Posted in

Generasi Sibuk yang Kehilangan Arah: Lelah Tanpa Tujuan Jelas

Setiap pagi, jutaan anak muda Generasi Z memulai hari dengan pola yang hampir seragam. Membuka mata, meraih ponsel, lalu terserap dalam deretan notifikasi: tugas akademik, pesan pekerjaan, kabar teman yang sudah “lebih dulu sukses”, dan konten motivasi yang mendorong mereka untuk terus bergerak.

Paradoksnya, di tengah kesibukan tersebut, banyak dari mereka justru tidak memiliki kejelasan tentang tujuan hidupnya.

Generasi masa kini tampak aktif, produktif, dan penuh ambisi. Jadwal padat, tenggat waktu menumpuk, dan portofolio terus bertambah. Namun di balik semua pencapaian itu, muncul perasaan yang semakin sering dirasakan—kelelahan tanpa sebab jelas dan kecemasan yang sulit diungkapkan.

Kesibukan sebagai Identitas Diri

Di platform digital, kesibukan telah berubah menjadi penanda nilai seseorang. Semakin padat agenda seseorang, semakin dianggap “berkembang”. Unggahan tentang begadang, multitasking, dan kelelahan sering kali justru mendapat pujian. Seolah-olah keletihan menjadi bukti kesuksesan yang sedang dibangun.

Persoalan muncul ketika kesibukan dijadikan identitas—berhenti sejenak terasa seperti bentuk kegagalan.

Banyak anak muda akhirnya terus memaksa diri untuk berjalan, meski tidak lagi memahami alasan di balik setiap langkahnya. Mereka kuliah sambil bekerja, mengikuti organisasi, membangun personal branding, mengejar peluang—semua dilakukan secara bersamaan. Bukan karena semua itu benar-benar diinginkan, melainkan karena ketakutan tertinggal.

Tekanan Perbandingan Sosial

Tekanan terbesar yang dihadapi generasi ini tidak hanya berasal dari faktor ekonomi atau persaingan kerja, tetapi juga dari perbandingan sosial yang terus-menerus. Media sosial menyajikan panggung besar tempat pencapaian orang lain terus dipamerkan.

Di satu sisi, hal itu memberikan motivasi. Di sisi lain, secara diam-diam menggerogoti mental.

Tidak sedikit yang akhirnya mengejar impian versi algoritma: karier yang tampak menarik, gaya hidup yang terlihat mapan, dan kesuksesan yang mudah diukur. Sementara itu, pertanyaan mendasar justru jarang terjawab: Apa sebenarnya yang membuatku merasa utuh?

Ketika standar hidup ditentukan oleh layar, kelelahan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Lelah Mental yang Tak Terungkap

Berbeda dengan kelelahan fisik, lelah mental sering kali tidak memiliki ruang untuk diekspresikan. Banyak anak muda merasa harus selalu tampil kuat, progresif, dan “baik-baik saja”. Mengakui kelelahan dianggap kurang bersyukur, mengeluh dianggap tanda kelemahan.

Ia muncul dalam bentuk hilangnya semangat, rasa hampa meski sedang mencapai sesuatu, dan keinginan untuk berhenti sejenak tanpa mengetahui caranya. Generasi ini bukan tidak tangguh; mereka hanya terlalu lama diminta untuk kuat tanpa jeda.

Mungkin masalah utamanya bukan karena anak muda terlalu malas atau terlalu ambisius. Mungkin yang hilang adalah ruang untuk bertanya, “Apakah aku hidup sesuai dengan nilai yang kupilih sendiri?”

Keberanian untuk Memperlambat Langkah

Dalam dunia yang terus mendorong kecepatan, keberanian terbesar justru adalah memperlambat langkah. Mengambil jarak dari kebisingan, mendefinisikan ulang makna sukses, dan memberikan izin pada diri sendiri untuk tidak selalu produktif.

Karena hidup bukan perlombaan tentang siapa yang paling sibuk, melainkan perjalanan dalam memahami apa yang benar-benar berarti.

Generasi ini tidak kekurangan potensi, kreativitas, atau daya juang. Yang mereka butuhkan adalah legitimasi untuk beristirahat, berpikir, dan menentukan arah hidupnya sendiri tanpa rasa bersalah.

Sebab pada akhirnya, hidup yang dijalani dengan kesadaran akan selalu lebih berharga daripada hidup yang hanya tampak berhasil dari luar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *