Posted in

Insentif Kendaraan Listrik Dihentikan, IESR: Manfaat Ekonomi Rp 544 Triliun Berpotensi Terganggu

Penghentian insentif untuk kendaraan listrik baterai (BEV) pada tahun 2026 diperkirakan akan memberikan pengaruh signifikan, tidak hanya terhadap harga kendaraan, namun juga terhadap ketahanan energi nasional dan keuntungan ekonomi dalam jangka panjang.

Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa penggunaan BEV sebenarnya selaras dengan visi kemandirian energi yang diusung Presiden Prabowo. Menurut analisis IESR, setiap satu unit BEV yang digunakan sejauh 20 ribu kilometer setara dengan pengurangan impor sekitar 1.320 liter bahan bakar minyak (BBM).

Potensi Penghematan BBM dan Emisi

“Dengan jumlah BEV yang telah mencapai sekitar 140 ribu unit per Oktober 2025, Indonesia berpotensi menghemat 185 ribu kiloliter BBM dan biaya kompensasi energi hingga Rp 315 miliar dalam satu tahun, sekaligus menurunkan emisi,” urai lembaga tersebut dalam keterangan resmi.

Namun, momentum positif ini berisiko melemah jika pemerintah benar-benar menghentikan insentif kendaraan listrik tahun depan. IESR menilai bahwa tidak adanya stimulus, seperti pembebasan bea masuk impor BEV serta potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, akan menyebabkan harga mobil listrik menjadi jauh lebih mahal dan mengubah dinamika pasar otomotif nasional.

Dampaknya, hal tersebut dapat menekan penjualan kendaraan listrik dan menghambat perkembangan industri pendukung, termasuk baterai dan komponen BEV. Selain itu, langkah tersebut berpotensi memperlambat adopsi BEV.

Dampak terhadap Industri Baterai

IESR juga menekankan bahwa perlambatan adopsi BEV akan berdampak langsung pada upaya pengurangan konsumsi dan impor BBM. Padahal, momentum pertumbuhan kendaraan listrik saat ini dinilai krusial untuk mendorong permintaan secara eksponensial dan menciptakan ekosistem industri pendukung, khususnya baterai.

Lebih jauh, lembaga tersebut mencatat potensi manfaat ekonomi hingga Rp 544 triliun yang dapat terwujud dari industri baterai terintegrasi dari hulu ke hilir hingga tahun 2060. Nilai tersebut bahkan disebut masih berpeluang bertambah di luar keseluruhan ekosistem BEV.

IESR memahami bahwa kebijakan insentif pada awalnya memang dirancang sebagai stimulus jangka pendek untuk menarik investor awal di sektor manufaktur. Meski demikian, program tersebut dinilai tetap layak dilanjutkan apabila terbukti memberikan manfaat ekonomi dan strategis yang signifikan bagi Indonesia.

Target TKDN dan Penjualan BEV

Saat ini, jumlah merek yang berkomitmen membangun fasilitas produksi mandiri di Tanah Air masih dinilai belum cukup untuk menciptakan pasar yang sehat. Pemerintah sendiri telah menetapkan peta jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dengan target minimal 40 persen hingga 2026, meningkat menjadi 60 persen mulai 2027, dan mencapai 80 persen pada 2030.

Studi IESR menunjukkan bahwa insentif berperan signifikan dalam mendorong penyerapan BEV. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik di Indonesia tercatat mencapai 68.827 unit, dengan mayoritas merupakan model yang mendapat insentif pemerintah.

Sebagai pembanding, penjualan motor listrik justru anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, akibat insentif yang tak kunjung diterbitkan hingga akhir tahun.

Peran Elektrifikasi dalam Penurunan Emisi

Fabby menegaskan, elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi di sektor transportasi. Kontribusinya diperkirakan dapat mencapai 45–50 persen dari total penurunan emisi sektor tersebut.

“Manfaatnya akan lebih besar jika dikombinasikan dengan strategi komprehensif melalui pendekatan Avoid–Shift–Improve, yang berpotensi menurunkan emisi hingga 76 persen dalam jangka panjang dan sekitar 18 persen pada 2030,” kata Fabby.

Menurutnya, percepatan elektrifikasi membutuhkan implementasi kebijakan, regulasi, dan insentif yang konsisten serta saling menguatkan. Reformasi subsidi BBM juga dinilai mendesak, lantaran selama ini melemahkan daya saing kendaraan listrik.

Atas dasar itu, IESR mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang rencana penghentian insentif BEV. Pasalnya, sejumlah produsen masih dalam tahap pembangunan pabrik di Indonesia, dan insentif dinilai krusial untuk menarik investasi baru agar tidak berpindah ke negara ASEAN lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *