Gubernur Jakarta Pramono Anung menyatakan bahwa tidak akan ada pesta kembang api di Jakarta pada malam Tahun Baru 2026. Menurutnya, kebijakan pelarangan kembang api dan penyederhanaan perayaan ini merupakan wujud empati terhadap masyarakat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh yang masih berduka serta menjalani pemulihan pascabencana banjir dan tanah longsor.
Empati dalam konteks ini merupakan cara pandang dalam pengelolaan ruang publik. Ketika negara atau pemerintah daerah memutuskan untuk menahan diri dari pesta, mereka mengakui bahwa tidak semua masyarakat berada pada kondisi yang sama untuk merayakan.
Ada sebagian masyarakat yang masih menghadapi kehilangan, bencana, tekanan ekonomi, serta ketidakpastian hidup. Bagi mereka, kembang api bisa terasa seperti ironi: cahaya terang di langit, sementara kehidupan tetap gelap di bawahnya.
Kebijakan Simbolik dan Pesan Moral
Kebijakan ini dapat dibaca bukan sekadar pengumuman administratif, melainkan juga tata kelola perayaan yang mengandung pesan moral: bahwa empati lebih penting daripada euforia. Di tengah tradisi tahunan yang identik dengan dentuman cahaya dan sorak-sorai, Jakarta justru memilih jeda, sebuah keheningan yang sarat makna.

Dalam lanskap komunikasi politik, kebijakan ini bergerak di ranah simbolik. Kembang api yang ditiadakan bukan tanda matinya kegembiraan, melainkan penanda kepekaan kota terhadap masyarakat. Terjadi pergeseran makna perayaan: dari perayaan menjadi ruang refleksi bersama.
Jika ditarik dalam kacamata tata kota global dan modern, keputusan Jakarta ini mencerminkan pergeseran paradigma kepemimpinan perkotaan. Kota-kota besar di dunia mulai menyadari bahwa keberlanjutan sosial tidak selalu sejalan dengan budaya pesta dan konsumsi berlebihan, tetapi dengan perayaan yang ramah lingkungan, sensitif terhadap krisis sosial, serta menghormati ruang batin masyarakat sebangsa.
Jakarta—dengan kebijakan tanpa kembang api—sedang menempatkan dirinya dalam arus kota-kota yang berusaha lebih sadar dan beradab.
Pergeseran Makna Kepemimpinan
Dengan tidak menghadirkan spektakel perayaan, Jakarta menyampaikan bahwa kepemimpinan tidak harus selalu dipertontonkan melalui kemeriahan visual atau simbol kekuasaan, tetapi dapat diwujudkan melalui keberanian moral, yakni mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, namun selaras dengan konteks sosial dan rasa keadilan publik. Inilah pergeseran makna perayaan: dari demonstrasi kekuasaan menuju ekspresi kepedulian.
Sebuah penegasan bahwa legitimasi kepemimpinan tidak semata lahir dari panggung sorak-sorai dan ritual seremonial, tetapi dari kepekaan etis atas situasi masyarakat yang sedang menghadapi musibah. Dalam konteks ini, absennya perayaan justru menjadi pesan politik yang kuat: negara hadir tidak untuk dirayakan, tetapi untuk merawat.
Komunikasi politik Aristotelian memandang bahwa kebijakan menjadikan empati sebagai sumber kredibilitas. Di sini, Pramono tidak hanya berbicara tentang solidaritas, tetapi menginstitusikannya dalam bentuk keputusan publik.
Di titik inilah etos bekerja secara efektif: membentuk citra pemimpin yang bermoral, bijaksana, dan berpihak pada rasa keadilan sosial. Sebuah karakter yang menurut Aristoteles menjadi fondasi utama bagi daya persuasif kepemimpinan di ruang publik.
Etika Tanggung Jawab dalam Kepemimpinan
Bilamana ditarik lebih jauh lagi, kebijakan ini mengandung pesan kepemimpinan moral. Pemikir politik Max Weber membedakan kepemimpinan administratif dan kepemimpinan yang bertumpu pada etika tanggung jawab.

Dalam hal ini Pramono tidak hanya sekadar mengelola acara, tetapi juga menimbang dampak sosial dan emosionalnya. Pramono menyadari bahwa kebijakan publik selalu memproduksi makna dan makna itulah yang membentuk kepercayaan. Pilihan untuk “tidak berpesta” justru menjadi pernyataan nilai.
Dalam kerangka Weberian, pemimpin yang berpegang pada etika tanggung jawab tidak semata mengikuti keinginan populer, tetapi mempertimbangkan apa yang secara moral benar dan bermanfaat untuk kebaikan masyarakat luas. Keputusan untuk meniadakan perayaan bukanlah penolakan terhadap kegembiraan publik, melainkan penegasan batas moral tentang kapan negara perlu bersuara dan kapan perlu menahan diri.
Pada akhirnya, keputusan “tanpa kembang api” ini memperlihatkan satu hal penting: komunikasi politik tidak selalu tentang siapa paling lantang, tetapi siapa paling peka membaca suasana. Di tengah dunia yang serba cepat, keras, dan kompetitif, Jakarta memilih jeda sejenak, mengajak warganya merayakan waktu dengan kesadaran dan empati.
Tahun Baru 2026 mungkin tidak akan diingat karena gemerlap langitnya. Namun, ia berpeluang dikenang sebagai momen ketika sebuah kota besar belajar berbicara dengan bahasa yang lebih manusiawi. Bukan bahasa pesta, melainkan bahasa empati. Dan dalam politik hari ini, hal itu bukan pilihan yang lemah, melainkan tanda kedewasaan.