Posted in

Guru dalam ‘Kepungan’ Ketakutan

Media sosial belakangan ini diramaikan berbagai komentar terkait kasus di Kendari, di mana seorang oknum guru divonis lima tahun penjara dan kini sedang menempuh upaya banding. Beragam video, analisis amatir, hingga potongan narasi beredar tanpa kendali. Informasi yang tidak lengkap menjelma menjadi bahan perdebatan liar yang memicu emosi publik.

Di satu sisi muncul suara keras yang menuntut keadilan bagi korban, namun di sisi lain tidak sedikit yang bersimpati terhadap guru—profesi yang sering bekerja dalam tekanan namun jarang mendapat pembelaan memadai. Situasi ini menciptakan ruang perbincangan penuh kegaduhan dan spekulasi.

Dampak Opini Publik pada Dunia Pendidikan

Ketika opini tersebar secara masif tanpa verifikasi, dampaknya menjadi jauh lebih luas dibanding kasus itu sendiri. Apa yang awalnya merupakan persoalan hukum yang harus diselesaikan melalui mekanisme peradilan kini berubah menjadi kekhawatiran kolektif dalam dunia pendidikan.

Banyak guru mulai mempertanyakan: Apakah tindakan-tindakan wajar yang selama ini dilakukan bisa disalahartikan, direkam, lalu disebarkan hingga menjadi viral? Dunia pendidikan tidak pernah serentan ini terhadap tekanan opini publik.

Ilustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: Kemendikdasmen

Guru akhirnya berada dalam posisi serba salah. Di tengah meningkatnya kesadaran terhadap perlindungan anak, berbagai regulasi mengharuskan sekolah menjalankan standar yang ketat.

Namun, ketatnya aturan—tanpa diimbangi pemahaman publik—dapat melahirkan kecemasan baru. Guru menjadi sangat berhati-hati, bahkan cenderung takut, dalam mendampingi peserta didik. Tindakan yang seharusnya menjadi ekspresi kepedulian mulai dilihat sebagai potensi masalah.

Dilema Interaksi Guru-Murid

Menyapa murid dengan ramah dengan tatapan mata bercanda, memeriksa apabila ada anak yang terlihat sakit, atau sekadar membantu murid yang hampir pingsan saat mengikuti upacara kini dianggap sebagai tindakan yang harus dipikirkan berulang kali.

Kekhawatiran terbesar muncul ketika tindakan darurat—yang seharusnya dilakukan spontan demi keselamatan anak—justru dapat direkam dan dipelintir menjadi tuduhan tidak pantas. Bahkan, menggotong anak yang pingsan—yang merupakan sebuah tindakan kemanusiaan—dapat berubah menjadi sumber malapetaka bagi guru apabila dipahami secara keliru.

Apabila ketakutan ini meluas, ekosistem pendidikan akan berubah secara drastis. Guru semakin kehilangan keluwesan dalam menjalankan peran mendidik. Ruang kelas yang semestinya hangat dan humanis perlahan berubah menjadi ruang formal yang penuh kehati-hatian.

Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar saat bulan Ramadhan di SDN Slipi 15, Jakarta, Kamis (6/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO

Guru ragu menegur murid yang melanggar tata tertib karena takut diadukan. Guru segan menasihati karena khawatir dianggap melampaui batas. Bahkan, memberi perhatian sederhana pun bisa menimbulkan kecemasan.

Situasi seperti itu tidak hanya mengurangi kualitas hubungan guru dan murid, tetapi juga merusak iklim psikologis belajar. Pendidikan yang ideal memerlukan interaksi otentik, bukan sekadar hubungan yang dibatasi oleh rasa takut.

Kebutuhan Protokol yang Jelas

Kecemasan berlebihan membuat guru tidak lagi fokus pada proses pembelajaran, melainkan pada upaya melindungi diri dari kemungkinan kesalahpahaman. Jika pendidikan berubah menjadi medan pertahanan diri, anak-anak justru kehilangan pengalaman belajar penuh kasih, jujur, dan membebaskan.

Dalam konteks inilah muncul kebutuhan untuk menyusun solusi secara lebih struktural. Salah satu pendekatan realistis adalah membangun protokol perlindungan anak yang disepakati bersama oleh sekolah dan orang tua.

Protokol ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan juga pedoman etika interaksi yang memberikan kejelasan bagi semua pihak. Batas antara tindakan profesional dan tindakan yang dianggap melampaui peran harus dirumuskan secara terang, tidak multitafsir, dan mudah diikuti.

Ilustrasi guru dan orang tua. Foto: Shutter Stock

Protokol tersebut perlu memuat beberapa hal mendasar, yakni apa saja bentuk interaksi fisik yang diperbolehkan dalam kondisi normal, bagaimana prosedur penanganan kedaruratan, bagaimana komunikasi antara guru dan murid dilakukan secara profesional, dan bagaimana mekanisme pengawasan berjalan tanpa mengikis rasa percaya.

Kejelasan aturan akan membantu guru merasa aman, sementara orang tua memiliki pegangan bahwa anak mereka berada dalam lingkungan yang terjaga.

Transparansi sebagai Kunci Solusi

Untuk memperkuat kesepahaman, protokol ini sebaiknya dituangkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani orang tua saat mendaftarkan anak ke sekolah. Dengan langkah ini, sejak awal, pihak sekolah dan orang tua memiliki persepsi yang seragam, yaitu pendidikan memerlukan kerja sama erat, bukan kecurigaan yang saling menggerogoti.

Jika ada orang tua yang merasa tidak setuju dengan beberapa ketentuan, mereka diberi ruang untuk mencari sekolah lain yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Prinsip transparansi dapat menjadi dasar dari seluruh proses ini. Ketika semua pihak mengetahui aturan mainnya, kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Orang tua tidak merasa dibohongi, guru tidak merasa ditinggalkan, dan sekolah tidak terjebak dalam ketidakpastian. Transparansi memunculkan hubungan lebih sehat karena tidak ada ruang bagi interpretasi berlebihan atau penilaian sepihak.

Ilustrasi guru. Foto: wavebreakmedia/Shutterstock

Kasus di Kendari—betapa pun menegangkan—seharusnya menjadi momentum dalam memperkuat kembali kepercayaan antara guru, orang tua, dan sekolah. Perlindungan anak tetap merupakan prioritas yang tidak boleh dinegosiasi.

Akan tetapi, pada saat yang sama, perlindungan bagi guru sebagai profesi yang rawan disalahpahami juga harus dijaga. Kita tidak bisa mengorbankan satu pihak demi melindungi pihak lain.

Pada akhirnya, pendidikan tidak akan berjalan tanpa rasa aman di kedua belah pihak. Guru membutuhkan keberanian untuk mendidik dengan ketulusan, sementara murid membutuhkan lingkungan yang menghargai martabat mereka.

Tanpa keberanian itu—yang hanya lahir dari rasa aman dan kepercayaan—pendidikan kehilangan ruhnya. Dan ketika ruh pendidikan hilang, yang tersisa hanyalah ruang belajar kering, formal, dan tak lagi mampu membentuk manusia seutuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *