Posted in

IPK Tinggi, Mental Rapuh: Ada yang Salah dengan Cara Kita Mengukur Sukses

Dalam lingkungan akademik, pertanyaan tentang indeks prestasi kerap muncul saat perkenalan awal. Angka tersebut seolah mampu merepresentasikan seluruh perjalanan, upaya, dan nilai seorang individu. Sistem pendidikan membentuk keyakinan bahwa IPK yang tinggi merupakan jaminan menuju masa depan yang stabil. Namun, di balik transkrip nilai yang teratur, banyak mahasiswa menyimpan kecemasan yang tidak tercatat.

IPK secara bertahap berubah dari instrumen penilaian akademik menjadi parameter harga diri. Saat nilainya bagus, muncul perasaan layak dan nyaman. Namun, ketika terjadi penurunan, timbul rasa gagal, kecemasan, bahkan rasa malu. Seakan-akan pencapaian hidup dapat hancur hanya karena satu semester yang tidak berjalan optimal.

Fungsi IPK yang Terdistorsi

Pada dasarnya, IPK dirancang untuk mengukur pencapaian akademik, bukan ketangguhan mental, empati, atau kemampuan bertahan saat menghadapi tantangan hidup. Sayangnya, sistem pendidikan telah mempersempit makna kesuksesan menjadi sesuatu yang dapat dihitung dan dibandingkan. Akibatnya, proses pembelajaran kehilangan esensinya. Yang dikejar bukan lagi pemahaman mendalam, melainkan angka semata.

Tekanan ini tidak hanya berasal dari institusi pendidikan. Lingkungan sekitar turut berkontribusi. Orang tua, dengan maksud baik, seringkali menaruh harapan besar pada nilai akademik. Masyarakat juga mengagungkan gelar dan IPK sebagai simbol pencapaian. Tanpa disadari, tercipta ruang yang kurang toleran terhadap kegagalan. Gagal tidak lagi dipandang sebagai bagian dari proses belajar, melainkan sesuatu yang memalukan dan perlu disembunyikan.

Kesenjangan antara Prestasi Akademik dan Kesejahteraan Mental

Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa dengan IPK hampir sempurna justru merasa hampa. Mereka terbiasa memenuhi standar, namun jarang diberi kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Kelelahan dianggap biasa, burnout dianggap lumrah, selama nilai tetap berada dalam zona aman. Kesehatan mental yang rentan seolah menjadi harga yang harus dibayar untuk predikat “berprestasi”.

Yang sering terlewatkan adalah realitas bahwa kehidupan setelah lulus tidak beroperasi dengan sistem penilaian seperti di kampus. Dunia nyata tidak menanyakan IPK setiap hari, tetapi menuntut kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, serta bangkit setelah mengalami kegagalan. Nilai-nilai ini tidak tercantum dalam transkrip akademik, namun justru sangat menentukan bagaimana seseorang bertahan dan berkembang.

IPK tetap relevan dan patut diperjuangkan. Namun, ketika IPK dijadikan satu-satunya definisi sukses, kita berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara akademik namun rapuh secara emosional. Kita berpotensi menghasilkan lulusan yang takut membuat kesalahan, enggan mencoba hal baru, dan terus dihantui perasaan tidak cukup.

Perlu Perubahan Paradigma

Sudah waktunya untuk mengubah perspektif. Kesuksesan seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental. Pendidikan seharusnya membantu manusia berkembang secara utuh, bukan sekadar unggul di atas kertas. Institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat perlu mulai menghargai proses, bukan hanya hasil akhir.

Mungkin pencapaian sejati bukan tentang seberapa tinggi IPK yang diperoleh, melainkan seberapa utuh seseorang menjalani kehidupan setelahnya. Jika sebuah sistem mampu menghasilkan angka yang mengesankan, tetapi meninggalkan manusia yang lelah dan kehilangan arah, maka ada yang perlu dipertanyakan—bukan pada mahasiswanya, melainkan pada cara kita mendefinisikan kesuksesan itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *