tahun ini kami susun untuk melihat bagaimana potret jurnalisme di Lampung selama 2025, termasuk tantangan kekerasan terhadap jurnalis dan hambatan yang dihadapi dalam bekerja,” kata Dian.

Respons Pemerintah dan Kepolisian

Diskusi publik tersebut menghadirkan sejumlah pemantik, di antaranya Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Lampung Ganjar Jationo yang mewakili Wakil Gubernur Lampung, Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun, serta Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas.

Ganjar Jationo menyampaikan, pemerintah perlu melakukan afirmasi terhadap industri pers, mengingat peran strategis pers dalam demokrasi.

“Pers menjalankan fungsi hak-hak dasar manusia, seperti berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat secara tertulis di muka umum. Ini harus terus dijaga,” kata Ganjar.

Menurutnya, di tengah fenomena digital, institusi pers tetap memiliki proses kerja yang tidak sederhana.

“Di pers ada kode etik, ada proses verifikasi, cek data, menghormati narasumber, dan tidak boleh ada kepentingan tertentu di dalamnya,” ujar dia.

Ganjar juga menyinggung aspek kesejahteraan pekerja media.

“Kalau dari segi kesejahteraan, mungkin bisa dipikirkan insentif atau keringanan, misalnya pajak, untuk industri atau perusahaan media. Pemerintah eksekutif pada prinsipnya akan mengikuti regulasi yang ada,” kata dia.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol Yuni Iswandari Yuyun mengimbau jurnalis untuk berani melapor jika mengalami kekerasan atau intimidasi saat bertugas.

“Kalau ada kejadian, ada laporannya atau tidak. Teman-teman jurnalis jangan takut untuk melapor,” kata Yuni.

Ia menegaskan, jurnalis merupakan mitra kepolisian dalam menyampaikan informasi kepada publik.

“Teman-teman jurnalis adalah mitra kami di Polda Lampung, membantu memverifikasi kebenaran peristiwa di lapangan,” ujar dia.

Pentingnya Kode Etik dan Pelaporan

Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas menekankan, pentingnya jurnalis bekerja sesuai kode etik sebagai landasan utama menghadapi ancaman kriminalisasi.

“Ketika jurnalis bekerja berdasarkan kode etik, itu menjadi pondasi utama. Upaya-upaya kriminalisasi bisa dibatasi dan diperdebatkan secara hukum,” kata Prabowo.

Ia juga menyoroti, masih rendahnya keberanian jurnalis untuk melaporkan kasus kekerasan atau kriminalisasi yang dialami.

“Ini berkaitan dengan krisis kepercayaan terhadap proses penegakan hukum. Padahal, penting bagi jurnalis untuk berkomitmen melaporkan agar mata rantai impunitas bisa diputus,” ujar dia.

Usai diskusi publik, AJI Bandar Lampung menyerahkan Anugerah Saidatul Fitriah kepada Tim Redaksi Lampung Geh atas karya jurnalistik berjudul “Extrajudicial Killing, Luka Lama yang Terus Berulang di Lampung” yang telah melalui proses kurasi dewan juri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *