Bencana besar yang terjadi di Sumatera Utara memicu penilaian publik bahwa respons negara cenderung lambat. Penilaian ini sejalan dengan stereotipe yang berkembang, yaitu gambaran umum berulang tentang cara negara beroperasi dalam situasi darurat. Dalam stereotipe tersebut, negara sering dipersepsikan ragu dalam mengambil keputusan, terikat pada prosedur, dan tidak hadir pada tahap awal krisis.
Stereotipe ini terbentuk dari pengalaman publik yang berulang kali terjadi. Namun, masalah utamanya tidak terletak pada institusi tertentu. Pengalaman penanganan bencana menunjukkan bahwa persoalan pokok bukan pada ketiadaan aparatur, regulasi, atau sumber daya, melainkan cara negara berfungsi sebagai satu sistem pada fase awal darurat.
Persepsi Publik terhadap Instrumen Negara
Publik menilai negara melalui instrumen-instrumennya. Birokrasi sipil sering dikaitkan dengan kehati-hatian administratif, seperti pengambilan keputusan berjenjang dan kepatuhan prosedural. Dalam kondisi normal, pendekatan ini diperlukan untuk menjaga akuntabilitas. Namun dalam situasi darurat, pendekatan yang sama sering dipersepsikan sebagai keterlambatan.
Di sisi lain, instrumen militer dipersepsikan sebagai aktor yang lebih cepat dan operasional. Harapan publik terhadap militer terletak pada kemampuan bertindak di lapangan, bukan pada proses administratif. Perbedaan persepsi ini menimbulkan kesan bahwa negara bekerja secara tidak seimbang, padahal dalam sistem pemerintahan modern, birokrasi sipil dan militer seharusnya berada dalam satu rantai komando yang sama.

Dalam kondisi normal, negara beroperasi dengan prinsip kepastian hukum, akuntabilitas, dan tata kelola. Prosedur dan hierarki kewenangan menjadi instrumen pengendali. Dalam situasi darurat, prinsip-prinsip ini tetap penting, tetapi harus diimbangi dengan kecepatan pengambilan keputusan.
Dilema Respons Darurat
Pada fase awal bencana, kecepatan respons menentukan efektivitas penanganan. Keterlambatan dalam mengambil keputusan dapat memperbesar dampak krisis. Pada titik ini, negara sering berada dalam dilema antara bertindak cepat dengan risiko administratif atau menunggu legitimasi formal dengan risiko kemanusiaan.
Kerangka regulasi kebencanaan di Indonesia relatif lengkap. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelibatan TNI melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang menempatkan militer sebagai instrumen negara dalam penanganan bencana dan misi kemanusiaan.
Namun, ketersediaan regulasi tidak otomatis menghasilkan tindakan yang terkoordinasi. Dalam praktik di Sumatera Utara, regulasi sering dipahami sebagai batas kewenangan, bukan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan cepat. Akibatnya, negara hadir dalam bentuk aturan, tetapi belum berfungsi optimal sebagai sistem operasional terpadu.
Pengalaman Operasional di Lapangan
Pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa struktur komando darurat memang terbentuk. Namun, pembentukan tersebut terjadi setelah dampak bencana meluas dan masyarakat telah lebih dahulu melakukan upaya penyelamatan secara mandiri. Secara administratif, negara menjalankan fungsi formalnya. Secara operasional, keterpaduan sistem belum terbentuk pada fase awal.
Dalam konteks penanganan bencana, kehadiran negara diukur dari efektivitas pengendalian sejak awal kejadian, bukan dari kelengkapan struktur setelah situasi berkembang.
Pada fase awal darurat, aparat negara mulai mengerahkan personel dan aset, termasuk dukungan udara dan logistik. Kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan OMSP. Kapasitas negara tersedia dan dapat digerakkan.
Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa pengerahan aset belum sepenuhnya berada dalam satu sistem komando. Informasi mengenai ketersediaan pesawat dan helikopter ada, tetapi akses dan pengendalian di lapangan belum terkoordinasi dengan baik. Aset tersedia, tetapi tidak sepenuhnya terhubung dengan kebutuhan aktual di lapangan.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan pada kesiapan militer atau birokrasi sipil secara terpisah, melainkan pada ketiadaan mekanisme komando terpadu yang menghubungkan seluruh instrumen negara.
Respons Pemerintah Pusat dan Persepsi Publik
Pada tahap berikutnya, respons pemerintah pusat mulai terlihat melalui pernyataan resmi dan publikasi data situasi. Kehadiran pemerintah pusat memperkuat koordinasi antarinstansi. Namun secara operasional, respons ini muncul setelah fase awal darurat terlewati.
Situasi tersebut memperkuat persepsi publik bahwa negara hadir, tetapi tidak cukup cepat pada fase yang paling menentukan.
Stereotipe negara lamban tidak dapat diatasi dengan klarifikasi komunikasi semata. Perbaikan harus diarahkan pada cara negara bekerja dalam situasi darurat. Koordinasi antarlembaga tidak cukup tanpa komando yang jelas.

Yang dibutuhkan adalah komando darurat yang tunggal, operasional, dan memiliki kewenangan pengambilan keputusan cepat, sehingga birokrasi sipil dan OMSP dapat bergerak dalam satu sistem yang sama.
Komando yang jelas juga memberikan perlindungan bagi aparatur negara karena keputusan diambil dalam kerangka kewenangan yang tegas dan terukur.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengalaman penanganan bencana di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kapasitas negara tersedia, tetapi belum selalu terintegrasi pada fase awal darurat. Selama penanganan bencana masih dijalankan dengan pola kerja administratif normal, persepsi keterlambatan akan terus muncul.
Pembenahan tidak memerlukan penambahan regulasi baru, melainkan penguatan mekanisme komando darurat dan integrasi birokrasi sipil dengan OMSP sebagai satu sistem operasional negara. Dengan pendekatan tersebut, respons negara dapat lebih cepat, terkoordinasi, dan dapat dipertanggungjawabkan.