Posted in

Mengenal Kata ‘Mengunggis’ dan Keunikannya dalam Struktur Bahasa Indonesia

Mengenal Kata ‘Mengunggis’ dan Keunikannya dalam Struktur Bahasa Indonesia

Berinteraksi dengan berbagai kosakata sering kali terjadi melalui hobi bermain permainan tebak kata. Cara ini terkadang menjadi sumber inspirasi untuk menulis, meski tidak selalu. Penulis mengakui tidak secara khusus menelusuri semua entri dari A hingga Z yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring).

Penulis belum mampu melakukan hal tersebut karena memerlukan ketekunan yang sangat luar biasa. Meski tidak membutuhkan ketekunan khusus, melalui kesenangan mengisi waktu luang dengan permainan tebak kata, penulis secara tidak sengaja telah berhadapan dengan realitas kekayaan kosakata bahasa Indonesia yang berakar kuat dalam tradisi literasi dan dialektologi Nusantara.

Kata-Kata Langka dan Fosil Bahasa

Seringkali, kata dasar yang ditemukan jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari. Jika pun digunakan, biasanya terbatas pada ragam sastra atau sudah menjadi fosil bahasa. Meski demikian, menemukan kata seperti itu dapat menimbulkan sensasi seperti memperoleh permata berharga dari masa silam.

Bayangkan ketika pertama kali bertemu dengan kata “rengeh” yang merujuk pada suara ringkik kuda, atau “gempor” untuk mendeskripsikan keadaan timpang, atau “lengar” yang mewakili kondisi pening ketika hendak tidur. Semua itu seolah memanggil untuk dikenali lebih dekat.

Kali ini, pembahasan akan dibatasi pada kata dasar “unggis”. Secara fonetis, kata ini terdengar sederhana, bahkan hanya berbeda satu huruf vokal dengan “unggas”, namun menyimpan makna spesifik dalam konteks sebagai tindakan fisik dan memiliki posisi unik dalam struktur leksikal bahasa Indonesia.

Definisi dan Padanan Kata

Menurut KBBI VI Daring, lema “unggis” dengan sublema “mengunggis” berarti memakan sedikit demi sedikit, seperti menghisap irisan batang tebu yang sudah terkelupas kulitnya dan terpotong kecil. Bisa juga untuk memakan butir-butir jagung rebus yang menempel di bonggolnya, atau menyebut tindakan kelinci memakan wortel sedikit demi sedikit.

Mengacu pada data di KBBI VI Daring, terdapat padanan kata “mengunggis”, yaitu sublema “mengerip” (dari lema “kerip”), “mengerumit” (dari lema “kerumit”), dan “mengerikiti” (dari lema “kerikit”). Semua kata tersebut pada esensinya merupakan verba yang menunjukkan aktivitas memakan sesuatu sedikit demi sedikit, dengan subjek pelaku bisa manusia atau binatang.

Perbedaan Makna dengan Kata Sejenis

Penting untuk membedakan makna yang termaktub dalam sublema “mengunggis” beserta tiga kawannya di satu pihak, dengan sublema “menggigit” (dari lema “gigit”) dan dua kawannya, yaitu “mengunyah” (dari lema “kunyah”) dan “mengerat” (dari lema “kerat”).

Sublema “mengunggis” dan kawan-kawannya merujuk pada gerakan halus yang berlangsung secara berulang dan berkelanjutan, dengan gigi depan dominan dalam pelaksanaan tindakan. Kegiatan ini dapat dibayangkan terjadi ketika seseorang memakan jagung rebus atau jagung bakar, atau seekor tupai yang tengah memakan wortel atau daging kelapa.

Tingkat efek destruktif dari sublema “menggigit” tampak jauh lebih terasa kuat karena melibatkan aktivitas motorik dari makhluk hidup yang mempunyai rahang dan gigi, dengan tekanan, cengkeraman, dan penetrasi. Seperti terlihat pada kutipan: “Petani itu begitu lapar setelah seharian membanting tulang di ladang. Dia begitu terburu menggigit roti gandum keras bekalnya. Tak peduli dengan teksturnya yang agak alot”. Ada dorongan kebutuhan mendesak, sehingga “mengigit” menyiratkan kekuatan dan kepraktisan pemenuhan energi dengan segera.

Sementara itu, sublema “mengunyah” yang berpadanan dengan “memamah” (dari lema “mamah”), mengacu pada tindakan menghancurkan atau melumatkan makanan dengan gigi dalam proses yang berlangsung di dalam mulut sebelum menelannya. Berikut kutipan yang juga beradonkan narasi: “Pandangan pria tua itu terarah pada senja memerah yang menyemburat di horizon barat. Dengan tenang dia mengunyah (memamah) sepotong ketela goreng yang masih hangat. Di sampingnya, sang istri tercinta dengan senyum di bibir, tengah menyeduh segelas teh tubruk kesukaannya”.

Adapun sublema “mengerat” memang boleh terbilang sebagai kerabat dekat “mengunggis”, namun lebih lazim yang berada sebagai subjek pelaku adalah hewan pengerat (Rodentia) dan cenderung menimbulkan efek yang lebih merusak. Misalnya dapat disimak dalam kutipan ini: “Tikus biasanya mengerat berbagai macam bahan lunak hingga cukup keras. Sebagai hewan omnivor, pemakan segala, dan sangat oportunis, mulai dari biji-bijian, buah, sayuran, serangga, daging (bahkan bangkai), hingga sisa makanan manusia dan hewan peliharaannya. Tikus juga mengerat kayu, plastik, kabel listrik, kertas, dan kain. Bukan untuk memakannya, melainkan bertujuan agar giginya tetap pendek dan tajam”.

Makna Konotatif Kata ‘Mengunggis’

Pada substansinya, di dalam sublema “mengunggis”, secara semantik terikut ke dalam medan makna suatu aktivitas oral. Keunikannya terlokasi pada intensitas dan volume objek. Ia menyiratkan ketekunan dan kesabaran, sama sekali bukan keinginan untuk makan secara tergesa dan dalam jumlah banyak sekaligus.

Dalam analisis wacana, pemanfaatan “mengunggis” memberikan efek visual yang tegas kepada pembaca tentang cara subjek pelaku melakukan interaksi dengan makanannya. Kesan yang hadir adalah pengikisan secara perlahan tapi pasti.

Selain sisi makna denotasi sublema “mengunggis”, terdapat pula sisi makna konotasinya. Secara denotatif, sublema ini merujuk pada tindakan mekanis yang memfungsikan secara optimal gigi depan untuk secara repetitif melepaskan menjadi bagian-bagian kecil bahan makanan yang biasanya relatif keras atau alot.

Akan tetapi, ketika pembahasan kata “mengunggis” digeser ke ranah konotatif, ada makna tambahan yang hadir dari asosiasi perasaan atau nilai rasa tertentu, sehingga memberikan kedalaman yang jauh lebih kaya daripada sekadar kegiatan fisik oral memakan suatu makanan sedikit demi sedikit.

Berikut beberapa contoh sublema “mengunggis” di ranah makna konotatif:

Pertama, konotasi mengenai sesuatu yang secara perlahan menggerogoti waktu produktif seseorang untuk kegiatan yang seharusnya bermanfaat. Seperti tampak pada frasa “mengunggis waktu” dalam kalimat: “Kekhawatiran terus-menerus terhadap masa depan, tanpa aksi tindakan nyata, hanya akan mengunggis waktu berharga yang seharusnya untuk membangun fondasi yang lebih kuat di masa kini”.

Kedua, konotasi mengenai suatu perjuangan seseorang dengan kesabaran dan keteguhan hatinya secara perlahan tetapi intens dalam menghadapi persoalan pelik. Contoh kalimat, “Dia terus mengunggis nasib buruknya dengan ketekunan dan doa, walaupun badai cobaan silih berganti memorak-porandakan hidupnya”.

Ketiga, konotasi tentang kehancuran jiwa secara perlahan (erosi eksistensial). Untuk mendeskripsikan rasa bersalah yang berbuah penyesalan secara berkepanjangan. Sebagaimana termaktub dalam kutipan, “Rasa bersalah akibat keputusannya bertahun lalu mengunggis jiwanya setiap malam. Dia seolah menjadi tawanan yang tak berdaya dari kenangan pahit masa silamnya”.

Keempat, konotasi tentang kondisi mental seseorang yang tidak tenang, ragu, tidak berdaya dalam menghadapi situasi besar. Frasa “mengunggis ujung jari” mewadahi makna konotatif tersebut. “Adi tak kuasa meredakan ketidaktenangan hatinya saat menunggu hasil ujian akhir semester di website universitas tempatnya belajar. Ini pengalaman pertama baginya. Di rumahnya, Adi berdiri mematung sambil mengunggis ujung jarinya hingga kulit di sekitar kukunya memerah dan terasa perih”.

Kelima, konotasi tentang hubungan sosial yang parasitis. Mendeskripsikan tindakan seseorang yang secara perlahan memanfaatkan orang lain dengan permintaan kecil atau manipulasi halus. “Persahabatan mereka kini menunjukkan potret buram kemanusiaan. Sebab, salah satu pihak berlaku laksana benalu yang terus mengunggis tabungan dan aset rekannya demi memenuhi gaya hidup mewah yang tidak realistis. Tanpa pernah mau bekerja keras dengan tangan dan pikiran sendiri”.

Keenam, konotasi mengorek luka lama atau sekadar mencari-cari masalah. Misalnya dalam kalimat, “Tiap kali ada pertemuan keluarga, dia senantiasa mengunggis masalah warisan yang belum kunjung selesai. Hal itu menimbulkan suasana hubungan antaranggota keluarga iti menjadi kurang menyenangkan”.

Ketujuh, konotasi untuk mencari tahu atau membongkar suatu kasus secara mendalam hingga ke akar-akar persoalannya. Contoh dalam kalimat, “Para jurnalis investigasi sedang berusaha mengunggis pelbagai data korupsi pejabat itu yang kini masih tersembunyi dengan begitu rapat”.

Penggunaan dalam Karya Sastra

Pendek kata, “mengunggis” merupakan sublema yang kaya akan makna konotatif dan kebanyakan cenderung mengusung nilai rasa negatif, bertalian erat dengan tindakan mengganggu, menyakitkan secara emosional, atau merugikan pihak lain.

Pemahaman yang cermat terhadap sublema “mengunggis” menjadi sangat penting, terutama untuk menuangkan gagasan melalui karya sastra baik prosa maupun puisi. Diksi dengan muatan konotasi dengan presisi dan rincian maknanya berpotensi menggugah emosi dan menciptakan kedalaman ekspresi.

Di tubuh karya sastra terutama genre prosa yang mendamba detail, penggunaan diksi sublema “mengunggis” bertujuan untuk membangun suasana sunyi. Suara “unggis” yang serupa bunyian kersik halus sering kali dimanfaatkan penulis untuk mendeskripsikan kehadiran hama di tengah malam, atau untuk mendeskripsikan karakter yang tengah tercekam kegelisahan sehingga secara tidak sadar menggigit ujung jari atau kuku serta benda lain di sekitarnya.

Status dan Penggunaan Kontemporer

Catatan menarik untuk sublema “mengunggis”. Kendati status keberadaannya baku karena terdapat secara resmi di KBBI VI Daring, dalam komunikasi modern dewasa ini boleh dikatakan relatif jarang muncul dalam aktivitas berbahasa sehari-hari. Ia telah tergeser kedudukannya dengan “menggigit” yang frekuensi pemunculannya lebih tinggi.

Dalam tautan faktor psikolinguistik dan kemudahan akses, kata yang lebih sering digunakan biasanya lebih mudah terakses dalam leksikon mental. Dari perspektif kognitif, aksesibilitas yang lebih mudah akan menghasilkan pemakaian yang lebih cepat dan sering.

Terdapat lingkaran umpan balik yang positif. Semakin sering sebuah kata digunakan, semakin kuat representasi mentalnya, dan semakin mudah kata itu muncul kembali ketika dibutuhkan dalam komunikasi.

Kelekatan suatu kata di leksikon mental seseorang juga terkait dengan usia pemerolehan bahasa. Kata-kata yang sejak dini dipelajari cenderung tinggi frekuensi pemunculannya. Kata “mengunggis” bisa jadi memang bukan yang sejak dini dipelajari, bahkan mungkin boleh dikategorikan sebagai kata yang baru saja didengar.

Meskipun demikian, bukan hal mustahil untuk menyimpannya di leksikon mental. Tentu saja risiko tip-of-the-tongue (TOT), ketidakmampuan memanggil kata di leksikon mental, bisa saja datang menghampiri.

Nilai dan Signifikansi

Pada intinya, pemanfaatan “mengunggis” dalam konteks yang tepat dapat memperkaya perbendaharaan diksi seseorang. Di samping itu, yang bersangkutan dapat memiliki keleluasaan memilih kata yang paling dekat dengan presisi makna yang diinginkan.

Oleh karena itu, bila seseorang ingin mendeskripsikan kegiatan makan sesuatu sedikit demi sedikit, maka seseorang tersebut akan tetap pada keseyogiaan tiba pada pilihan opsi “mengunggis”.

Catatan lainnya yang menarik juga, “mengunggis” konon menjadi salah satu “kata cantik” yang menjadi diksi favorit di kalangan penyair dan pengarang fiksi di Tanah Air. Hal itu bisa terjadi karena daya kemampuannya menghadirkan citraan (imagery) yang begitu kuat di imajinasi pembaca.

Kata “mengunggis” seolah dapat memunculkan suatu tiruan bunyi implisit (onomatopoeia implisit) dari gesekan gigi depan dan makanan agak keras (seperti wortel mentah) yang mengalami proses pengerikitan, dan menimbulkan efek sensorik yang lebih tegas dalam penerimaan imajinatif pembaca dibandingkan dengan verba sejenis lainnya.

Pada akhirnya, ketika memahami sisi konotatif dari “mengunggis”, itu berarti juga menyediakan diri untuk memahami bahwa bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi. Melainkan lebih dari itu, adalah juga cermin dari bagaimana manusia mengarungi samudra rasa untuk menjalani proses, mengikuti waktu, dan menanti hari akhir yang pasti.

Kata “mengunggis” ini menawarkan perspektif untuk memberikan perhatian terhadap hal-hal kecil. Kendatipun kelihatan tidak berarti, akan tetapi mempunyai kekuatan untuk mengubah atau bahkan menghabiskan segala sesuatu secara keseluruhan, terlebih tatkala ada respons pembiaran tanpa antisipasi apa pun yang seharusnya menjadi pusaka anutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *