Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melaksanakan audit dan verifikasi lingkungan terhadap lebih dari 100 unit usaha terkait bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisal Nurrofiq menyatakan bahwa audit lingkungan dilaksanakan menyusul perubahan lanskap yang dinilai sangat dramatis akibat kombinasi faktor antropogenik, kondisi geomorfologi tanah yang muda dan labil, serta curah hujan ekstrem yang dipicu siklon tropis pada akhir November.
“Audit lingkungan akan kita lakukan hampir pada lebih dari 100 unit usaha di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh,” kata Hanif dalam konferensi pers di Kantor Kementerian LH, Jakarta Selatan, Selasa (23/12).
Audit di Daerah Aliran Sungai Batang Toru
Hanif menjelaskan bahwa Kementerian LH sejauh ini telah mengaudit dan memberikan sanksi terhadap 8 hingga 9 unit usaha di Batang Toru, Sumatera Utara.
“Pelaksanaan kegiatan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru telah lebih awal dilakukan. Ada 8-9 unit entitas yang saat ini sedang dalam pendalaman. Kepada semuanya telah kita berikan sanksi administrasi paksaan pemerintah untuk menghentikan kegiatan dan dilakukan audit lingkungan,” tutur dia.
Sementara itu, untuk Sumatera Barat, Hanif menyebut ada 17 unit yang tengah diverifikasi.
“Hari ini, tim sedang di Sumatera Barat. Ada 17 unit yang sedang dilakukan verifikasi lapangan. Ada 17 dari 50-an unit yang sedang berjalan. Ada kegiatan semen, tambang, perumahan, dan perkebunan sawit,” katanya.
Penanganan Berbasis Kajian Ilmiah
Langkah ini dilaksanakan sebagai bagian dari penanganan pascabencana yang berbasis kajian ilmiah dan spasial. Oleh karenanya, Kementerian LH menggandeng Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di sepanjang prosesnya.
“Beberapa langkah telah kami rumuskan dengan Bapak Menteri Saintek bahwa langkah-langkah penanganan ini mesti berbasis eksakta, yang bisa memproyeksikan potensi dari apa yang akan terjadi dan bagaimana penanganannya,” ujar Hanif.
Menurut Hanif, audit tersebut akan mengarah pada tiga kemungkinan tindak lanjut. Pidana akan ditempuh apabila ditemukan hubungan kasual antara kegiatan usaha dengan dampak serius, termasuk korban jiwa.
“Nanti dari audit lingkungan tadi akan menjurus kepada tiga hal, yaitu sanksi administrasi paksaan pemerintah, gugatan perdata, dan pengenaan pidana,” ujar Hanif.
“Pengenaan pidana tentu kita maklumi harus kita ambil pada saat kegiatan ini mempunyai pengaruh kasualitas yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Ini memang akan kita dekati dengan pidana,” sambung dia.
Timeline dan Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi
Proses audit diperkirakan memakan waktu hampir satu tahun, namun KLH menargetkan unit-unit usaha berskala besar dapat diselesaikan lebih awal, setidaknya pada Maret 2026.
“Jadi ini tentu akan berakhir tidak bisa cepat, hampir satu tahun. Namun demikian, yang penting, yang besar-besar akan kita minta selesai di bulan Maret, sehingga bisa kemudian kita tindak lanjuti,” ucap Hanif.
Hanif menyebut, proses audit bekerja sama dengan Kemendikti Saintek. Seluruh dosen yang memiliki kepakaran di bidang lingkungan dilibatkan.
“Kita mengerahkan seluruh komponen University yang ada di tanah air untuk ‘mengeroyok’ ini. Jadi kita akan mengeroyok bersama-sama sehingga kajian scientific-nya sangat tinggi,” kata Hanif.
Evaluasi Amdal dan UKL-UPL
Lebih jauh, masalah amdal maupun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) juga menjadi perhatian khusus dalam audit lingkungan ini.
“Sebagaimana standar setiap terjadi bencana, baik itu lokal maupun dengan yang sangat besar ini, maka kajian lingkungan wajib dievaluasi. Jadi evaluasi dilakukan kepada level persetujuan lingkungan baik itu amdal maupun UKL-UPL,” kata Hanif.
“Jadi untuk amdal dan UKL-UPL yang berbasis landscape dan ekstraksi mineral batubara, ini akan dilakukan evaluasi. Evaluasi akan dilakukan dengan sangat cepat dan hati-hati melalui analisis, melalui Audit Lingkungan,” tutur dia.