Posted in

Kehidupan Sehari Seorang Redaktur: Tantangan dan Resolusi 2026

Sebagai seorang redaktur, saya menjadi penentu arah berita di kantor, layaknya “Raja Kecil” yang memegang otoritas tertinggi, terutama bagi reporter muda yang masih menggarap naskah berantakan. Saya sering berteriak, “Judulnya kurang nendang! Anglenya nggak tajam! Tulis ulang!”

Tentu, hal ini menumbuhkan rasa percaya diri seolah mengendalikan kata‑kata dan fakta. Namun, begitu kembali ke rumah, otoritas hampir mutlak itu langsung runtuh. Di depan istri—seorang perawat bergelar Ners dan Magister yang sangat teratur—saya menjadi naskah penuh typo yang membutuhkan banyak perbaikan.

Selain itu, memiliki dua anak (laki‑laki 6 tahun dan perempuan 3 tahun) terasa seperti mengasuh reporter pemula yang keras kepala.

Kehidupan Keluarga Sang Redaktur

Si sulung berperan sebagai reporter kritis yang banyak bertanya.

Ia sering menanyakan, “Yah, kenapa kita nggak boleh makan permen banyak‑banyak? Dasarnya apa? Sumbernya dari mana?”. Di kantor saya bisa menjawab, “Cari sendiri datanya!”. Di rumah, saya harus menjelaskan dengan sabar, atau ia akan mengadu ke Dewan Pers (ibunya).

Si bungsu lebih menantang. Ia berperan sebagai kontributor yang suka membuat hoaks dan drama. Kadang ia menangis sambil berputar‑putar mengaku kakinya sakit hanya untuk digendong, namun lima menit kemudian ia berlari mengejar tukang bakso. Sebagai ayah‑redaktur, saya sering tertipu oleh laporan bohongnya yang menggemaskan.

Di penghujung tahun ini, saya merenung bukan tentang korban bencana di Aceh, Sumut, atau Sumbar, melainkan tentang banyaknya “typo” dalam kehidupan saya.

Untuk mencapai kehidupan yang lebih damai, saya harus menyusun Resolusi 2026 yang serius. Ini bukan sekadar resolusi biasa, melainkan Pakta Pertahanan Diri dengan poin‑poin revisi kehidupan untuk tahun depan.

Resolusi 2026: Poin‑Poin Utama

Revisi Total Manajemen Deadline Rumah Tangga

Istri meminta bantuan mengganti lampu teras pada hari Senin, namun saya baru menyelesaikannya pada Minggu berikutnya. Ia memberi alasan diplomatis: “Lagi nunggu momen yang pas, Nok. Biar feel‑nya dapet.”

Resolusi 2026; Permintaan istri diperlakukan sebagai Breaking News, bersifat mendesak dan harus diselesaikan segera.

Jika istri berkata “Benerin kran!”, artinya deadline sudah lewat lima menit. Menunda pekerjaan rumah sama dengan memancing bencana alam lokal (baca: omelan istri).

Stop Mengedit Istri

Ini merupakan penyakit profesi. Saat istri mengeluh panjang lebar di WhatsApp, saya terkadang tergoda membalas, “Nok, kalimat ini kurang efektif, subjek‑predikatnya membingungkan”. Akibatnya, saya didiamkan selama dua hari.

Resolusi 2026; Saya berjanji mematikan mode redaktur saat chatting dengan istri. Biarkan ia menulis typo dan menggunakan singkatan alay; tugas saya cukup membalas dengan stiker peluk atau transfer uang, yang lebih efektif daripada memperbaiki tata bahasa.

Prioritas Keuangan dan Kesejahteraan

Mengurangi Judul Clickbait pada Janji ke Anak

Saya sadar sering memperlakukan anak‑anak seperti pembaca berita online yang mudah tergoda judul bombastis. Contoh dosa tahun ini: “Ayo mandi sekarang! Nanti Ayah belikan robot yang bisa terbang sampai bulan!”.

Faktanya, robot itu hanya mainan plastik seharga 15 ribu rupiah dengan sayap yang patah dalam lima menit.

Si abang kini sudah pintar protes, “Ayah bohong, ini berita palsu!” (Meskipun belum mengenal istilah hoax, maksudnya sama).

Resolusi 2026; Saya akan menyajikan fakta yang berimbang dan akurat.

“Ayo mandi, nanti Ayah belikan es krim. Tapi yang lagi ada diskon ya, Nak. Dompet Ayah lagi defisit.” Kejujuran mungkin menyakitkan, namun menyehatkan.

Hilirisasi Gaji untuk Ketahanan Pangan (Susu)

Saya sering keliru. Setelah gajian, saya merasa kaya dan mentraktir rekan kerja ngopi mewah seolah‑olah saya seorang Sultan, namun seminggu kemudian harus mencari recehan di saku untuk membayar parkir.

Resolusi 2026; Saya akan lebih sadar diri.

Gaji seorang redaktur memang pas‑pasan—cukup untuk membeli susu dua anak, membayar listrik, dan membuat istri tersenyum tipis.

Saya akan berhenti membeli gadget kerja yang tidak penting (mengapa membeli keyboard mekanik mahal bila saya mengetik hanya dengan dua jari?). Fokus utama tahun depan adalah swasembada popok dan susu.

Menjaga Kode Etik Kewarasan

Menghadapi adik berusia tiga tahun yang membutuhkan mental baja. Saat ia menangis berputar‑putar di mal meminta mainan, naluri redaktur saya kadang muncul: “Dek, tolong kurangi ekspresi, terlalu dramatis, kurang natural”. Tentu saja, itu tidak membantu.

Resolusi 2026; Saya akan lebih sabar. Saya tidak akan menganggap teriakan anak sebagai gangguan siaran, melainkan sebagai backsound kehidupan yang harus dinikmati.

Catatan Akhir

Menjadi redaktur memang membanggakan, mampu mengubah naskah jelek menjadi berita bagus. Namun menjadi ayah dan suami adalah pekerjaan yang tak dapat disunting ulang; tidak ada tombol delete, tidak ada undo.

Salah atau benar, berantakan atau rapi, inilah naskah hidup terbaik yang saya miliki. Jujur saja, meski sering dimarahi oleh Pemimpin Redaksi di rumah, saya tidak berniat resign.

Betapapun buruk naskah aslinya (hidup saya), bila diedit dengan kesabaran dan cinta, saya yakin pada akhirnya akan menjadi bacaan yang menyenangkan.

Sekian! Saya harus pamit, Pemimpin Redaksi sudah memanggil dari dapur. Tampaknya ada berita penting yang harus segera saya tangani (baca: cuci piring).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *