Setiap tahun, jutaan pohon lenyap, satwa kehilangan habitatnya, dan masyarakat sekitar hutan terpaksa menghadapi bencana alam yang semakin kerap terjadi akibat keserakahan manusia. Namun, seberapa parah sebenarnya kerusakan alam yang terjadi di Indonesia? Mengapa dampaknya bisa begitu menghantam kehidupan manusia?
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang kehilangan hutan tropis di dunia. Berdasarkan data Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan 10,7 juta hektare hutan dari tahun 2001 sampai 2024, sebuah realitas pahit yang mengancam kehidupan manusia dan alam. Akar penyebab hilangnya hutan tropis di Indonesia adalah deforestasi.
Data Deforestasi Indonesia
Selain itu, siaran pers Kementerian Kehutanan mencatat 175,4 ribu hektare deforestasi terjadi di Indonesia pada tahun 2024, mayoritas terjadi di kawasan hutan sekunder sekitar 92,8% dengan luas 200,6 ribu hektare dan sisanya berada di luar kawasan hutan sekunder.
Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa deforestasi menjadi masalah yang harus ditangani secepat mungkin. Pemerintah turut berperan dalam menertibkan penebangan hutan liar, pembalakan liar, pembukaan lahan kelapa sawit, serta penambangan liar yang terjadi di Kalimantan, Papua, dan Sumatra. Hutan kini berganti menjadi lahan kelapa sawit yang merusak ekosistem alami dan keanekaragaman hayati.

Dampak deforestasi tidak hanya dirasakan oleh hewan saja, tetapi juga masyarakat yang tinggal di kawasan hutan semakin rentan mengalami bencana alam akibat alih fungsi hutan alami—yang berfungsi menahan air hujan dan menjaga kestabilan tanah—menjadi lahan kelapa sawit.
Hubungan Manusia dengan Alam
Alam telah memberikan kita banyak hal: air bersih, udara yang sejuk, tempat tinggal, makanan, dan ribuan manfaat lain tanpa kita sadari. Di Indonesia, masyarakat adat sudah lama hidup berdampingan dengan hutan sebagai pelindung dan sumber kehidupan. Mereka tidak serakah karena mereka mengambil secukupnya, merawatnya, dan menjaga keseimbangan alam.
Kita sebagai manusia perlu belajar memahami alam: Bukankah selama ini, mereka telah memberikan segalanya? Namun, manusia terkadang tidak puas dengan pemberian tersebut dan melukai alam tanpa memikirkan dampak negatif ke depannya.
Deforestasi bukan sekadar hilangnya pepohonan saja, melainkan juga hilangnya fungsi ekologis yang menjaga kehidupan kita. Data FWI mencatat deforestasi di pulau-pulau terpencil dan kawasan hutan terlindungi terus meningkat; sebanyak 318,6 ribu hektare yang lenyap dari tahun 2017-2021 merusak pulau-pulau kecil dan ekosistem di dalamnya karena kesalahan pengelolaan hutan.
Dampak Ekologis dan Sosial
Hal ini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia karena hilangnya hutan alami yang menahan air ketika hujan turun telah lenyap tergantikan pohon sawit. Selain itu, deforestasi juga mempercepat krisis iklim melalui peningkatan emisi karbon. Hutan yang biasanya menyerap karbon justru berubah menjadi sumber emisi akibat alih fungsi hutan secara masif.
Taman Nasional Tesso Nilo di Riau menjadi salah satu contoh nyata deforestasi di Indonesia yang terjadi secara masif dan sistematis. Data dari WALHI menunjukkan bahwa Taman Nasional Tesso Nilo telah kehilangan ribuan hektare hutan alam yang kini menyisakan 12.561 ha atau 15,36% dari keseluruhan.
Kondisi ini sangat memperburuk keadaan, ditambah konflik antara masyarakat dan aktivitas pembukaan lahan untuk kebun sawit.
Menurut WALHI, Taman Nasional Tesso Nilo merupakan rumah bagi para satwa yang tinggal selama bertahun-tahun, seperti gajah sumatra, harimau sumatra, 114 jenis burung, 644 jenis kumbang, dan lain-lain.

Pelestarian hutan di kawasan ini sangat diperlukan. Jika deforestasi terus dilakukan tanpa adanya tindakan nyata dari pemerintah, pelaku akan tetap melakukan aktivitas ilegalnya tanpa takut sama sekali.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa deforestasi bukan hanya persoalan lingkungan saja, melainkan juga krisis lingkungan dan sosial yang mengancam satwa yang dilindungi, keselamatan manusia, dan keberlanjutan ekosistem alami.
Ancaman Bagi Kehidupan
Deforestasi menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hutan—yang berfungsi sebagai paru-paru dunia—kini hilang tergantikan perkebunan sawit dan penambangan liar yang semakin parah serta meninggalkan dampak nyata bagi keberlangsungan ekosistem di Indonesia.
Banjir dan longsor pun tidak dapat dihindari. Penggundulan hutan memicu kerusakan tanah, meningkatkan risiko erosi, dan mengakibatkan hilangnya resapan air hujan.

Perkebunan sawit tidak bisa menggantikan hutan alami karena akar pohon sawit merupakan tanaman monokultur dan akarnya tergolong dangkal—sekitar 2 meter saja—yang mengakibatkan tidak mampu menahan air serta membuat tanah mudah tergerus ketika terjadinya hujan deras dalam intensitas yang cukup tinggi.
Deforestasi dapat mengancam hilangnya keanekaragaman hayati karena flora dan fauna kehilangan habitat aslinya. Hal ini menyebabkan kepunahan hewan asli Indonesia, seperti gajah sumatra. Oleh karena itu, diperlukan pemulihan hutan alami dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan menjamin kualitas hidup manusia di masa depan.
Panggilan untuk Aksi
Deforestasi harus dihentikan. Jika tidak, hal ini dapat memberikan dampak negatif ke depannya bagi keberlangsungan hidup manusia dan satwa di sekitarnya. Kerusakan ekosistem, bencana alam, dan perubahan iklim merupakan dampak nyata yang sudah dirasakan.
Oleh karena itu, menjaga kelestarian hutan menjadi tanggung jawab kita bersama, baik itu pemerintah, masyarakat, korporasi, dan lain-lain. Tindakan nyata dan kesadaran bersama tentang pentingnya mempertahankan hutan alami di Indonesia—meskipun hanya tindakan kecil saja—membawa perubahan besar dan melindungi alam serta memastikan bumi tetap layak huni bagi generasi mendatang.