Suara guru seharusnya tetap terdengar tanpa rasa takut sebagai napas kehidupan para pendidik di tanah air. Pendidik bukan hanya penyampai materi pembelajaran, melainkan juga penjaga nalar, pembentuk karakter, dan penggerak kesadaran kritis siswa. Namun, ironi muncul ketika para pengajar justru kehilangan ruang untuk menyampaikan pendapat.
Realitas menunjukkan banyak pendidik hidup dalam kesunyian yang dipaksakan oleh sistem; bukan karena tidak memiliki pandangan, melainkan karena menyuarakan pendapat sering kali berarti mengambil risiko yang terlalu besar.
Ruang Pendidikan Berubah Menjadi Area Penuh Kehati-hatian
Sekolah yang semestinya menjadi tempat aman untuk berpikir kritis perlahan berubah menjadi ruang penuh kehati-hatian. Satu kalimat bisa ditafsirkan sebagai pembangkangan dan satu unggahan di media sosial bisa berujung pada teguran, mutasi, bahkan pemutusan hubungan kerja.
Pendidik akhirnya tidak lagi bertanya “apa yang benar?”, melainkan “apa yang aman?” Dalam kondisi seperti ini, keberanian bukan lagi soal mental atau integritas personal, melainkan tentang struktur kekuasaan yang menekan dari atas ke bawah dan membentuk budaya takut yang sistemik.
Sering kali publik menyimpulkan bahwa guru takut untuk bersuara. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah guru sedang berusaha bertahan agar tetap bisa mengajar. Mereka sadar bahwa suara kritis tidak selalu dibalas dengan dialog, tetapi justru dengan sanksi.
Relasi Kuasa yang Timpang dalam Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan kita membentuk relasi kuasa yang timpang, mulai dari kementerian, dinas pendidikan, hingga yayasan. Setiap jenjang memiliki kewenangan untuk menilai, menegur, atau menghukum, sementara guru berada di posisi paling rentan dalam rantai birokrasi tersebut.
Akibatnya, kritik terhadap kebijakan pendidikan, kesejahteraan, atau ketidakadilan struktural sering kali dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai masukan. Guru yang vokal dicap tidak loyal, tidak patuh, atau sulit diatur.
Dalam situasi ini, diam menjadi strategi bertahan hidup. Bukan karena guru tidak peduli pada dunia pendidikan, melainkan karena mereka sadar bahwa kejujuran sering kali tidak dihargai, bahkan justru dibayar dengan hilangnya rasa aman.
Posisi Rentan Guru ASN dan PNS
Bagi guru ASN dan PNS, pembungkaman ini terasa semakin nyata. Status sebagai aparatur sipil negara mengikat mereka pada aturan disiplin, netralitas, dan fakta integritas yang kerap ditafsirkan secara sempit dan sepihak. Secara formal, guru ASN memang tidak sepenuhnya dilarang menyampaikan pendapat.
Namun dalam praktiknya, kritik terhadap kebijakan pemerintah sering dianggap sebagai pelanggaran loyalitas. Ruang berserikat dibatasi, ekspresi kritis dicurigai, dan perjuangan hak guru pun menjadi terpecah, individual, serta kehilangan daya tekan kolektif.
Tidak mengherankan jika sangat jarang kita melihat guru ASN turun ke jalan secara terbuka menuntut haknya. Mereka tahu bahwa konsekuensi administratif, penilaian kinerja, hingga ancaman karier selalu mengintai.
Ketika sistem membuat keberanian menjadi mahal, hal yang tersisa hanyalah kepatuhan yang terpaksa. Dalam jangka panjang, kondisi ini melemahkan posisi guru sebagai profesi intelektual dan menjadikannya sekadar pelaksana kebijakan.
Kondisi Lebih Rapuh Guru Honorer dan Swasta
Sementara itu, guru honorer dan guru swasta berada dalam posisi yang bahkan lebih rapuh. Upah rendah, status kerja tidak jelas, dan ketergantungan penuh pada yayasan membuat mereka hidup dalam ketidakpastian permanen.
Tidak ada jaminan kerja, tidak ada perlindungan kuat, dan hampir tidak ada ruang untuk menolak. Setiap kritik berpotensi dianggap sebagai pembangkangan dan pembangkangan sering kali dibalas dengan pemutusan kontrak secara sepihak.
Demonstrasi guru honorer memang beberapa kali terjadi di berbagai daerah, menuntut pengangkatan PPPK, kesetaraan hak, dan pengakuan negara. Namun, suara mereka sering tenggelam dalam hiruk pikuk isu lain. Media hanya meliput sekilas, kebijakan lahir setengah hati, dan penderitaan guru terus berulang dari tahun ke tahun. Seolah-olah jerih payah mendidik generasi bangsa tidak cukup bernilai untuk diperjuangkan secara serius.
Contoh Konkret Pembungkaman Pendidik
Contoh yang paling konkret pembungkaman guru terlihat jelas dalam kasus vokalis band Sukatani yang juga berprofesi sebagai guru. Ketika ia menyuarakan kritik sosial melalui karya seni yang menyinggung praktik aparat, konsekuensinya bukan hanya kecaman publik, melainkan juga pemecatan dari sekolah tempat ia mengabdi.
Peristiwa ini menjadi pesan tidak tertulis yang sangat keras bagi guru lain: kritik sosial—bahkan di luar ruang kelas—bisa berujung pada hilangnya pekerjaan. Entah karena tekanan atasan, kekhawatiran yayasan, atau budaya takut yang sudah mengakar, dampaknya sama: guru kembali memilih diam.
Ketidakadilan Struktural yang Terus Dipelihara
Masalah utama dari semua ini adalah ketidakadilan struktural yang terus dipelihara. Guru dituntut membentuk peserta didik yang kritis, berani berpendapat, dan berpikir merdeka, tetapi guru sendiri tidak diberi kemerdekaan yang sama.
Ada kontradiksi besar antara tujuan pendidikan nasional dan perlakuan terhadap pendidik. Ketika guru dipaksa patuh tanpa ruang dialog, pendidikan kehilangan rohnya dan berubah menjadi sekadar pelaksanaan perintah.
Kesunyian guru hari ini bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa sistem belum berpihak pada keadilan. Jika negara sungguh-sungguh ingin memperbaiki pendidikan, langkah pertama adalah membuka ruang aman bagi guru untuk bersuara tanpa rasa takut.
Guru harus dipandang sebagai mitra kritis dalam pembangunan pendidikan, bukan sebagai ancaman. Sebab, pendidikan yang sehat tidak lahir dari ketakutan, tetapi dari keberanian untuk berkata jujur. Dan selama guru terus dibungkam, kita harus berani mengakui: yang sedang sakit bukan gurunya, melainkan sistemnya.