Kita hidup dalam masa penuh paradoks. Meskipun informasi tersedia berlimpah di ujung jari, kepercayaan terhadap kebenaran justru semakin menipis. Ruang digital yang seharusnya menjadi wadah berbagi pengetahuan, berubah menjadi pasar terbuka di mana semua suara dianggap setara. Sebuah video dari selebritas yang menyangkal pandemi dapat viral dan mengalahkan pendapat ahli epidemiologi berpengalaman puluhan tahun. Penelitian mendalam dari profesor ekologi tentang dampak penghijauan hutan kalah dengan narasi sederhana bahwa “kelapa sawit juga tanaman hijau”.
Fenomena Kematian Kepakaran Menurut Tom Nichols
Tom Nichols (2017) dalam bukunya The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters menyebut fenomena ini sebagai “kematian kepakaran”, saat otoritas pengetahuan yang dibangun melalui penelitian bertahun-tahun, metode ilmiah, dan standar etika, justru dikalahkan oleh klaim yang mudah dipahami, menyentuh emosi pribadi, dan cepat menyebar di internet.
Perlu dipahami bahwa masalah ini bukan sekadar tentang berita bohong. Ini merupakan transformasi yang lebih mendalam dari cara kita mengakses dan mempercayai informasi. Pandangan Marshall McLuhan (1964) melalui Teori Ekologi Media yang menyatakan The Medium is The Message memberikan perspektif berguna untuk memahami persoalan ini.
Teori Ekologi Media dan Pengaruhnya
Menurut teori tersebut, media bukan sekadar saluran netral yang menyampaikan pesan. Media adalah ekosistem yang secara aktif membentuk cara kita melihat realitas sosial. Ada tiga hal penting yang perlu diketahui:
Pertama, platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi jembatan utama untuk memahami dunia. Logika yang berlaku di sini bukanlah logika ruang belajar atau seminar diskusi, melainkan logika pasar, di mana perhatian adalah komoditas yang diperebutkan.
Kedua, media membentuk persepsi kita melalui algoritma yang dirancang untuk mengutamakan keterlibatan. Ini berarti konten yang emosional, kontroversial, dan mudah dicerna akan selalu lebih menarik dibandingkan penjelasan yang cermat, bernuansa, dan didukung data. Pengalaman pribadi yang dramatis atau opini yang provokatif akan mengalahkan riset komprehensif.
Ketiga, meskipun media menghubungkan dunia, ia juga memampatkan konflik. Narasi sederhana tentang isu kompleks, mulai dari pangan, energi, hingga kesehatan, dapat dengan mudah melintasi batas geografis dan budaya, sering kali menghilangkan konteks lokal yang hanya dipahami oleh para ahli di bidangnya.
Keahlian dalam Ancaman dan Perspektif Kant
Dalam dunia digital yang bergerak cepat dan sensasional, keahlian menjadi spesies yang terancam punah. Para ahli berbicara dengan hati-hati, penuh syarat “jika-maka”, dan pengakuan akan keterbatasan data. Sebaliknya, mesin viral bekerja dengan keyakinan mutlak, pesan yang ringkas, dan emosi yang menyentuh hati.
Ketika keduanya bersaing di linimasa yang sama, hampir pasti yang terakhir yang menang. Ini bukan karena publik bodoh, melainkan karena struktur lingkungan informasi digital itu sendiri. Medium digital lebih menguntungkan retorika yang panas ketimbang logika yang dingin.
Di sinilah filsafat Immanuel Kant memberikan peringatan yang keras dan relevan. Kant (1785) dalam bukunya Groundwork for the Metaphysic of Morals menyatakan bahwa kita memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan manusia sekadar sebagai alat, tetapi sebagai individu yang memiliki nilai dan hak atas kebenaran.
Setiap kali sebuah platform mendorong misinformasi demi keuntungan bisnis, atau ketika pembuat konten sengaja menyebarkan klaim menyesatkan untuk menambah popularitas, mereka telah mengubah jutaan penonton menjadi alat, yaitu sekadar sumber klik dan pendapatan, bukan subjek rasional yang berhak mengetahui kebenaran. Menjual ilusi sebagai fakta adalah bentuk kebohongan yang merendahkan martabat manusia sebagai makhluk yang berpikir.
Tanggung Jawab Bersama dan Solusi
Selain itu, Kant juga mengajarkan tentang tanggung jawab bersama. Para ahli berkewajiban menyampaikan kebenaran yang mereka ketahui, seberapa pun rumitnya. Sementara masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi konsumen informasi yang kritis dan cermat dalam memilih sumber. Ketika kita memilih informasi yang nyaman dan sesuai bias kita, kita telah mengabaikan tanggung jawab moral untuk menjadi warga negara yang terinformasi dengan baik.
Kematian kepakaran bukan kecelakaan dalam perjalanan digital kita. Ini adalah gejala dari ekosistem media yang sakit, yang dirancang lebih untuk menarik perhatian daripada untuk mencerahkan pikiran, dan diabaikannya komitmen etis kita dalam berkomunikasi.
Maka dari itu, ada tiga langkah yang bisa diambil:
Pertama, kita butuh literasi media yang lebih dalam. Pendidikan literasi harus melampaui cara mengecek fakta. Publik perlu tahu bagaimana algoritma bekerja, bagaimana perhatian mereka diperdagangkan, dan bagaimana setiap jenis media (cetak, televisi, media sosial) membentuk pesan dengan cara yang berbeda-beda.
Kedua, platform digital perlu mengubah cara mereka bekerja. Tantangan bagi para engineer bukan hanya membuat konten yang viral, tetapi merancang algoritma yang juga memberikan ruang dan promosi untuk konten yang berbasis bukti, mendalam, dan dibuat oleh pihak yang kompeten dan tepercaya.
Ketiga, kita harus secara sengaja menciptakan ruang publik untuk diskusi yang bermakna, baik online maupun di dunia nyata, bukan hanya untuk bertengkar atau berbagi emosi sesaat.
Pada akhirnya, memulihkan kepercayaan terhadap keahlian adalah proyek moral yang besar. Ini berarti kita harus berkomitmen untuk membangun kembali lingkungan informasi yang menghormati akal budi, yang melihat kebenaran bukan sebagai beban tetapi sebagai fondasi untuk kehidupan bersama yang lebih adil dan berkelanjutan.
Di tengah banjir data yang terus mengalir, suara ahli adalah jangkar harapan. Menjaga agar jangkar itu tetap kokoh bukanlah tugas para ahli sendiri, melainkan tanggung jawab kita semua sebagai penghuni ekosistem digital yang sedang mencari keseimbangan baru. Manusia menciptakan teknologi, dan teknologi sebagai gantinya memengaruhi serta membentuk manusia (McLuhan).