Posted in

Paradoks AI: Tugas Kelar 5 Menit, tapi Otak Kita Makin Tumpul?

Video-video di TikTok atau Instagram yang menawarkan jasa joki tugas kini kerap muncul di linimasa media sosial. Yang menarik, para penyedia jasa ini tidak lagi menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku tebal.

Mereka secara terbuka memanfaatkan perangkat lunak kecerdasan buatan atau AI untuk menyelesaikan pesanan klien. Bisnis ini berkembang pesat, bahkan sebuah laporan dari CNN Indonesia menyoroti akun penyedia jasa yang telah mengumpulkan ratusan ribu pengikut di platform media sosial.

Fenomena Gunung Es Pendidikan Modern

Bayangkan skenario ketika tenggat waktu tugas hanya tersisa satu jam. Detak jantung meningkat. Namun, alih-alih merasa panik dan memaksakan otak bekerja, Anda cukup mengetik perintah sederhana ke chatbot. Dalam beberapa detik, tugas selesai. Lega? Tentu saja. Namun di balik kemudahan menyelesaikan tugas dalam lima menit ini, ada harga mahal yang secara diam-diam kita bayar, yaitu kemampuan kognitif kita sendiri.

Ilustrasi orang pusing. Foto: 9nong/shutterstock

Generasi muda masa kini memiliki istilah untuk menggambarkan kondisi mental akibat terlalu banyak mengonsumsi konten digital instan, yaitu brain rot atau pembusukan otak. Seperti dijelaskan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika, fenomena ini bukan sekadar istilah populer, melainkan ancaman nyata terhadap penurunan fungsi kognitif akibat paparan berlebihan terhadap informasi yang dangkal.

Kekhawatiran ini ternyata memiliki dasar ilmiah. Sebuah penelitian terbaru tahun 2025 yang diterbitkan di jurnal MDPI oleh peneliti Michael Gerlich mengonfirmasi hal ini. Dalam studinya yang berjudul AI Tools in Society, Gerlich menemukan korelasi negatif yang signifikan antara penggunaan alat AI dan kemampuan berpikir kritis.

Fenomena Cognitive Offloading

Ia mencatat adanya fenomena cognitive offloading di mana semakin sering seseorang mendelegasikan tugas berpikirnya kepada mesin, semakin menurun kemampuan mereka untuk menganalisis masalah secara independen. Artinya, kita tidak menjadi lebih cerdas dengan bantuan alat canggih tersebut; kita hanya menjadi lebih terampil dalam memberikan perintah kepada mesin.

Ilustrasi kampus. Foto: Shutterstock

Indonesia ternyata termasuk salah satu negara dengan pengguna AI paling aktif di kalangan pelajar. Data dari survei global tahun 2025 oleh Chegg dan GoodStats menunjukkan bahwa 95% mahasiswa di Indonesia menggunakan AI untuk pembelajaran. Angka ini merupakan yang tertinggi di antara 15 negara yang disurvei. Sayangnya, penggunaan tersebut sering kali melampaui batas wajar.

Ada kisah menarik yang dilaporkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada pertengahan 2024. Seorang dosen di Palembang menemukan fakta mengejutkan saat memeriksa skripsi mahasiswanya. Setelah diperiksa, ternyata 95% isi skripsi tersebut terindikasi sebagai hasil buatan AI. Mahasiswa tersebut mungkin merasa pintar karena berhasil mengelabui sistem, padahal sebenarnya ia sedang menipu dirinya sendiri. Ia berhasil lulus, namun pengetahuannya kosong.

Ironi Pendidikan di Era Digital

Di belahan dunia lain, situasinya bahkan lebih ironis. Di Amerika Serikat, sempat viral kasus seorang mahasiswi bernama Ella Stapleton yang menuntut pengembalian uang kuliahnya. Alasannya cukup paradoksal: ia menemukan fakta bahwa dosennya menggunakan ChatGPT untuk mengajar dan memberikan umpan balik.

Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock

Ini merupakan potret pendidikan modern yang aneh di mana mahasiswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas dan dosen menggunakan AI untuk menilainya. Jika demikian, siapa sebenarnya yang belajar? Hanya mesin yang saling berkomunikasi, sementara manusia menjadi penonton pasif.

Dampak dari kebiasaan serba instan ini mulai terasa di dunia profesional. Laporan analisis kode dari GitClear pada tahun 2024 menemukan bahwa kualitas kode pemrograman secara global mengalami penurunan signifikan. Hal ini terjadi karena banyak programmer muda yang asal menyalin dari AI tanpa benar-benar memahami logika di baliknya, sehingga kode yang dihasilkan sering kali berulang dan sulit untuk diperbaiki.

Dulu, karyawan baru atau junior belajar melalui tugas-tugas sederhana. Mereka belajar dengan melakukan kesalahan, memperbaikinya, dan memahami prosesnya. Sekarang, tugas-tugas dasar tersebut diambil alih oleh AI. Akibatnya, banyak lulusan baru yang mengalami kesulitan saat menghadapi masalah nyata yang tidak dapat dijawab oleh chatbot. Mereka kehilangan proses pembelajaran melalui kesulitan yang sebenarnya penting untuk mengasah keterampilan.

Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock

Menemukan Keseimbangan dalam Penggunaan AI

Lantas, apakah kita harus membuang ponsel dan laptop lalu kembali ke zaman batu? Tentu tidak. AI merupakan alat yang sangat berguna jika digunakan dengan tepat.

Kuncinya terletak pada gesekan. Kita perlu sengaja membuat sedikit kesulitan bagi diri sendiri. Gunakan otak Anda terlebih dahulu untuk membuat kerangka ide atau konsep dasar. Biarkan otak bekerja keras sebentar. Setelah itu, barulah gunakan AI sebagai mitra diskusi atau asisten yang membantu merapikan pekerjaan Anda. Jangan biarkan AI mengendalikan proses dari awal hingga akhir.

Di era di mana segala sesuatu dapat diselesaikan dalam lima menit, kita perlu waspada agar paradoks AI ini tidak membuat kemampuan berpikir pemiliknya semakin menumpul.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *