Posted in

Gotong Royong: Tradisi Indonesia yang Semakin Tergerus Zaman

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang besar, tidak hanya dari segi wilayah tetapi juga nilai-nilai budayanya. Salah satu nilai budaya yang kerap dibanggakan adalah gotong royong. Dari desa hingga kota, mulai dari acara hajatan hingga kerja bakti, gotong royong bukan sekadar aktivitas melainkan sebuah cara hidup masyarakat Indonesia. Namun sayangnya, tradisi ini kini perlahan terasa asing, khususnya di kehidupan perkotaan.

Gotong royong muncul dari kesadaran sederhana bahwa hidup tidak dapat dijalani sendirian. Ketika seseorang mengalami kesulitan, yang lain hadir tanpa perlu diminta. Tidak ada perhitungan, tidak ada imbalan, apalagi kontrak kerja; semua bergerak atas dasar rasa kebersamaan. Generasi tua melalui cerita masa lalu menggambarkan bentuk gotong royong dalam berbagai kegiatan bersama seperti membangun rumah, membersihkan lingkungan, dan panen sawah. Meskipun melelahkan, semua terasa ringan karena dilakukan secara bersama-sama.

Perubahan Pola Hidup Masyarakat

Namun kini situasi telah berubah. Kehidupan semakin individualistis. Pintu rumah tertutup rapat, tetangga hanya saling menyapa seperlunya. Di kota-kota besar, seseorang dapat tinggal bertahun-tahun tanpa benar-benar mengenal siapa yang tinggal di sebelahnya. Jika menghadapi masalah, solusi pertama bukan lagi tetangga melainkan jasa berbayar: butuh bersih-bersih, panggil layanan; pindahan, sewa tenaga. Semua terkesan praktis, namun perlahan-lahan mengikis rasa kebersamaan.

Perubahan ini tentu tidak datang tanpa sebab. Kesibukan, tekanan ekonomi, dan gaya hidup modern membuat orang fokus pada urusan masing-masing. Waktu seakan menjadi barang mahal. Gotong royong dianggap merepotkan, memakan waktu, dan tidak efisien. Padahal, yang hilang bukan sekadar kegiatan fisik melainkan juga nilai sosial di dalamnya: empati, solidaritas, dan rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar.

Generasi Muda dan Tradisi Gotong Royong

Yang lebih mengkhawatirkan, generasi muda mulai mengenal gotong royong hanya sebagai istilah dalam buku pelajaran. Konsep ini terdengar seperti sesuatu yang ideal, bukan kebiasaan nyata. Banyak yang memahami definisinya, tetapi jarang mengalaminya dalam situasi nyata. Tanpa pengalaman langsung, budaya akan sulit bertahan. Ia hanya menjadi simbol, bukan praktik.

Meski demikian, bukan berarti gotong royong benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk. Di era digital, gotong royong muncul dalam wujud lain: penggalangan dana online, komunitas relawan, atau gerakan sosial berbasis media sosial. Orang-orang yang bahkan tidak saling mengenal dapat saling membantu. Ini membuktikan bahwa nilai gotong royong masih hidup dan hanya berpindah ruang.

Menjaga Semangat Gotong Royong

Sekarang, tantangannya adalah bagaimana mengembalikan semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di layar ponsel. Mulai dari hal kecil: peduli dengan lingkungan sekitar, saling membantu tanpa pamrih, dan tidak selalu mengukur segalanya dengan uang. Gotong royong tidak harus selalu besar; kadang-kadang, ia dapat direalisasikan dengan kehadiran dan kepedulian yang cukup.

Budaya bukan sesuatu yang statis. Ia hidup selama dijalankan. Jika gotong royong terus ditinggalkan, ia akan benar-benar menjadi cerita masa lalu. Namun, jika gotong royong masih dipraktikkan—sekecil apa pun bentuknya—budaya itu tetap bernapas. Di tengah dunia yang semakin sibuk dan individual, gotong royong justru menjadi pengingat bahwa kita adalah manusia yang masih saling membutuhkan satu sama lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *