Posted in

Ketimpangan Kesejahteraan Dosen: Antara Tri Dharma dan Realita Pembenahan

Gelar dosen sering kali dianggap sebagai lambang kemapanan intelektual dan kesejahteraan finansial. Namun, di balik aktivitas mengajar, publikasi ilmiah, dan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, kondisi kesejahteraan dosen di Indonesia masih menyimpan ironi. Banyak dosen, khususnya yang berusia muda, non-PNS, dan mengajar di perguruan tinggi swasta, hidup dalam situasi yang belum bisa dikatakan sejahtera, meskipun negara secara normatif telah menjanjikan perlindungan dan penghargaan yang layak.

Persoalan kesejahteraan dosen bukanlah masalah individual semata, melainkan problem struktural yang menyentuh inti kebijakan pendidikan tinggi nasional. Ketika dosen tidak sejahtera, maka kualitas pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat juga berada dalam ancaman serius.

Perspektif Teori dan Realita Normatif

Dalam perspektif human capital theory (Gary S. Becker), pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang menentukan daya saing suatu bangsa. Dosen, sebagai aktor utama pendidikan tinggi, seharusnya ditempatkan sebagai aset strategis negara. Investasi pada dosen melalui kesejahteraan yang memadai akan berbanding lurus dengan kualitas lulusan, inovasi riset, dan kemajuan peradaban.

Namun, jika ditinjau dari teori welfare state, negara tidak cukup hanya mengakui pentingnya profesi dosen secara simbolik. Negara wajib hadir secara aktif dalam menjamin kesejahteraan kelompok profesi strategis, terutama mereka yang menjalankan fungsi pelayanan publik. Kesejahteraan dalam konteks ini tidak semata-mata gaji, tetapi juga jaminan sosial, kepastian karier, perlindungan profesi, serta lingkungan kerja yang manusiawi.

Ketika dosen dipaksa bertahan dengan idealisme di tengah ketidakpastian ekonomi, negara sesungguhnya sedang mengingkari prinsip dasar negara.

Regulasi dan Jurang Implementasi

Secara normatif, posisi dosen di Indonesia cukup kuat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menempatkan dosen sebagai tenaga profesional. Pasal 51 menyatakan bahwa dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen menyebutkan bahwa penghasilan dosen terdiri atas gaji pokok, tunjangan, dan penghargaan lain yang terkait dengan prestasi kerja dan jabatan akademik. Negara bahkan memberikan tunjangan profesi sebagai bentuk pengakuan terhadap kompetensi dan tanggung jawab dosen.

Di atas kertas, regulasi ini tampak ideal dan berpihak. Namun, hukum yang baik tidak cukup hanya berhenti pada norma; ia harus bekerja dalam praktik. Di sinilah jurang antara regulasi dan realitas menganga lebar.

Fragmentasi dan Ketegangan Peran

Kesejahteraan dosen di Indonesia sangat terfragmentasi. Dosen PNS di perguruan tinggi negeri relatif lebih terlindungi secara finansial dan administratif, meskipun tetap dibebani tuntutan kinerja yang semakin berat. Sebaliknya, dosen di perguruan tinggi swasta yang jumlahnya justru lebih besar sering kali berada dalam posisi rentan.

Tidak sedikit dosen yang menerima penghasilan jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, tanpa kepastian pensiun, bahkan tanpa kontrak kerja yang jelas. Ironisnya, mereka tetap dituntut memenuhi standar nasional pendidikan tinggi, menulis di jurnal bereputasi, mengejar jabatan fungsional, serta aktif dalam pengabdian masyarakat.

Dalam teori role strain, kondisi ini menciptakan ketegangan peran: tuntutan profesional yang tinggi tidak sebanding dengan dukungan struktural yang tersedia. Akibatnya, dosen mengalami kelelahan akademik (academic burnout), kehilangan ruang refleksi ilmiah, dan pada akhirnya terpaksa mencari pekerjaan tambahan di luar dunia akademik demi bertahan hidup.

Tri Dharma dan Komersialisasi Pendidikan

Tri Dharma Perguruan Tinggi sejatinya adalah fondasi moral dan intelektual pendidikan tinggi. Namun dalam kondisi kesejahteraan yang timpang, Tri Dharma kerap berubah menjadi beban administratif. Pendidikan menjadi rutinitas mengajar, penelitian menjadi sekadar kewajiban angka kredit, dan pengabdian masyarakat kehilangan makna transformasionalnya.

Lebih jauh, sistem penilaian kinerja dosen yang menitikberatkan pada kuantifikasi; jumlah publikasi, sitasi, dan indeks sering kali mengabaikan kondisi riil dosen. Negara dan institusi seolah menuntut produktivitas tanpa memastikan prasyarat kesejahteraan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya merugikan dosen, tetapi juga menciptakan degradasi kualitas pendidikan tinggi secara sistemik.

Masalah kesejahteraan dosen juga tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan komersialisasi pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dipaksa mengelola diri dengan logika pasar, sementara negara secara perlahan mengurangi tanggung jawab pendanaan. Dalam situasi ini, dosen sering diposisikan sebagai biaya operasional yang harus ditekan, bukan sebagai subjek utama pendidikan.

Padahal, Pasal 31 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi ini seharusnya diwujudkan dalam kebijakan afirmatif terhadap dosen, bukan sekadar jargon reformasi pendidikan atau target peringkat internasional.

Langkah Mendesak untuk Pembenahan

Sudah saatnya kesejahteraan dosen ditempatkan sebagai agenda kebijakan nasional. Beberapa langkah mendesak perlu dilakukan. Pertama, negara perlu menetapkan standar penghasilan minimum dosen yang berlaku nasional, terutama untuk perguruan tinggi swasta. Kedua, pengawasan terhadap implementasi UU Guru dan Dosen harus diperkuat, bukan dibiarkan menjadi dokumen normatif tanpa daya paksa.

Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi perlu direorientasikan dari logika pasar menuju logika keadilan sosial. Keempat, dosen harus diperlakukan sebagai pekerja profesional yang memiliki hak-hak ketenagakerjaan yang jelas, bukan sekadar pengabdi yang dituntut berkorban tanpa batas.

Kesejahteraan dosen bukanlah privilese, melainkan hak yang dijamin undang-undang dan konstitusi. Ketika negara gagal memenuhi hak tersebut, yang terancam bukan hanya martabat dosen, tetapi juga masa depan ilmu pengetahuan dan kualitas generasi bangsa. Pendidikan tinggi tidak akan pernah unggul jika dosennya dipaksa hidup dalam ketidakpastian. Negara harus memilih: menjadikan dosen sebagai pilar peradaban, atau sekadar angka dalam statistik pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *